SEKALI dua, menonton iklan di RCTI memang mengasyikkan. Tapi kalau lama-lama tentu menyebalkan juga. Penonton awam banyak berkomentar demikian. Sebaliknya, penonton yang lebih kritis berpendapat lain. Mata mereka terasa "gatal" karena banyak tayangan iklan yang menampilkan sosok dan suasana asing. Bila menyimak Surat Keputusan Menteri Penerangan RI Nomor 111/Kep/Menpen/1990 tentang penyiaran televisi di Indonesia, unsur asing itu sebenarnya tidak dibenarkan. Mengenai tata tertib siaran niaga di televisi itu, pasal 20 ayat (2) dan (3) dari SK tersebut tegas-tegas menyebutkan bahwa materinya harus diproduksi di dalam negeri dengan menggunakan latar belakang dan artis Indonesia, dan hanya boleh diproduksi oleh perusahaan yang memperoleh izin untuk itu. Maksud SK ini sangatlah mulia. Antara lain agar tenaga kerja Indonesia juga bisa disalurkan di bidang pembuatan film iklan, satu bidang yang di samping padat modal juga padat karya. Tapi apa yang disaksikan di iklan lebih banyak yang bukan Indonesia. Iklan rokok Marlboro, misalnya, tampil lengkap dengan padang rumput, cowboy bermata biru, dan kuda-kuda berhamburan. Atau iklan Nike yang mengekspos atlet Negro. Semua itu dibikin oleh perusahaan film iklan (production house) asing dan menggunakan artis asing juga. Khusus iklan IBM, gajahnya barangkali gajah pinjaman dari sirkus. Yang pasti, bukan dari sekolah gajah di Lampung. "Harusnya mereka berpikir tentang nasionalisme, dong. Tidak mikir enaknya sendiri," begitu komentar Dirjen RTF Alex Leo Zulkarnaen. Yang disebut "mereka" adalah biro iklan, production house, dan RCTI. Larangan penggunaan artis asing juga belum sepenuhnya dipatuhi. Penyanyi rock dalam iklan Sampoerna A yang digarap PT Tuty Jaya Pictures atas order biro iklan Indo Ad, misalnya, berasal dari Singapura. "Bisa saja kan orang asing itu diganti dengan orang Indonesia," celetuk Alex Leo. Sampoerna sendiri pernah menggarap iklan kolosal di Gunung Bromo. Kabarnya, berpatungan dengan perusahaan asing. Sebuah sumber menyebutkan, pelaksana artistiknya didatangkan dari Amerika Serikat. Dan ilustrasi musiknya diserahkan pada Melbourne Philharmonic Orchestra, yakni orkes simfoni dari Australia yang didukung 100 pemusik. Pihak-pihak yang berkepentingan bukannya tidak membaca peraturan itu. RCTI, umpamanya, sadar betul bahwa layarnya masih diwarnai iklan asing. Serba salah, memang. "Banyak iklan yang mengandung pesan internasional. Kalau dilarang, apa lantas mereka mau membuat iklan baru menurut versi Indonesia?" dalih Zsa-Zsa Tamzil, Humas RCTI. Alasan Zsa-Zsa cukup masuk akal. Apalagi kalau iklan itu sengaja dibuat untuk promosi secara global, dan disebarkan ke seantero dunia. Contohnya Marlboro, Coca-Cola, IBM. "Kalau ditolak, kita sendiri yang rugi," kata Baty Subakti, Direktur B & B Advertising. "Nanti, kalau Indonesia sudah sanggup mengerjakan semua, peraturan itu akan berlaku secara ketat," janji Alex, tanpa memastikan "nanti" itu kapan. Menghasilkan film iklan yang bagus memang tidak gampang. Selain kreativitas, biaya, dan kemampuan pofesional, peralatannya juga harus canggih. Dalam hal peralatan, kita sedikit ketinggalan. Kamera, misalnya, Indonesia baru memiliki kamera jenis Arri Flex 3. Padahal, sekarang ada Arri Flex 4, yang sudah dipunyai Singapura. "Harganya ratusan juta. Perusahaan film kita belum sanggup membelinya," ujar Bay Isbahy. "Bila kita membutuhkannya, terpaksa ke Singapura," ujar Bay lagi. Begitu pula laboratorium untuk memproses film hingga on tape. Menurut Bay, di Indonesia ini baru RCTI dan TVRI yang memilikinya. Berarti, pemrosesan film iklan harus dilakukan di laboratorium luar negeri. Lantas tentang biaya, iklan Sampoerna di Gunung Bromo itu, duitnya dahsyat. Menurut Manajer Pemasaran Sampoerna George Adam, menelan Rp 600 juta. Padahal, panjangnya cuma tiga menit. Tapi tidak semuanya semahal itu. "Tergantung lokasi shooting yang diambil, bintang yang dipakai, dan cara pengambilan gambar," kata Mira Lesmana, produser dari perusahaan film Citra Lintas. Menurut Mira, kalau mengambil lokasi di pegunungan dengan trick-trick rumit, bintang terkenal, dan special effect tertentu, Citra Lintas membutuhkan Rp 150 juta. Untuk menggarap asal jadi saja, cukup Rp 60 juta. Sedang PT Tuty Jaya Pictures memasang tarif paling murah, Rp 50 juta. Honor artis, nah, sama saja. Semakin terkenal, honornya semakin mahal. Artis-artis setingkat Meriam Belina, "tarifnya bisa Rp 15 juta sampai Rp 30 juta," ucap Baty Subakti, Ketua Umum Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I). Kelompok Bimbo pernah dibayar Rp 60 juta untuk iklan rokok Jarum Super. Sedangkan tarif sutradara, antara Rp 10 juta dan Rp 15 juta. Sesuai dengan bidangnya, ada dua jenis perusahaan film iklan: yang menggarap layar bioskop dan yang mengincar layar kaca alias televisi. Dalam catatan Departemen Penerangan, di Indonesia ada 283 perusahaan film iklan bioskop, sedang yang khusus menggarap iklan televisi, 84 buah. Order untuk membuat iklan TV belakangan melonjak deras. Pada 1986 hanya tergarap 20 film, sedangkan ketika muncul RCTI (1989), jadi 90 buah. Dan sewaktu dekoder dicabut, pesanan datang bertubi-tubi. "Semua production house mengalami kelebihan permintaan," ujar R. Hardiyanto, Direktur Indo Ad. Priyono B. Sumbogo, Liston P. Seregar, dan Iwan Qodar Himawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini