Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Hidangan untuk karyawan kantor

Di kota besar indonesia pertumbuhan fasfood, mulai dari ayam goreng sampai hamburger maju dengan pesat. menanamkan investasi di bidang industri makanan da pat berhasil bila tahu sasaran pemasarannya.

9 Februari 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WARNA-warna pastel kebiruan, pink, hijau, dan cahaya neon kemerahan menyemarakkan suasana ruangan seluas sekitar 200 m2 di lantai dasar Sampoerna Plaza. Lalu ada gambar seorang gadis berpita menghiasi bagian atas tempat pemesanan makanan. Itulah Wendy's Hamburger, yang sejak awal pekan silam membuka kedai di kawasan perkantoran Kuningan, menyusul pembukaan restoran yang sama di Plaza Indonesia -- keduanya di Jakarta. Kendati peresmian Wendy's baru akhir Maret, kedua tempat itu sudah didatangi banyak tamu. Dari kenyataan itu tampak bahwa ternyata khalayak Jakarta masih bisa menyerap makanan praktis -- terutama dari Amerika. Apalagi di sini sudah ada ayam goreng Kentucky, ada ayam goreng Texas, ada King's Burger, dan segera menyusul (lebih dahulu dari Wendy's) McDonald, yang akan buka akhir Februari di lantai dasar Gedung Sarinah di Jalan Thamrin. Di samping itu, juga ada fastfood gaya lokal, Ayam Goreng & Steak Nyonya Tanzil, serta masakan Jepang, Hoka Hoka Bento, yang cukup banyak pula menyedot tamu. Pendek kata, Jakarta benar-benar merupakan lahan subur bagi siapa pun yang menanamkan investasi di bidang industri makanan asalkan tahu sasaran pemasarannya. Ayam goreng Texas, misalnya, menurut pemegang lisensi untuk Indonesia, Nyonya Herlia Emmi Yani, sebelum diperkenalkan pada masyarakat di sini terlebih dahulu melakukan riset pasar, antara lain dengan memanfaatkan data Biro Pusat Statistik, untuk mengenal lebih dalam tentang suatu wilayah yang akan dijadikan lokasi restoran. Penelitian meliputi berapa banyak mobil lalu lalang di situ sampai berapa rata-rata pendapatan penduduk di daerah sekitar lokasi restoran. "Sasaran pemasaran kami sebenarnya para remaja," kata Herlia. Kendati demikian, Herlia mengaku tidak terikat benar pada hasil riset tersebut. Kadang kala pertimbangan yang dipakai untuk memilih lokasi adalah naluri. Ada tempat-tempat yang dis- angka Herlia tidak bakal mengundang banyak konsumen ternyata malah penuh. Begitu pula sebaliknya. Sekalipun konsumen utama yang diharapkan Herlia adalah remaja, pada perkembangannya kelompok umur lain juga rajin ke ayam goreng Texas, jaringan hidangan ayam kota yang sudah menyerap 2.000 tenaga kerja itu. Pada hari kerja banyak karyawan kantor antre di restoran-restoran ayam goreng Texas yang sudah tersebar pada 28 tempat. Maka, Herlia optimistis modal Rp 450 juta yang dikeluarkan untuk membuat satu cabang bisa kembali setelah restoran beroperasi sekitar 4-5 tahun. Karena itu, Herlia, yang membeli lisensi ayam goreng Texas seharga US# 125.000 untuk jangka delapan tahun pada 1983, bersiap-siap memperpanjang kontrak. Bagaimanapun menghitung kecenderungan pasar tetap penting. Pada akhir 1988, ketika Presiden Direktur Nyonya Tanzil Fried Chicken, Mary Honoris, memutuskan membuka jaringan restoran ayam goreng, pertimbangannya adalah karena fastfood sedang menggejala luar biasa. Saat itu Mary, seperti dituturkan kembali oleh general manager Nyonya Tanzil Fried Chicken, A. Yudiarto, mengatakan, "Kenapa kita tidak bisa menciptakan fastfood ala Indonesia?" Kemasyhuran sebagai penghasil pelbagai resep masakan dan kue adalah aset penting untuk mengibarkan hidangan ayam goreng Nyonya Tanzil. "Kita dijajah Belanda karena rempah-rempah, mengapa mesti buang uang mengimpor ayam dan bumbu makanan dari luar?" kata Yudiarto. Desember 1988, restoran ayam goreng Nyonya Tanzil pertama berdiri di Rawamangun, dan setahun kemudian menyusul lima cabang yang disebarkan di pelbagai pelosok Jakarta. Tahun 1990, menyusul lagi di Bekasi dan Pamulang. Dengan modal Rp 300-500 juta untuk setiap cabang, dan diperkirakan kembali setelah 3-4 tahun, ayam goreng Nyonya Tanzil, yang kini bekerja sama dengan jaringan pasar swalayan Hero, segera menambah tujuh restoran lagi. Perkembangan itu pula yang membakar semangat Kim Yong, investor Wendy's, menanam modal Rp 20 milyar, untuk menyewa ruangan, mendidik karyawan (tiap kedai 100 orang), promosi, dan biaya manajemen. Kim Yong, yang diperkirakan modal akan kembali dalam lima tahun, segera akan membuka cabang di Bandung, Surabaya, dan Bali. "Pasar kami adalah kalangan orang kantoran," katanya. Riset pasar selama dua tahun membuatnya yakin pasar siap menyerap Wendy's. Tanpa riset pasar pun, Bambang Rachmadi, pemegang lisensi McDonald, yakin dagangannya bisa merebut konsumen. Sasaran utamanya adalah keluarga. "Tapi saya belum bisa memastikan berapa pangsa pasar yang akan diserap McDonald," katanya kepada wartawati TEMPO, Siti Nurbaiti. Bambang Rachmadi optimistis karena merek yang dipegangnya sudah tersohor. Apalagi melahap hidangan praktis di ruangan yang rapi dan mengkilap sudah jadi kebiasaan di sini. MC dan Biro Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus