Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budiharjo Iduansjah mengatakan pihaknya tengah merumuskan masukan untuk revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024. Tujuannya, agar importasi produk yang dipasarkan oleh sektor retail lebih sederhana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Banyak hal teknis yang kami berikan masukan agar Permendag 8 bisa mengakomodasi sektor retail,” ujarnya kepada Tempo, Kamis, 26 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Budi menyebut, beberapa masukan yang diusulkan Hippindo, di antaranya mengenai penghapusan syarat izin sewa gudang, pendaftaran merek, serta kuota. Menurut dia, syarat impor yang terlalu menyoroti hal-hal teknis dapat menjadi backfire dan memukul mundur investasi. Apalagi, produk-produk yang diimpor merupakan produk-produk bermerek global yang investasinya telah memenuhi persyaratan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dan dilakukan secara legal.
Budi berpendapat, importasi produk pakaian jadi bermerek global cukup dibuktikan dengan adanya toko resmi sesuai dengan merek produk yang diimpor. “Kalau yang mau impor toko online, itu yang harus dibuktikan. Tapi kalau yang impor tokonya jelas, alamatnya jelas, mereknya jelas, ada investasi, ada karyawan, enggak usah ditanya terlalu ribet,” ucap Budi.
Menurutnya, penyederhanaan regulasi mengenai impor ini penting untuk keberlangsungan sektor retail. Sebab, proses perizinan importasi yang rumit memicu pergeseran preferensi belanja masyarakat, khususnya pada kalangan menengah ke atas.
Budi menuturkan, belakangan muncul tren berbelanja produk-produk bermerek global ke luar negeri. “Padahal, brand-brand global tersebut juga dijual di Indonesia. Tapi masyarakat lebih memilih membeli ke Singapura, Malaysia, bahkan Jepang,” kata dia.
Pergeseran preferensi tersebut, kata Budi, terjadi akibat adanya disparitas harga pada produk merek global yang dijual di dalam dan di luar negeri. Selain itu, masyarakat juga beranggapan bahwa produk-produk bermerek global sering kali terlambat masuk ke Indonesia.
Hippindo sepakat bahwa pemerintah harus memperketat regulasi impor untuk mencegah adanya impor ilegal yang merugikan industri dalam negeri. “Tapi akhirnya yang legal seperti kami juga terkena dampak rumitnya regulasi yang sebenarnya tidak perlu,” kata dia.
Adapun, Permendag 8 Tahun 2024 merupakan revisi ketiga dari Permendag 36 Tahun 2023 tentang larangan pembatasan impor. Permendag ini diterbitkan sebagai respons pemerintah atas menumpuknya kontainer di pelabuhan-pelabuhan impor karena belum turunnya izin. Penerbitan Permendag ini bertujuan untuk mengatasi persoalan yang muncul akibat pemberlakuan Permendag 36/2023 jo 3/2024 jo 7/2024 yang melakukan pengetatan impor dan penambahan persyaratan perizinan impor berupa peraturan teknis (pertek).
Dengan diterbitkannya Permendag 8/2024, dilakukan sejumlah relaksasi perizinan impor. Salah satu komoditas yang terkena relaksasi impor adalah alas kaki dan pakaian jadi.
Meski dianggap mengatasi masalah penumpukan kontainer, banyak pihak yang menyesalkan diterbitkannya Permendag ini, salah satunya adalah asosiasi industri tekstil dan pertekstilan.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (Apsyfi), Redma Gita Wirawasta mengatakan lonjakan impor pakaian jadi akibat pemberlakuan Permendag Nomor 8 Tahun 2024 menjadi penyebab kolapsnya puluhan industri tekstil dalam negeri. Menurut dia, Permendag 8/2024 yang menghapus Pertek untuk perizinan impor pakaian jadi, terbukti menaikkan impor pakaian jadi hingga 18 kali lipat dibanding sebelumnya.
Apsyfi melaporkan sebanyak 60 perusahaan tekstil berguguran dalam dua tahun terakhir. Kolapsnya industri tekstil ini mengakibatkan sebanyak 250 ribu pekerja terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
Yudono Yanuar berkontribusi dalam artikel ini.