Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Gadis gigantis dari madura

Sumaidah, 12, murid kelas 6 sdn tengket, madura menderita sindroma gigantisme akromegali. pertumbuhan ab normal karena kelenjar hypophysis memproduksi hormon berlebihan. kasus ke-4 yang ditangani tim mem.

19 Januari 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TUBUH Sumaidah, 12 tahun, terus berkembang. Dia murid kelas 6 SD Negeri Tengket 3 Arosbaya, Bangkalan, Madura. Tapi tubuhnya mencapai tinggi 172 cm dan berat 70 kg. Ukuran jari kaki dan tangannya dua setengah kali orang dewasa. Gejala pertumbuhan tak normal itu terlihat sejak dia berusia empat tahun. Akhir Desember 1990, Sumaidah dirawat Tim Medik Endrokinologi Metabolik (MEM), Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya, beranggotakan 28 dokter ahli. "Ini kasus sulit, perlu hati-hati menanganinya," ujar Prof. Dr. Askandar Tjokroprawiro, Ketua Tim MEM, kepada Supriyanto Khafid dari TEMPO. Menurut Askandar, Sumaidah menderita Sindroma Gigantisme Akromegali (SGA), yakni pertumbuhan abnormal dari seluruh tubuh karena kelenjar hypophysis memproduksi hormon berlebihan. Hipofisis adalah kelenjar seukuran biji kacang tanah dan menggantung dari otak, terbaring di sebelah dalam tulang pelipis dekat bola mata. Penyakit ini ditandai oleh pembesaran dan penebalan tulang dahi, rahang, kaki, dan tangan secara berangsur. Penyakit ini berlangsung lambat dan baru diketahui setelah penderita memasuki usia menengah. Gejala lain terlihat melalui kulit yang melapisi hidung, bibir, dan bagian dari wajah bisa jadi tebal dan kasar. Biasanya, kulit lebih berlemak karena meningkatnya aktivitas kelenjar sebaceous -- lidah kian besar dan suara memberat -- terutama pada wanita. Sejak kecil, Sumaidah dititipkan pada neneknya. Meski jauh dari ibunya, ia mendapat susu bubuk yang cukup. Pelajaran sekolahnya juga tak mundur. Ia tak pernah tinggal kelas. Nilai rapornya terendah 7. "Bahkan, nilai matematikanya pernah 100," kata Siti Amsina, ibunya, yang bekerja pada seorang bidan. Hingga kini, pemeriksaan terus dilakukan. "Kami perlu hati-hati dalam persiapan dan operasinya. Sebab, bisa menyebabkan komplikasi jantung seperti yang pernah dialami Nyonya Mulia," tutur Askandar. Sumaidah adalah kasus keempat gigantisme yang ditangani Tim MEM. Sebelumnya, Ny. Mulia, 35 tahun, menjalani operasi TESH (Trans Ethmoid Sphenoid Hypophysectomy) atau bedah mikro, Juni 1988. Hingga kini, Mulia masih hidup. Kedua, Deni Tjahyono, 15 tahun, meninggal. Bukan karena gigantisme, tapi disebabkan Hepatitis ganas (Fulminant Hepatitis). Lalu Rubiatun, 9 tahun, menjalani TESH pada Februari 1990. Menurut tim MEM, Sumaidah adalah pasien kedua termuda yang menderita SGA. "Dari tiga kasus sebelumnya, Sumaidah memiliki kesulitan dan kelainan yang berbeda," kata Askandar. Kasus Ny. Mulia termasuk dalam complicated gigantism acromegali dengan kelainan ekstremitas yang telah mengalami ampilosis -- tangan dan kaki tidak bisa diluruskan, selain kelainan jantung cukup berat. Sedangkan Deni menderita apa yang disebut Surabaya Deni's Syndrome (SDS), yaitu bentuk lain dari SGA. Menurut Askandar, ada dua jenis SGA -- konvensional dan variasi. Jenis variasi ini ditemukan pertama kali di Surabaya dalam tubuh Deni, sehingga tim dokter menyebutnya SDS. Konon, SDS ditemukan pada pasien yang usianya di bawah 20 tahun. Pada SDS, ditemukan gejala Gigantisme Akromegali, di mana hormon pertumbuhan pada pagi hari dan waktu puasa normal dan tak ditemukan tumor pada hypophysis. Sedangkan pada SGA konvensional, pada saat itu hormon pertumbuhan akan meningkat. Akibat sampingan dari bertambahnya sekresi hormon pertumbuhan bisa mengganggu fungsi insulin dan bisa menyebabkan diabetes mellitus. Sekitar 25% pasien akromegali menderita komplikasi tambahan ini. Pasien juga akan mengalami penginderaan mata, rasa sakit di tulang dan sendi, hipertensi dan kerusakan pada pembuluh darah. Hasil tes sementara menunjukkan bahwa Sumaidah menderita SGA konvensional. Alasannya, hormon pertumbuhan dan prolactin - hormon yang juga dihasilkan oleh hipofisis, pada pemeriksaan pagi, amat tinggi. Artinya, jika ada gangguan atau benjolan pada hipofisis yang disebut adenoma hipofisis, satu atau beberapa hormon yang dihasilkan hipofisis akan meningkat. Menurut dr. Achmad Hasan, benjolan hipofisis yang menyerang Sumaidah cukup besar, condong ke arah makro adenoma, karena besarnya lebih dari 10 mm. "Hasil CT Scan menunjukkan, ukurannya 35 X 15 mili," kata dokter yang juga Ketua Pelaksanana Harian tim penanganan Sumaidah. Atau disebut Makro Adenoma Supra Sella, yang letaknya di atas Sella Torsica -- tempat dari hipofisis. Dampak dari penderitaan itu, biasanya, si pasien akan kuat makan dan minum. "Tapi mudah lelah dan pusing. Dan bagi wanita, akan mengalami Aminore -- tak mendapat menstruasi, dan bagi pria bisa impoten," ujar dokter spesialis Hyper Hepatologist ini. Hormon pertumbuhan Sumaidah sudah mencapai 60 dibandingkan dengan orang normal yang sekitar 10. "Namun, penyebab utama dari kian besarnya tubuh Sumaidah ialah Somatomedin C," ujar Achmad. Somatomedin C adalah hormon yang diproduksi oleh hati karena rangsangan hipofisis. Untuk memeriksa kadar Somatomedin C, tim MEM mengirimnya ke Australia. Dan hasinya ditunggu selama sebulan. Ada tiga jenis pengobatan untuk menyembuhkan Sumaidah. Pertama dengan operasi, kedua dengan menggunakan obat-obatan atau medicamentosa, dan ketiga dengan penyinaran atau iradiasi. "Biasanya, kombinasi dari dua atau ketiga-tiganya," ujar Askandar. Hingga kini belum diputuskan cara apa yang ditempuh. Kalaupun dibedah, itu hanya untuk mencegah terjadinya kebutaan. Karena dari pemeriksaan mata ada kelainan. Tampaknya, tim pimpinan Prof. Askandar masih terus mencari tahu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus