Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Google jadi sorotan setelah menampilkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS di angka 8.170 per dolar AS pada Sabtu sore, 1 Februari 2025. Angka ini jauh dari kurs resmi yang berada di kisaran Rp 16.300 per dolar AS dan sontak memicu kebingungan publik dan kehebohan di media sosial.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejumlah pengguna menduga bahwa Google mengambil data kurs dari tahun 2009, namun setelah ditelusuri, kesalahan itu bukan akibat timestamp yang salah baca, melainkan kemungkinan kesalahan input data atau bug sistem.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber CISSReC Pratama Persadha menjelaskan kesalahan input dalam sistem berbasis data bukanlah hal yang mustahil. Meskipun Google menggunakan algoritma otomatis untuk menarik data dari berbagai sumber, ada kemungkinan faktor manusia ikut berperan dalam kesalahan ini.
"Dalam sistem data, manusia tetap memiliki peran dalam memasukkan dan memperbarui informasi. Typo atau kesalahan input angka bisa menyebabkan kurs yang ditampilkan jauh dari nilai sebenarnya," ujar Pratama dalam keterangannya, Sabtu, 1 Februari 2025.
Lebih lanjut, ia menambahkan kesalahan ini seharusnya tidak terjadi pada platform sebesar Google, yang menjadi rujukan utama banyak orang dalam mendapatkan informasi ekonomi dan keuangan.
Google memang bukan lembaga keuangan, namun sebagai agregator data, platform ini memiliki pengaruh besar dalam membentuk persepsi ekonomi publik. Kesalahan tampilan kurs yang berlangsung cukup lama bisa berdampak pada berbagai keputusan ekonomi, terutama bagi pelaku usaha dan investor yang mengandalkan informasi nilai tukar untuk transaksi mereka.
"Bayangkan seorang eksportir yang melihat kurs tiba-tiba menguat drastis, tentu ini bisa mempengaruhi strategi bisnisnya. Kesalahan seperti ini, jika tidak segera diperbaiki, bisa merugikan banyak pihak," kata Pratama.
Selain itu, ia juga menyoroti respons lambat Google dalam memperbaiki kesalahan data ini. Menurutnya, platform sebesar Google seharusnya memiliki sistem pemantauan yang lebih ketat agar kesalahan input tidak sampai menyesatkan publik.
Kesalahan input kurs rupiah ini kembali mengingatkan pentingnya transparansi dalam penyajian data digital. Google diharapkan lebih terbuka dalam menjelaskan bagaimana sistemnya bekerja dan dari mana data kurs mata uang diambil.
"Jika kesalahan ini memang karena faktor human error atau bug sistem, Google harus segera menjelaskan dan memastikan mekanisme verifikasi data lebih ketat ke depannya," ujar Pratama.
Sebagai langkah mitigasi, masyarakat disarankan untuk tidak hanya mengandalkan Google sebagai sumber utama informasi nilai tukar. Bank Indonesia, Bloomberg, Reuters, dan OANDA adalah beberapa referensi yang lebih akurat dan terpercaya.
Di era digital yang serba cepat, kesalahan kecil dalam sistem bisa berdampak besar. Kasus ini menjadi pengingat bahwa meskipun teknologi mempermudah akses informasi, ketelitian dan verifikasi tetap menjadi kunci dalam mengambil keputusan finansial.