Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBUAH lahan kosong penuh pepohonan dan ilalang menjadi pemandangan pertama ketika memasuki Kawasan Kaltim Industrial Estate di Bontang, Kalimantan Timur. Berada di sebelah kanan jalan masuk, tanah kosong serupa "hutan kecil" itu terlihat kontras di tengah kawasan industri yang sudah dipenuhi pabrik-pabrik besar dengan asap mengepul di setiap cerobongnya.
Semestinya sebuah pabrik berdiri di lahan seluas hampir tujuh hektare itu. PT Dahana, perusahaan pelat merah yang bergerak di bidang industri bahan peledak, berencana membangun pabrik amonium nitrat di sana. Menggandeng PT Pupuk Kaltim, Dahana akan membangun pabrik bahan baku alat peledak berkapasitas 150 ribu ton per tahun. "Kami sudah menyiapkan lahannya, tapi sampai sekarang belum ada kegiatan apa-apa," kata Manajer Hubungan Masyarakat PT Pupuk Kaltim Adi Dhata Arief saat ditemui Tempo pada Kamis dua pekan lalu.
Ketika dikunjungi pada siang itu, hanya ada sebuah papan proyek berukuran sekitar satu meter persegi terpancang di pinggir lahan. Isinya: "Tanah milik PT Kaltim Amonium Nitrat untuk Pembangunan Pabrik Amonium Nitrat". Kaltim Amonium Nitrat adalah perusahaan patungan bentukan Dahana dan Pupuk Kaltim. PT Dahana mengumumkan rencana pembangunan pabrik amonium nitrat itu pada 19 November 2015.
Kaltim Amonium Nitrat semestinya sudah memulai pekerjaan di lahan tersebut. Pelaksana Tugas Direktur Utama PT Dahana Bambang Agung, yang menandatangani head of agreement antara Dahana dan Pupuk Kaltim pada November tahun lalu, pernah mengatakan perusahaan menargetkan pengoperasian perdana pabrik amonium nitrat pada 2018.
Mamat Ruhimat, Sekretaris Perusahaan PT Dahana, mengatakan proyek pabrik amonium nitrat senilai US$ 134 juta ini bukannya tak digarap. Ia menyebutkan perusahaan saat ini sedang menyelesaikan evaluasi studi kelayakan. "Tapi sebagian besar sudah pasti, termasuk lahan. Tinggal detail lain yang perlu keputusan bersama," kata Mamat saat ditemui di kantornya, Rabu dua pekan lalu. Tanpa merinci persoalan apa yang belum tuntas, menurut Mamat, urusan perubahan studi kelayakan bakal rampung paling lama pada akhir September ini.
Pencanangan pabrik amonium nitrat pada November tahun lalu, yang dihadiri Presiden Joko Widodo, seharusnya menjadi angin segar bagi proyek yang sudah lama terbengkalai ini. Genap sepuluh tahun, pabrik yang digadang-gadang Dahana ini belum juga terwujud. Hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan yang rampung pada Februari 2014 bahkan menyebutkan kerja sama antara Dahana dan perusahaan swasta pada 2006 justru menimbulkan kerugian bagi perusahaan pelat merah ini.
SEBELUM bermitra dengan Pupuk Kaltim, Dahana sempat menggandeng PT Suma Energi Nusantara, perusahaan swasta asal Makassar, untuk membangun pabrik bahan baku peledak. Mayoritas saham Suma Energi dimiliki oleh PT Suma Sarana—perusahaan yang berafiliasi dengan Nuansa Group milik Susanto Supardjo, menantu Wakil Presiden Jusuf Kalla—sebesar 65 persen.
Dahana dan Suma Energi meneken nota kesepakatan (memorandum of agreement) pembangunan pabrik amonium nitrat berkapasitas 300 ribu ton per tahun pada 12 Januari 2006. Lokasinya sama dengan proyek yang kini digarap Dahana bersama Pupuk Kaltim, yakni di Bukit Tursina, Loktuan, Kawasan Kaltim Industrial Estate, Bontang.
Setelah mendapat persetujuan rapat umum pemegang saham pada 29 Juni 2006, Dahana tancap gas. Sebulan kemudian, kedua pihak meneken perjanjian kerja sama operasi pendirian dan pengoperasian pabrik. Sesuai dengan perjanjian, Dahana dan Suma Energi sepakat berbagi tugas. Dahana bertanggung jawab membuat studi kelayakan dan merancang desain pabrik. Adapun Suma Energi berkewajiban menyiapkan pendanaan dan membiayai seluruh kebutuhan investasi yang diperkirakan mencapai US$ 104,4 juta. Suma Energi ketika itu mengantongi dukungan finansial dari Bank Mandiri sebesar US$ 99,5 juta.
Seorang pejabat Dahana yang mengikuti proses ini bercerita, persoalan mulai muncul ketika kongsi bisnis yang baru berjalan dua tahun menunjukkan keanehan. "Suma Energi kesulitan keuangan sampai meminta dana talangan," kata pejabat tersebut pada awal September lalu.
Berdasarkan laporan keuangan Suma Energi tahun 2007, aset perusahaan per 31 Desember tercatat hanya Rp 1,7 miliar dengan modal saham Rp 1,2 miliar. Walhasil, pada 27 Mei 2008, Suma Energi mengajukan permohonan dana talangan kepada Dahana sebesar US$ 3,2 juta. Uang itu untuk membayar pembelian 65 persen saham PT Pukati Pani, yang dimiliki oleh PT Parna Raya. Pembelian saham itu ditempuh Suma Energi untuk menguasai lahan seluas 6,8 hektare di Bontang milik Pukati.
Suma Energi ternyata tidak sanggup melunasi dana talangan itu hingga batas jatuh tempo 18 Desember 2008. Sebagai solusinya, sehari sebelum jatuh tempo, Dahana dan Suma Energi sepakat melakukan perjanjian penerbitan obligasi wajib tukar (mandatory exchangeable bond/MEB) sebagai pembayaran atas dana talangan. Tapi, sampai tenggat 30 April 2009, Suma Energi tetap tidak bisa membayar. Apalagi nilai MEB I meningkat menjadi US$ 3,4 juta karena tambahan beban bunga obligasi sebesar 11 persen per tahun. Ujung-ujungnya, Dahana mengkonversi MEB I menjadi 19 persen saham Suma Energi.
Suma Energi kembali mengajukan permintaan dana talangan kepada Dahana. Melalui pemegang sahamnya, Suma Sarana mengajukan permohonan dana talangan sebesar US$ 4,14 juta. Duit itu digunakan untuk kebutuhan studi konsep, kegiatan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), dan kegiatan operasional. Seperti sebelumnya, Suma Energi kembali gagal membayar dana talangan. Dua perusahaan kembali menerbitkan obligasi wajib tukar yang kedua (MEB II) sebesar US$ 4,14 juta. Pada November 2012, pinjaman itu dikonversi menjadi 20,2 persen hak Dahana atas saham Suma Energi.
PEMBERIAN dana talangan—yang kemudian dikonversikan menjadi saham atas Suma Energi—belakangan menjadi persoalan. Dalam laporan hasil pemeriksaan atas kegiatan pengadaan dan penjualan tahun 2011 dan 2012 PT Dahana, Badan Pemeriksa Keuangan menyatakan perusahaan pelat merah ini merugi. Tak tanggung-tanggung, nilainya mencapai Rp 66,7 miliar. Angka tersebut berasal dari selisih antara nilai kepemilikan riil Dahana atas Suma Energi yang tak sebanding dengan dana talangan I dan II yang sudah dikeluarkan.
Seorang auditor BPK mengaku heran dengan keputusan Dahana memberikan dana talangan tersebut. Menurut dia, sebagai BUMN strategis, direksi Dahana seolah-olah mengabaikan tahap analisis risiko dan kajian kelayakan kerja sama atas kemampuan mitranya, terutama kemampuan permodalan dan finansial. Apalagi kalau ujung-ujungnya untuk melanggengkan modus pengeluaran uang dengan cara pemberian dana talangan. "Kalau butuh tanah, kenapa harus lewat Suma Energi? Kalau mau beli tanah Pukati, ya ke Pukati langsung saja," kata auditor tersebut.
Anggota Badan Pemeriksa Keuangan, Achsanul Qosasi, mengatakan Dahana seharusnya melakukan uji tuntas atas nilai riil Suma Energi dan menjelaskan nilai yang didapat dari konversi saham. "Yang penting ada penyelesaian atas uang yang sudah keluar," ujarnya.
Dalam rekomendasinya, Badan Pemeriksa Keuangan meminta direksi Dahana mengevaluasi kerja sama pembangunan pabrik amonium nitrat dengan Suma Energi. Melalui Menteri Badan Usaha Milik Negara, Badan Pemeriksa juga meminta komisaris, direktur utama, serta direktur keuangan dan pengembangan usaha yang menjabat pada periode dilakukannya konversi MEB I dan MEB II mempertanggungjawabkan kerugian. Pada saat itu, direktur utama dijabat oleh Tanto Dirgantoro. Adapun direktur keuangan dan pengembangan usaha diemban oleh Fajar Harry Sampurno.
Fajar Harry Sampurno, yang kini menjabat Deputi Menteri BUMN Bidang Jasa Pertambangan, Industri Strategis, dan Media, membantah info ada kerugian yang ditanggung Dahana seperti yang tertulis dalam laporan hasil pemeriksaan BPK. Menurut dia, pada dasarnya Dahana akan mengeluarkan duit untuk membangun pabrik. "Cuma dulu seharusnya dibayar oleh Suma Energi," kata Harry saat ditemui di kantornya, dua pekan lalu. "Karena Suma Energi tidak bayar, ya, kami ambil alih perusahaannya."
Menurut dia, direksi juga sudah melakukan analisis risiko dan kelayakan mitra kerja. "Kami minta jaminan dari bank, maka Suma Energi kemudian mengeluarkan jaminan dari Bank Mandiri," ujar Harry.
Budi Antono, Direktur Utama Dahana yang baru menjabat sepuluh bulan, menolak berkomentar banyak tentang audit BPK atas proyek masa lalu perusahaannya. Ia hanya mengatakan bahwa memperhitungkan segala risiko adalah keharusan. "Dahana tidak mungkin tidak melakukan kajian atas pembangunan pabrik amonium nitrat yang dikerjakan bersama mitra," kata Budi melalui pesan pendek, Rabu pekan lalu. Ketika proyek ini diteken, Budi menjabat direktur operasi.
Ayu Prima Sandi, Firman Hidayat (Bontang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo