KALAU dari Jawa Tengah, Jepang mengimpor sapu lidi warna-warni, maka sejak Maret silam, Brunei, Malaysia Singapura, dan Filipina mengimpor sapu ijuk. Juga dari daerah yang sama. Persisnya dari Desa Manggis, Kecamatan Mojosongo, Boyolali. Sapu itu tanpa tangkai, dibuat dari bahan ijuk bermutu tinggi yang diambil dari tanaman aren yang kini semakin langka. Pada ekspor perdana itu dikirim 10.000 sapu yang harganya Rp 500 per buah. Untuk bulan-bulan selanjutnya, minimal 10.000 sapu ijuk diekspor plus 10.000 sikat Ijuk. Tapi, mengapa negara seperti Malaysia dan Filipina harus mengimpor sapu ijuk? Sebabnya tak lain karena sapu eks Desa Manggis -- dikenal juga sebagai desa ijuk -- benar-benar istimewa. Ijuk asal Manggis dinyatakan tahan terhadap asam, rayap, dan mikrobiologi, serta tahan terhadap air laut. "Tak mudah putus dan awet," ujar Ir. Muhammad Saleh, Kepala Dinas Perindustrian Boyolali. Dia berharap, bila mungkin komoditi ijuk dari daerahnya itu kelak juga bisa diekpsor ke Amerika dan Eropa. Hanya saja, ada kendalanya. "Soal bahan baku," kata Saleh, "karena pohon aren tak bisa dibudidayakan." Tapi, selagi aren masih berdiri, masa depan masih terbentang buat penduduk Desa Manggis yang kini diramaikan oleh 275 unit perajin sapu ijuk dengan 1.300 tenaga kerja. Adapun sapu yang diekspor adalah hasil kerajinan para ibu P2 WIK (Peningkatan Peran Wanita Industri Kecil) yang baru dibentuk November silam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini