Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NAMANYA cukup dikenal di kalangan pedagang berjangka komoditas. Lima tahun berkecimpung di industri itu, PT Magnum Consolidators Indonesia masuk tiga besar pedagang berjangka di Indonesia. Tapi, gara-gara tersangkut urusan Bank Century, kegiatan operasional Magnum mendadak mati suri.
Puncaknya, sejak Agustus tahun lalu, perusahaan yang berkantor di Wisma Nugra Santana, Sudirman, Jakarta, itu terpaksa angkat kaki dari bisnis perdagangan berjangka komoditas. ”Perusahaan itu mundur karena persoalan internal. Mereka terafiliasi dengan Bank Century,” kata seorang sumber yang dekat dengan Robert Tantular, bekas pengendali Century, pekan lalu.
Magnum, perusahaan penyelenggara sistem perdagangan alternatif yang terdaftar di Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi, diketahui memiliki rekening di Bank Century. Dari rekening Magnum itulah mengalir fulus hingga beberapa gelombang ke rekening PT Antaboga Delta Sekuritas Indonesia, milik Robert.
Bahkan transaksi masih terus berlanjut tak lama setelah Bank Century diambil alih pemerintah dari tangan para pemegang saham. Aliran dana ini merupakan sebagian dari 116 laporan transaksi keuangan mencurigakan yang disorot Badan Pemeriksa Keuangan. Badan ini dan juga kepolisian kemudian meminta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan menelisik aliran dana tadi.
Hasil analisis itu dipaparkan Yunus Husein, Kepala Pusat Pelaporan, dalam pertemuan tertutup di depan Panitia Khusus Hak Angket Bank Century, Senin malam dua pekan lalu. ”Seluruh aliran dana yang keluar-masuk ke rekening-rekening itu memang patut dicurigai,” kata Andi Rahmat, anggota Panitia Khusus dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera.
Sepanjang Januari-Desember 2008, rekening Magnum tergolong sangat aktif. Magnum, misalnya, menerima dua kali setoran Rp 3,05 miliar dua bulan sebelum Century di-bail out. Sebagian besar sumber dana di rekening Magnum tadi diduga berasal dari perusahaan pedagang berjangka, antara lain PT Maxco Futures, PT Top Growth Investindo, PT Magnum Investindo, dan PT Pan Emperor. Ini terlihat dari adanya sejumlah setoran tunai ke rekening Magnum di Century.
Magnum juga pernah menerima suntikan dana dari PT Kuo Capital Raharja—belakangan berubah nama jadi PT Signature Capital Indonesia—Rp 11 miliar, pada April 2008. Signature tak lain perusahaan yang bahu-membahu bersama Antaboga Delta Sekuritas menjual produk investasi abal-abal kepada nasabah Century. Total duit yang digangsir lewat produk ini Rp 1,4 triliun.
Dua pekan setelah Century diselamatkan, Magnum masih menerima setoran tunai Rp 1 miliar. Namun dana yang masuk ke rekening itu cuma numpang lewat. Besoknya, perusahaan itu melakukan penarikan tunai Rp 1,7 miliar dari rekeningnya di Century.
Magnum juga pernah menarik dana tunai Rp 2,6 miliar dari Bank Century. Uang itu selanjutnya disetor ke rekening Antaboga yang berada di bank lain. Transaksi itu persis dilakukan pada hari yang sama ketika Bank Century kalah kliring pertama, yakni 12 November 2008. Enam hari sebelumnya, dari rekening Magnum di Century juga mengalir dua kali transaksi, masing-masing Rp 2 miliar dan Rp 3 miliar, ke rekening Antaboga di Bank Mandiri. Dari situ dana kemudian ditransfer ke beberapa rekening lain.
Begitu pula sebaliknya. Rekening Magnum di Bank Century pernah menerima dana Rp 4 miliar dari Antaboga Delta Sekuritas. Dana itu kemudian dipindahkan ke rekening PT Cipta Karya Husada Utama, akhir Oktober 2008. Empat hari kemudian, rekening Husada Utama di Century itu menerima kucuran US$ 2 juta (Rp 19 miliar). Duit jumbo itu langsung ditarik dan dipindahbukukan. Jauh sebelum itu, pada awal 2008, Husada Utama juga menerima Rp 2,86 miliar dari Antaboga.
Menurut seorang penyidik di kepolisian, dari bukti cek dan giro, dana Antaboga diserahkan melalui Robert Tantular. Dana itu lalu disetorkan ke beberapa rekening, antara lain ke rekening Husada Utama tadi. Sedangkan rekening Magnum, kata polisi itu, cuma berfungsi sebagai tempat penampungan, baik dari maupun menuju Antaboga.
Itu sebabnya, semua perusahaan tadi diindikasikan terkait dengan kasus pidana Bank Century dan Antaboga. ”Perusahaan tersebut diduga menerima aliran dana yang terkait dengan kasus Antaboga,” kata penyidik di kepolisian. Sebagian besar penarikan dana dilakukan melalui cek dan tunai.
BERAGAM cara dilakukan Robert untuk menggangsir dana Century. Salah satunya lewat penjualan produk investasi Antaboga. Selain ke rekening Husada Utama, fulus dari Antaboga mengalir ke brankas perusahaan lain, di antaranya Sinarmas Sekuritas, Danatama Sekuritas, Pancadosha Perdana Mandiri, Inti Fikasa Securindo, Papua Timber Jaya, Sakti Persada Raya, dan PT Adicipta Griya Sejati.
Dana yang mengalir ke mereka hampir semuanya melibatkan Anton Tantular dan Hartawan Aluwi. Anton tak lain adalah adik Robert, yang juga pengurus Antaboga. Sedangkan Hartawan adalah Presiden Komisaris Antaboga.
Entah kebetulan entah tidak, salah satu pemilik Papua Timber Jaya, I Gusti Ngurah Wisnawa, juga menempati posisi penting di perusahaan yang menerima dana PT Antaboga. Di Husada Utama dan Signature Capital, Ngurah Wisnawa duduk sebagai komisaris. Dia juga tercatat sebagai salah satu pemilik Sakti Persada Raya. Perusahaan ini juga masih tercatat sebagai pemegang saham Signature Capital.
Sumber Tempo di kepolisian mengatakan, dana dari Antaboga yang masuk ke rekening PT Inti Fikasa cukup besar, Rp 23 miliar. Transaksi itu berlangsung sepanjang 2006 dan 2008. Adapun pada 2005, fulus yang masuk dari brankas Antaboga ke Inti Fikasa Rp 18 miliar.
Bukan cuma mengisap duit nasabah lewat penjualan Antaboga, Robert Tantular juga ditengarai yang memberikan komando ketika menerbitkan surat utang (lihat ”Kantor Kosong di Mal Ambasador”, Tempo, 26 Oktober 2009). Antara November 2007 dan Oktober 2008 Bank Century memberikan 14 fasilitas utang dagang buat sepuluh debitor senilai US$ 178 juta. Jaminan yang dipersyaratkan kepada debitor hanya 10-20 persen dari nilai surat utang.
Dokumen aplikan diterima dari Robert dan disampaikan kepada Linda Wangsadinata, saat itu Kepala Cabang Kantor Pusat Operasional Bank Century Senayan. Linda sulit menolak perintah Robert. ”Dia dalam keadaan terjepit,” ujar bekas kepala cabang yang pernah bekerja di bank tersebut.
Usut punya usut, ada beberapa debitor yang dipakai namanya oleh Robert untuk membuka surat utang. ”Padahal mereka tidak pernah setor jaminan,” kata sumber Tempo. Seluruh jaminan ternyata ditransfer, lewat sistem real time gross settlement, dari rekening milik Junty dan Tenety Solikin, dua nama yang masih menjadi misteri.
Sedangkan perusahaan sisanya—Dwi Putra Mandiri, Damar Kristal Mas, Sakti Persada Raya, dan Energy Quantum—cuma nomine dan memiliki hubungan dengan Robert. Kepada empat perusahaan ini, Robert memberikan surat pernyataan. Isinya: membebaskan debitor dari segala kewajiban sehubungan dengan pembukaan surat utang. Robert, selaku Direktur Utama Century Super Investindo, bertanggung jawab atas penerbitan surat utang itu. ”Surat utang itu cuma akal-akalan untuk menggangsir dana nasabah,” kata bekas kepala cabang Century tadi.
Belakangan terkuak, PT Selalang Prima Internasional, salah satu perusahaan yang menerima surat kredit itu, 90 persen sahamnya dimiliki Mukhamad Misbakhun, inisiator hak angket Century dari Partai Keadilan Sejahtera (baca: ”Berkat Perintah Tuan Besar”).
Dana nasabah Century juga jadi bancakan Robert lewat pemberian kredit. Kredit yang dikucurkan, kata bekas kepala cabang tadi, dicurahkan 70 persen buat perusahaan terkait. Jaminannya bisa berupa saham bodong, sertifikat deposito yang sudah digandakan, surat kredit fiktif, atau sertifikat deposito milik orang lain yang bisa diperjualbelikan (negotiable certificate of deposit). ”Surat deposito yang sudah dijaminkan itu dijaminkan lagi buat mendapatkan kredit lain” kata dia.
Salah satu debitornya PT Signature Capital Indonesia. Pada Mei dan Oktober 2008, perusahaan jasa investasi ini menikmati kredit Rp 122 miliar. Sebagian besar dana itu malah dialirkan ke Antaboga Rp 80 miliar. Ada juga yang ditransfer ke rekening Cipta Karya Husada Rp 14 miliar, lalu dipindah lagi ke rekening berinisial WM di Century Rp 8 miliar. WM adalah pemilik PT Valuta Inti Prima, money changer yang punya kaitan dengan kasus Antaboga.
WM terungkap pernah bertransaksi dengan Dewi Tantular setelah Bank Century diselamatkan. Ia membuka rekening di PT Kim Eng Securities pada 4 Desember 2008. Besoknya ia menerima saham dari Dewi Tantular senilai Rp 578,9 juta. Ia juga pernah menerima aliran dana Rp 35 miliar dari Signature Capital pada 2005-2006.
Komisaris Jenderal Susno Duadji, ketika itu Kepala Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri, pernah mengatakan di depan Komisi Keuangan bahwa dari kasus Antaboga, Robert menikmati Rp 276 miliar, Anton Rp 248 miliar, dan Hartawan Aluwi Rp 853 miliar.
Tak jelas benar di mana saja uang itu disimpan. Namun sumber Tempo mengatakan dua tahun lalu Robert membeli kuasa pertambangan batu bara 400 hektare di Desa Tamiang, perbatasan Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Investasinya Rp 20 miliar.
Robert, tatkala ditemui Tempo beberapa waktu lalu, menepis semua tudingan. Menurut dia, pemberian surat utang tak perlu dipersoalkan. Buktinya, kata dia, sudah ada yang lancar. Ia alpa bahwa ada empat surat utang yang macet, yang ditujukan buat empat perusahaan yang terkait dengan dirinya.
Sedangkan soal urusan Antaboga, saat dipanggil Panitia Khusus pertengahan Januari lalu, Robert mengaku tidak terlibat di dalam manajemen sejak zaman Bank CIC International—yang kemudian merger dengan Bank Danpac dan Pikko menjadi Century, enam tahun lalu.
Pernyataan Robert dikuatkan Denny Kailimang, kuasa hukumnya. ”Sejak CIC masuk pengawasan khusus Bank Indonesia, Robert bukan pengendali lagi,” katanya. Hal ini, kata Denny, bisa dilihat dari surat pemanggilan Bank Indonesia yang selalu ditujukan ke pemegang saham utama saat itu: Rafat Ali Rizvi dan Hesham al-Warraq.
Pernyataan ini ditepis bekas kolega Robert. Menurut dia, dalam setiap rapat kerja tahunan maupun per triwulan, Robert selalu hadir. Ia bahkan rutin mengumpulkan kepala cabang seluruh Jakarta setiap Kamis. ”Rapat belum dimulai bila dia belum datang,” katanya. Di forum itu, ia memberikan instruksi ke tiap pemimpin cabang agar mencairkan kredit. Debitornya sudah ditentukan. Jaminan dan data debitor urusan belakangan. ”Kami sebagai bawahan tidak berani melawan,” katanya.
Dia juga masih ingat, beragam modus tadi tak banyak beda dengan ”lagu lawas” yang sudah dilakoni Robert dan keluarganya sejak masih berbendera CIC. ”Bedanya, makin ke sini mereka lebih nekat,” kata sumber itu.
Yandhrie Arvian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo