SEBUAH bros bunga anggrek kuning kemilau suatu hari tiba di meja
kantor Yayasan Lembaga Konsumen (YLK). Seorang ibu dari
Balikpapan mengirimkannya dengan pos paket. Dalam surat
pengantar yang sekaligus merupakan pengaduan, ia menyatakan
tertipu oleh perbuatan sebuah perusahaan alat pembalut wanita.
Sedang hadiah bros emas (murni) pernah dijanjikan iklan
perusahaan tadi bila pembeli (konsumen) beruntung mendapat nomor
berhadiah.
Ketika YLK mengecek ke perusahaan tersebut, diperolehnya jawaban
yang tak sedap. "Memang dalam iklan kita menyebut bros emas
bunga anggrek, tapi itu kan tidak berarti bros itu (terbuat)
dari emas murni," jawab pimpinan perusahaan itu, menurut Permadi
SH, Ketua Pelaksana YLK.
Di ruang Redaksi Yth. harian Kompas, pernah seorang konsumen
rokok 555 menggerutu. Sayembara berhadiah rokok itu tahun lalu
menjanjikan tiket pesawat pulang pergi ke turnamen tenis di
Wimbledon, Inggris. Ternyata setelah turnamen itu usai, hasil
sayembara tersebut tak pernah diumumkan.
Bukan dua peristiwa itu saja. Di laci meja Permadi sampai kini
sudah masuk 31 surat pengaduan konsumen yang dirugikan oleh
promosi berhadiah macam kedua contoh di atas. Sebagian besar
tidak menerima hadiah sekalipun nama mereka disebut sebagai
pemenang. Tapi banyak juga merasa tertipu karena hadiah tidak
sesuai dengan janji iklan. "Indikasi penipuan itu sudah semakin
meluas, meliputi segala sektor kebutuhan primer dan sekunder,"
kata Permadi.
Presiden Soeharto lewat Menteri Perdagangan dan Koperasi ad
interim Bustanil Arifin telah mengecam cara penjualan barang
seperti itu. Bustanil secara khusus diminta pekan lalu agar
menertibkan promosi berhadiah itu yang diduga banyak menipu
konsumen.
Telah banyak barang dijajakan dengan cara menawarkan hadiah yang
menggiurkan -- seperti kecap, sabun mandi, pasta gigi, rokok dan
televisi berwarna. Sebuah merk kretek, misalnya, menjanjikan
hadiah gelas bagi pengisap yang telah menghabiskan beberapa
bungkus rokok itu. Terdorong oleh hadiah ini, seorang istri bisa
bertindak tidak masuk akal dengan membelikan 2 bos rokok supaya
sang suami menghabiskannya dalam seminggu. "Hal seperti ini kan
tidak sehat," sambung Permadi.
Kaum pengusaha melakukan promosi berhadiah ini karena persaingan
yang semakin sengit. Dengan cara mempengaruhi konsumen seperti
itu mereka menduga akan dapat memacu penjualan. Kecenderungan
itu diakui antara lain oleh P.T. Gemini Electrical Works yang
merakit televisi berwarna Hitachi, dan P.T. Nirwana Photo yang
memasarkan film Sakura. Sesudah melakukan promosi berhadiah,
penjualan Hitachi melambung 20% dan Sakura naik 15%.
GEW menyediakan hadiah televisi berwarnanya. "Untuk dana
promosi, kami tidak membebankan pada harga jual televisi," kata
B.S. Hutasoit, seorang manajer perusahaan itu.
Nirwana Photo menyediakan beberapa batang emas bagi pemenang.
"Promosi tanpa hadiah, kurang efektif," kata Erwin, Direktur
Pemasarannya. "Fuji kan juga menyelenggarakan undian berhadiah."
Ada juga produk yang kandas di pasar sekalipun sudah didongkrak
dengan promosi brhadiah besar. Pasta gigi keluaran P.T.
Million Industries Inc. yang berusia singkat (1974-76) telah
menghabiskan dana promosi berhadiah (antara lain sedan Subaru)
hampir Rp 100 juta. Toh gagal pemasarannya.
Tapi dalam persaingan ini ternyata ada sejumlah produsen yang
menodai kepercayaan masyarakat. "Ada banyak segi yang tidak
diberitahukan kepada konsumen oleh perusahaan yang menjual
barangnya dengan hadiah," tulis Kompas pekan lalu.
Hanya Menganjurkan
Siapa yang harus bertanggungjawab? Ketua Umum Perhimpunan
Perusahaan Periklanan Indonesia (P31), Savrinus Suardi, menolak
tuduhan -- seolah biro iklan melakukan perbuatan terorisme --
seperti dikemukakan seorang anggota DPR. "Jangan sampai
keributan mengenai iklan berhadiah dimanfaatkan untuk memojokkan
industri periklanan," katanya.
Tentu saja biro iklan tidak mau dikecam. "Kita memang hanya bisa
menganjurkan agar anggota melakukan bisnis secara bersih," ujar
Bondan Winarno, Wakil Ketua Asosiasi Pemrakarsa dan Penyantun
Iklan Indonesia (Asppindo). "Melarang anggota berbuat ini dan
itu tidak mungkin."
Sudah ada peraturan untuk pengumpulan uang atau barang buat
kepentingan sosial dengan cara undian seperti diatur U.U. No. 22
tahun 1954. Gubernur setempat harus memberikan persetujuan
terlebih dulu sebelum suatu iklan berhadiah mendapat izin dari
Departemen Sosial. "Paling lambat 2 minggu sebelum hadiah
ditarik, kita kirim petugas mengecek di tempat, ada atau tiada
hadiahnya," kata drs. Soedarno, Direktur Pembinaan Sumbangan
Berhadiah, Depsos. Toh terjadi penyelewengan.
Kini Depsos mulai teliti dalam memberikan izin promosi
berhadiah. Kalau banyak konsumen masih merasa tertipu, apa lagi
upaya Lembaga Konsumen? "Kita paling banter hanya bisa
teriak-teriak minta perhatian," sahut Permadi. Diajukan ke
pengadilan? "Kami tak punya cukup uang untuk memperkarakannya."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini