Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Lantaran diimpit sentimen negatif, indeks harga saham gabungan (IHSG) terkoreksi 0,62 persen sepanjang pekan kemarin. Analis Reliance Securities, Lanjar Nafi Taulat Ibrahimsyah, mengatakan sebagian investor mengambil posisi jual ketimbang mengakumulasi saham.
Menurut Lanjar, rilis data pertumbuhan ekonomi kuartal II yang kembali melambat ke level 4,67 persen dan nilai tukar rupiah yang terus terdepresiasi menjadi penyebab turunnya IHSG. Saham-saham perbankan pun menjadi sasaran jual investor lantaran dianggap sudah mengalami kenaikan teknikal (technical rebound) pada pekan sebelumnya.
Di sisi lain, menurut Lanjar, koreksi IHSG terpengaruh oleh pergerakan bursa saham regional yang merespons spekulasi kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (Fed's Rate) pada September. Kekhawatiran atas hal itu menyebabkan pelaku pasar mengambil posisi aman.
Guna menghindari risiko, Lanjar menyarankan agar investor terus mengambil posisi wait and see untuk sementara waktu. Tapi bila berkukuh ingin melakukan trading, investor hanya diimbau mengoleksi saham-saham yang masih bisa mengalami technical rebound, seperti WIKA, ADHI, dan MPPA.
Imbas minimnya kehadiran sentimen positif, IHSG bakal kembali tertekan dalam kisaran level 4.720-4.800. Indeks Dow Jones yang terkoreksi 0,27 persen pada akhir pekan lalu menambah kuat tekanan terhadap IHSG. "Koreksi indeks bakal berlanjut," tutur Lanjar. PDAT | MEGEL JEKSON
Pekan Ini, Dolar Bisa Tembus Rp 13.600
JAKARTA - Rilis negatif data pertumbuhan ekonomi dan cadangan devisa menyebabkan kurs rupiah terus bergerak di level 13.500-13.600 per dolar sepanjang pekan lalu. Menurut Direktur PT Equilibrium Komoditi Berjangka, Ibrahim, publikasi data ekonomi tersebut membuat investor pesimistis terhadap nasib aset bernilai rupiah.
Sebagaimana diketahui, produk domestik bruto (PDB) kuartal II hanya tumbuh 4,67 persen. Meski lebih baik daripada perkiraan banyak investor, kenyataan tersebut masih cukup berjarak dari pertumbuhan PDB kuartal sebelumnya yang berada pada level 4,71 persen.
Cadangan devisa pada akhir Juli yang dilaporkan turun US$ 400 juta menjadi US$ 107,6 miliar pun membangun kekhawatiran akan berkurangnya suplai dolar di pasar domestik.
Ibrahim mengatakan situasi ini diperburuk oleh ekspektasi atas kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (Fed's Rate). Pekan lalu, spekulasi atas kenaikan tenaga kerja baru di AS (non-farm payrolls) mendorong penguatan dolar terhadap sejumlah mata uang global, termasuk rupiah. "Lantaran menjadi penentu peluang kenaikan Fed's Rate, payrolls menekan mata uang negara mana pun," ujarnya.
Ibrahim pun memperkirakan dolar akan terus menguat di awal pekan. Sebab, data payrolls yang berhasil tumbuh di atas level 200 ribu pekerja semakin meneguhkan kondisi pemulihan pasar tenaga kerja AS.
Rupiah diperkirakan berada di rentang level 13.550-13.650 per dolar. Menurut Ibrahim, hanya intervensi bank Indonesia yang membuat rupiah tidak bergerak di bawah level Rp 13.600 per dolar. PDAT | MEGEL JEKSON
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo