Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Kudeta dan keangkuhan

Sejumlah anggota yayasan indonesia minta pembatalan kerjasama dengan pt grafiti pers ditinjau kembali. pemred horison, hamsad rangkuti, tersinggung. usulannya ditolak goenawan mohamad.

24 Juli 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

YAYASAN Indonesia terancam bubar. Enam anggota Yayasan, yaitu Ali Audah, Arief Budiman, Aristides Katoppo, Goenawan Mohamad, Umar Kayam, dan Jakob Oetama, mengirim surat ke Ketua Yayasan Indonesia tertanggal 16 Juli 1993. Mereka minta keputusan yang membatalkan kerja sama dengan PT Grafiti Pers ditinjau kembali. Keenamnya berpendapat, keputusan dalam rapat 14 Juli itu diambil lewat prosedur yang tidak seharusnya. ''Tanpa kesediaan kita mengoreksi apa yang salah dan tanpa kemungkinan di antara kita untuk tetap mempertahankan semangat Yayasan yang demokratis, sukar bagi kita semua untuk bekerja sama lagi di kemudian hari,'' begitu akhir surat bersama itu. Ketika sembilan anggota Yayasan hadir dalam rapat khusus membicarakan kerja sama dengan PT Grafiti Pers, Umar Kayam mengusulkan agar soal salah paham pembagian keuntungan dibahas bersama. Tapi soal itu justru tidak disinggung lagi. Ketua Yayasan, Mohctar Lubis, menyatakan keputusan akan ditentukan oleh Badan Pendiri, berdasarkan ketentuan anggaran dasar yang menyebut ''hal-hal yang tidak diatur dalam anggaran dasar diputuskan oleh Badan Pendiri''. Jadi, kesempatan anggota untuk menyampaikan pendapat mayoritas setuju jika kerja sama dilanjutkan hanya sekadar basa-basi. Setelah semua anggota mendapat giliran bicara, tiga anggota badan pendiri, yaitu Mochtar Lubis, Taufiq Ismail, dan Arief Budiman, (dua yang lain, P.K. Ojong dan Zaini, sudah meninggal) masuk dalam rapat khusus selama 30 menit. Putusannya: kerja sama dibatalkan dengan suara 2:1. ''Bagi saya, bukan hasil yang menjadi masalah, tapi prosedurnya. Itu kudeta,'' kata Goenawan Mohamad pekan lalu, sebelum bertolak ke Jepang. Ketika kerja sama dimulai, yang juga tidak diatur oleh anggaran dasar, semua anggota diajak berembuk. ''Kenapa hanya untuk membatalkan dipaksakan putusan lewat badan pendiri,'' protes Goenawan.Prosedur itu yang mengganggu beberapa anggota. ''Sangat tidak demokratis dan bisa mengancam pecahnya Yayasan,'' kata Arief Budiman, yang ikut rapat khusus itu. Ia tak setuju Badan Pendiri saja yang memutuskan, ''seolah-olah suara yang tiga orang lebih baik dari suara sembilan orang.'' Ia mengaku tak memprotes usul rapat Badan Pendiri karena pada waktu itu ia masih percaya bahwa Mochtar Lubis akan bersikap demokratis. Dalam surat pembatalan kerja sama, kertas surat berkop ''Majalah sastra Horison '' bukan kop surat ''Yayasan Indonesia''. Secara formal, surat itu bisa dianggap tidak sah. Meski di situ tercantum persetujuan Mochtar Lubis, tak ada penjelasan apa pun, Mochtar sebagai apa. Sejak awal diketahui kedua pihak bahwa yang melakukan kerja sama adalah Yayasan Indonesia dan Grafiti Pers. Lagi pula, bila dalam hal ini Badan Pendiri yang harus memutuskan, surat itu semakin tidak sah. Sebab Hamsad Rangkuti bukan anggota pendiri Yayasan Indonesia. Padahal, pada awalnya Mochtar setuju jika Horison dikelola PT Grafiti Pers, dan ia sendiri ikut datang ke kantor TEMPO (PT Grafiti) untuk membahas kerja sama. Kenapa Mochtar berbalik? Sayangnya, Mochtar Lubis menolak memberi komentar. ''Bagi saya, persoalan itu sudah selesai, saya tidak mau membicarakannya lagi,'' katanya. Akan halnya Hamsad Rangkuti, ia mengaku tersinggung ketika usulan pembagian keuntungan yang disodorkannya ditolak Goenawan. Menurut Hamsad, Goenawan menanggapi usulan itu dengan mengancam pembatalan kerja sama. ''Yang saya hadapi adalah keangkuhan pemilik modal,'' kata Hamsad. Kabarnya, Hamsad tersinggung pula ketika dalam pertemuan empat mata itu Goenawan menyebut Horison sebagai majalah parasit. Dan karena Hamsad di situ menempatkan Goenawan sebagai pengelola baru, seolah-olah itu mewakili PT Grafiti. Agaknya Hamsad lupa bahwa Goenawan pun anggota Yayasan Indonesia yang lebih senior. Jadi, mestinya Hamsad bilang, ''Lho, Anda kalau begitu ikut jadi parasit.'' Selesai, dan tak perlu ada yang tersinggung. Tapi, itulah, semuanya tampaknya alpa, termasuk alpa pada keputusan-keputusan rapat sebelumnya. LP

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus