Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RAUNG mesin ekskavator tak berhenti mengganggu tidur Merty Katulung sejak dua tahun lalu. Rumah Merty di Desa Kahuku, Kecamatan Likupang Timur, Minahasa Utara, Sulawesi Utara, ini hanya berjarak 300 meter dari pertambangan PT Mikgro Metal Perdana. Namun, sejak tiga pekan lalu, Merty mengaku sudah tidak mendengar deru mesin lagi. "Mereka sebelumnya bekerja 24 jam," ujarnya Kamis pekan lalu.
Operasi di Pulang Bangka, Sulawesi Utara, itu dihentikan menyusul polemik berkepanjangan antara warga Kahuku dan Mikgro. Pertengahan bulan lalu, Mahkamah Agung bahkan meminta pemerintah membatalkan izin usaha operasi PT Mikgro. Itu sebabnya, Kepala Desa Kahuku, Imanuel Kolang Tinungki, menyatakan aktivitas Mikgro di sana ilegal. Putusan itu keluar setelah warga Pulau Bangka menggugat izin usaha operasi produksi PT Mikgro ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta pada 21 Oktober 2014.
Ikhtiar Mikgro Metal Perdana sebenarnya hampir berhasil setelah memperoleh sokongan dari Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan. Pada akhir Juli lalu, kementerian itu sempat melayangkan surat ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Isinya memohon dukungan hukum dan keamanan terhadap aktivitas investasi asing.
Komisaris Utama PT Mikgro Yang Xiaokang mengakui masih ada aktivitas pertambangan di sana. Namun kegiatan itu bukanlah pengerukan bijih besi, melainkan pekerjaan konstruksi. "Kami harus mempersiapkan operasi dengan membangun fasilitas," kata Yang.
PT Mikgro Metal Perdana adalah perusahaan penanaman modal asing yang 89 persen sahamnya dimiliki PT Allindo Indonesia. Allindo adalah bagian dari Grup Aempire Resource, induk usaha yang bermarkas di Cina. Sisa saham dimiliki oleh mitra lokal, PT Abang Resource Indonesia dan PT Anugerah Multi Investama.
Mikgro mengantongi kuasa eksplorasi pertambangan di Minahasa Utara sejak 2008. Saat itu luas wilayah tambangnya 1.300 hektare. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara mengubah izin PT Mikgro menjadi izin usaha pertambangan. Bupati Minahasa Utara Sompie Singal kemudian memperluas wilayah tambang perusahaan menjadi 2.000 hektare melalui Surat Keputusan Nomor 162 Tahun 2010. Wilayah pertambangan sempat bergeser tiga kali karena tumpang-tindih dengan kawasan hutan lindung.
Warga Kahuku sudah menolak kehadiran PT Mikgro sejak perusahaan melakukan eksplorasi. Anggota Koalisi Penyelamatan Pulau Bangka, Jull Takaliuang, menilai keberadaan tambang mengancam ekosistem laut. Koalisi ini mengamati terumbu karang di dekat pantai rusak karena tertimbun pasir dan batu kali yang digunakan PT Mikgro untuk membangun pelabuhan. "Mereka memotong aliran sungai sehingga warga sulit memperoleh air," kata Jull.
Semula warga Pulau Bangka menggugat izin PT Mikgro ke Pengadilan Tata Usaha Negara Manado pada Januari 2011. Gugatan ditolak pengadilan tingkat pertama. Di tingkat banding, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Makassar memenangkan gugatan itu sekaligus membatalkan izin eksplorasi PT Mikgro. Putusan diperkuat oleh Mahkamah Agung di tingkat kasasi pada 24 September 2013.
Bukannya menaati putusan MA, Menteri Energi Jero Wacik menerbitkan izin usaha operasi produksi PT Mikgro pada 17 Juli 2014. Keputusan Jero dihujani protes masyarakat. Koalisi berunjuk rasa di Pulau Bangka, Manado, hingga ke Jakarta. Izin yang diterbitkan Jero bertentangan dengan hasil rapat perwakilan sembilan instansi pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Berlangsung pada awal Juli 2014 di Jakarta, rapat merekomendasikan agar Mikgro menunda operasi.
Berdasarkan risalah rapat yang salinannya diterima Tempo, rekomendasi itu muncul karena perusahaan tidak mengantongi izin pemanfaatan pulau-pulau kecil dari Kementerian Kelautan dan Perikanan. Surat rekomendasi penundaan operasi tersebut baru diberikan Kementerian ESDM kepada perusahaan dua bulan setelah izin dari Jero Wacik diterbitkan.
Direktur Jenderal Pengelolaan Laut Brahmantya Satyamurty Poerwadi membenarkan izin tersebut belum diperoleh PT Mikgro sampai sekarang. Alasannya, Pemerintah Kabupaten Minahasa Utara belum menerbitkan Peraturan Daerah Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Peraturan Tata Ruang itu tak memasukkan lokasi pertambangan di Pulau Bangka.
Pendapat berbeda datang dari kuasa hukum PT Mikgro, Rosid Balfas. Ia mengatakan kliennya tak perlu menunggu izin pemanfaatan pulau-pulau kecil. Sebab, kata dia, lokasi tambang seluruhnya berada di darat. "Di laut kami hanya membangun pelabuhan," ucapnya.
Itu sebabnya PT Mikgro ngotot ingin melanjutkan operasi produksi. Agar keinginan itu terlaksana, seorang pejabat di Kementerian Energi menuturkan, Komisaris Utama PT Mikgro Yang Xiaokang kerap bertandang ke kantor Kementerian Energi untuk melobi. "Dia juga kirim surat banyak sekali, meminta pemerintah memberikan jaminan kepastian hukum," ujarnya.
Tak hanya ke Kementerian ESDM, Yang Xiaokang juga melobi Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan. Pada akhir Juni lalu, ia juga menyambangi Deputi Koordinasi Hukum dan HAM Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Jhoni Ginting. Yang Xiaokang mengklaim perusahaannya sudah menggelontorkan duit Rp 1,4 triliun untuk pembangunan fasilitas tambang beserta sarana pengolahan. Pada 13 Juli 2016, ia berkirim surat ke Menteri Luhut Binsar Pandjaitan meminta agar surat penundaan operasi produksi di Pulau Bangka dicabut.
Permohonan itu direspons Luhut. Ia meminta anak buahnya menindaklanjuti permohonan tersebut. Maka terbitlah surat Kementerian Politik, Hukum, dan Keamanan kepada Kementerian ESDM yang diteken Jhoni Ginting pada 25 Juli 2016. Isinya meminta Kementerian ESDM memberikan dukungan hukum dan keamanan bagi investor asing.
Jhoni tidak membalas permintaan wawancara Tempo. Namun Luhut membenarkan surat itu dibuat atas perintahnya. "Dulu kami tidak tahu persis ceritanya. Saya minta karena itu investor asing," ujar Luhut. Dua hari setelah surat dikirim, Luhut bergeser posisi menjadi Menteri Koordinator Kemaritiman.
Yang Xiaokang membenarkan sejumlah upaya lobi ditempuh untuk mendukung kelanjutan operasi perusahaann ya. "Kami meminta dukungan ke menteri dan direktur jenderal," ujarnya Kamis pekan lalu. "Dalam satu atau dua hari ini, kami akan mengirim surat juga ke Presiden Joko Widodo."
Satu bulan setelah surat Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan itu, Kementerian ESDM menerjunkan tim untuk meninjau lokasi tambang PT Mikgro. Tim yang terdiri atas 17 orang ini melakukan pengecekan pada 22 Agustus-6 September 2016.
Pejabat di Kementerian Energi mengatakan hasil pemeriksaan menjadi dasar lembaganya menyetujui kelanjutan operasi PT Mikgro. Tapi sampai saat ini surat penundaan tidak kunjung dicabut karena menunggu pengesahan Peraturan Daerah Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil oleh Bupati Minahasa Utara. Niat Kementerian ESDM itu bertentangan dengan putusan Mahkamah Agung, yang meminta pemerintah membatalkan izin operasi PT Mikgro.
Kementerian ESDM pantang mundur. Pejabat tadi mengatakan lembaganya berniat mengajukan permohonan peninjauan kembali. Upaya ini ditempuh untuk menghindari risiko gugatan arbitrase. "Di arbitrase, kami selalu kalah," ujarnya.
Luhut, yang kini merangkap jabatan menjadi pelaksana tugas Menteri Energi, membantah informasi tersebut. "Buat apa mengajukan peninjauan kembali? Bisa bikin tambah masalah," katanya. Berbekal putusan MA, Luhut berencana memindahkan lokasi tambang dengan meminta pemerintah Sulawesi Utara mencari lokasi baru. "Izin saat ini hampir pasti tidak mungkin diteruskan," ujarnya.
Robby Irfany, Diko Oktara
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo