Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Horison pulang ke balai budaya

Yayasan indonesia, penerbit horison, membatalkan kerja samanya dengan pt grafiti pers untuk menerbitkan horison baru. enam anggota yayasan minta keputusan itu dikoreksi.

24 Juli 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TERNYATA Horison baru hanya berumur satu edisi. Tiga hari setelah acara peluncurannya di Perpustakaan Nasional, Jakarta, majalah sastra itu harus kembali ke pengasuhnya yang lama. Rapat Yayasan Indonesia, pemegang SIUPP Horison, Rabu 14 Juli lalu secara sepihak membatalkan kerja sama dengan pengelola baru, PT Grafiti Pers. Dipersiapkan dengan kecepatan tinggi oleh tim redaksi baru, Horison sempat tampil beda bulan Juli ini, sebagai majalah sastra dan seni bukan cuma sastra. Dan pemasarannya pun ditangani dengan sungguh-sungguh oleh Sigit Pramono dari bagian pemasaran Majalah TEMPO. Dalam Horison yang terbit 64 halaman itu di dalamnya dicantumkan formulir langganan. Sejumlah Formulir itu sudah sempat kembali juga sejumlah naskah sudah sempat dipertimbangkan oleh tim redaksi yang baru. Tapi karena ada anggota Yayasan Indonesia yang tampaknya berubah sikap, semuanya berantakan. Itu disesalkan Arief Budiman, salah seorang pendiri Yayasan Indonesia. Ia tak menemukan alasan penting di balik pembatalan itu. ''Saya sangat kecewa, perkembangan kehidupan sastra dihambat oleh kendala yang tidak berhubungan dengan sastra,'' katanya. Memang, sampai 14 Juli itu, ''belum ada naskah kerja sama yang ditandatangani,'' kata Taufiq Ismail seusai rapat Yayasan Indonesia di Balai Budaya. Taufiq, anggota Badan Pendiri Yayasan Indonesia, diminta oleh Mochtar Lubis untuk menjawab pertanyaan wartawan Ibu Kota yang menunggu hasil rapat Yayasan itu. Kalau Horison baru sempat terbit, menurut Taufiq, ''karena niat baik dari pihak masing-masing. Selagi konsep kerja sama disusun, pengelola baru sudah mempersiapkan penerbitan.'' Taufiq, yang termasuk salah seorang pendiri Yayasan Indonesia, benar. Awalnya adalah niat baik. Rapat Yayasan Indonesia bulan Februari 1992 menyadari bahwa Horison kekurangan dana. Secara bergurau, kabarnya, Hamsad Rangkuti mengusulkan, bagaimana kalau ada dana dari Yayasan SDSB, pembikin lotere nasional itu. Tapi usul Hamsad kemudian terlupakan. Yang disepakati, pokoknya Yayasan membuka diri masuknya modal baru. Untuk itu, pihak Yayasan rela bertoleransi untuk membagi Horison menjadi 50% sastra dan 50% hiburan. Lalu, untuk memperbaiki tiras Horison disebut-sebut pemasarannya akan diserahkan ke Goenawan Mohamad, salah seorang direktur PT Grafiti Pers, bila ia bersedia. Ini kalau ternyata pihak PT Gramedia, pemasaran lama, tak sanggup lagi memasarkan majalah sastra ini. Hal ini disinggung dalam rapat, konon, karena Mochtar Lubis anggota Yayasan Obor yang menerbitkan buku-buku tertentu mendapat kabar bahwa Gramedia tak sanggup mengedarkan buku terbitan Obor. Nah, kalau soal buku tak lagi disanggupi, bisa jadi pemasaran Horison bisa telantar. Tapi rupanya keputusan rapat tak segera dilaksanakan. Barulah, pada bulan Januari 1993, tiga wakil yayasan, yaitu Mochtar Lubis, Ali Audah, dan Hamsad Rangkuti, bertandang ke kantor PT Grafiti Pers untuk menawarkan pengelolaan itu. Goenawan tak hanya bersedia menangani pemasarannya, tapi juga siap menyediakan tenaga baru pengelolanya. Dan yang sangat melegakan Mochtar Lubis, Goenawan menolak tawaran menjadikan Horison 50% sastra dan 50% hiburan. ''Kami mau 100% sastra,'' kata Goenawan. Dari pihak PT Grafiti Pers, tak banyak persyaratan yang diminta. Goenawan hanya ingin kemandirian redaksi. Usulan pembagian saham 51% untuk Yayasan Indonesia dan 49% untuk PT Grafiti Pers yang sempat dibahas dalam rapat Yayasan, tak disinggung-singgung. ''TEMPO sama sekali tidak berniat mengambil untung dari usaha ini,'' tulis Goenawan dalam surat tanggal 3 Maret 1993 kepada Yayasan Indonesia. Jika ada surplus pendapatan, uang itu disiapkan untuk pengembangan Horison. Dan dalam pertemuan lanjutan antara Yayasan dan Grafiti, 16 Maret, pihak Grafiti Pers menyatakan hanya akan menarik dua redaksi lama, yakni Sapardi Djoko Damono dan Sutardji Calzoum Bachri. Ini disetujui oleh Aristides Katoppo dan Ali Audah, yang hadir mewakili Yayasan Indonesia, dan keduanya menyatakan akan membawa usulan itu ke rapat Yayasan. Adapun soal kemandirian redaksi baru, dikompromikan, tiap tiga bulan sekali diadakan pertemuan antara pengelola baru dan pihak Yayasan Indonesia untuk mengevaluasi kerja tim baru. Dan disepakati pengelolaan baru akan berjalan setahun dulu. Setelah setahun, diadakan penilaian total, dan terbuka bagi pihak masing-masing untuk menarik kesepakatan semula. ''Itu mekanisme kontrol yang efektif. Jika redaksi baru dianggap nyeleweng, kerja sama dibatalkan,'' kata Arief. Sedangkan pihak PT Grafiti Pers bisa saja mengembalikan Horison ke Yayasan Indonesia bila, misalnya, tak lagi punya dana. Ini semua dimungkinkan karena SIUPP tetap berada di tangan Yayasan Indonesia. Dan soal keuntungan, ''bila ada surplus dari hasil usaha, itu akan digunakan untuk pengembangan Horison.'' Dalam rapat Yayasan Indonesia tanggal 15 April dihadiri juga oleh Goenawan Mohamad ide-ide dari rapat 16 Maret dimuluskan. Pemimpin Redaksi Horison, Hamsad Rangkuti, siap mundur dengan kompensasi Rp 10 juta. Disepakati, tim redaksi baru hanya menyertakan dua redaksi lama, yakni Sapardi Djoko Damono dan Sutardji Calzoum Bachri. Redaksi yang lain, Taufiq Ismail dan H.B. Jassin, dianggap sebagai ''orang dalam'', jadi tak disertakan. Tapi Sutardji Calzoum Bachri, yang semula bersedia masuk, lalu mengundurkan diri. Yang menarik, dalam rapat tanggal 15 April itu, menurut notulen yang dibuat oleh Hamsad Rangkuti, disebutkan, ''Rapat menanyakan kalau nanti TEMPO sukses menangani Horison, Yayasan ingin juga mendapat bagian dari keuntungan untuk kegiatan yang lain.'' Tapi dalam kesimpulan keputusan rapat, ada 17 butir, pada butir ke-16 ditulis dalam notulen itu juga ''Bila ada keuntungan ... keuntungan akan diserahkan ke Yayasan Indonesia.'' Catatan ini mengambang, berapa keuntungan mesti dibagikan? Semua, sebagian, separuh, tak jelas. Tapi hanya menurut kalimat itu, mestinya dimaksudkan semua keuntungan diserahkan ke Yayasan. Tampaknya semua melupakan kesepakatan hal ''keuntungan'' itu. Mungkin karena tak dianggap penting, dan memang menurut pengalaman, majalah jenis ini susah mendapatkan pasar dan iklan. Maka, dalam konsep perjanjian yang dibuat PT Grafiti, soal keuntungan disebutkan ''... keuntungan ... akan digunakan oleh Grafiti untuk pengembangan lebih lanjut dari Majalah dalam bentuk kegiatan kebudayaan.'' Lalu, konsep tersebut direvisi pihak Yayasan, tanggal 22 Juni, di rumah Mochtar Lubis, dihadiri oleh Ali Audah dan Hamsad. Rupanya, keputusan rapat yang lalu-lalu tak ditengok lagi oleh kedua belah pihak. Maka, menurut surat Hamsad di harian Kompas, 15 Juli, pihak Yayasan mengoreksi konsep dalam hal keuntungan itu menjadi 40% untuk Yayasan, 60% untuk Horison. Notulen rapat Yayasan tanggal 15 April tampaknya tak dianggap. Pihak Grafiti mungkin lupa, pihak Yayasan tak meng- ingatkannya. Maka, Goenawan menolak revisi konsep dalam soal keuntungan itu. Ini disampaikan ke Hamsad lewat telepon, 26 Juni. Tanggal 30 Juni keduanya bertemu lagi, dan tetap tak ada kesepakatan. Sialnya, pembicaraan Goenawan dan Hamsad meletikkan kesalahpahaman, yang berkembang tak enak. Goenawan menganggap pembicaraannya dengan Hamsad sekadar lobi, sebelum ide itu diputuskan resmi oleh rapat Direksi PT Grafiti Pers. Dan keputusan Grafiti berbunyi: ''Bilamana ada keuntungan, pembagiannya akan ditentukan bersama oleh pihak pengelola dan pengurus Yayasan Indonesia.'' Hal itu membuat Mochtar Lubis, menurut surat Hamsad di Kompas, memutuskan untuk membatalkan kerja sama. Dan keputusan yang disampaikan dengan surat berkop ''Majalah Sastra Horison'' yang ditulis oleh Hamsad sebagai pemimpin redaksi, dan disetujui oleh Mochtar Lubis, yang tak mencantumkan ia sebagai Pemipin Umum Horison atau sebagai Ketua Yayasan, disampaikan ke Goenawan tanggal 6 Juni. Surat jawaban Goenawan akhirnya menyatakan tak keberatan usulan 40 : 60 itu bila memang itu usulan Yayasan, bahkan pihak PT Grafiti Pers ''tak keberatan... pihak Yayasan Indonesia mengambil 100% atau seluruh laba yang didapat ....'' Tapi surat ini tak ada gunanya. Rapat anggota Yayasan 14 Juli lalu mengakhiri sebuah awal niat baik semua pihak. Liston P. Siregar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus