MARGONO Hadikusumo, 52 tahun, sibuk. Kepala Kantor Wilayah
Direktorat Jenderal Transmigrasi Jawa Tengah itu memang mengaku,
sampai pertengahan bulan lalu belum seorang pun transmigran
target 1979 sejumlah 14.100 kk diberangkatkan. Tapi segera ia
menambahkan bahwa setiap saat ia bisa saja memberangkatkan 1.000
kk transmigran. "Tapi bagaimana persiapan di tempat tujuan,"
katanya.
Sebab ia tidak ingin melihat transmigran yang dikirimnya
terlunta-lunta. Atau pulang lagi ke kampung asal mereka.
"Pendeknya sebelum mereka diberangkatkan, keadaan jalan,
perumahan, calon tanah garapan, juga bekal hidup, mesti beres
dulu," katanya lagi.
Minat bertransmigrasi di Ja-Teng memang cukup besar. Sampai
bulan lalu saja sudah terdaftar sekitar 2.000 kk. "Padahal
penerangan ke desa-desa ya biasa-biasa saja," katanya lagi.
Karena itu untuk membuktikan ucapannya, 2 Februari lalu Margono
memberangkatkan 125 kk (sisa target 1978 yang seluruhnya 2.619
kk) ke Bengkulu lewat jalan darat. Sebelumnya, akhir bulan
lalu, 100 kk (sebagian targt 1979) diterbangkan dengan pesawat
Hercules ke Riau.
Terbirit-birit
Masih rencana pemberangkatan transmigran target 1979: 15
Februari mendatang 100 kk ke Pamenang, Jambi disusul minggu
berikutnya 100 kk lagi ke tujuan sama. Selanjutnya 29 Februari,
175 kk akan diterbangkan ke Katahun, Bengkulu. Tapi Margono tak
mau menjawab ketika ditanya apakah pemberangkatan-pemberangkatan
itu dilakukan karena banyak suara menyebutkan kegagalan
instansinya memberangkatkan transmigrasi sesuai dengan target
yang direncanakan.
Tapi Margono tak dapat menyembunyikan kekhawatirannya. "Belum
tentu target yang sudah disusun akan beres sesuai dengan
jadwalnya," ia berkata. Bahkan menurutnya, transmigrasi yang
kini ditangani Bakoptranas -- Badan Koordinasi Penyelenggaraan
Transmigrasi Nasional yang melibatkan 11 menteri (TEMPO, 12
Januari) -- belum berjalan sempurna.
Hal itu juga diakui Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Harun
Zain ketika membuka konsultasi program transmigrasi 23 Januari
lalu di Jakarta. "Keppres itu baru disahkan 1978. Maka dalam
beberapa tahun masih diperlukan penyesuaian, hingga terjadi
kelambatan pemindahiLn penduduk," katanya.
Dan meskipun pemberangkatan dapar dilaksanakan juga, berbagai
masalah masih dapat muncul di tempat tujuan. Di Kalimantan
Selatan misalnya malah ada penduduk asli yang menuntut ganti
rugi karena tanahnya terkena P4S alias Pilot Proyek Persawahan
Pasang Surut, sebagai tempat pemukiman transmigran, asal Jawa.
Tepatnya di Desa Tabunganen, Kabupaten batola.
Tuntutan itu sudah diajukan ke berbagai instansi sejak 2 tahun
lalu ketika proyek itu mulai dikerjakan. "Bahkan sekarang sudah
ada penduduk asli yang kehilangan mata pencaharian," kata Anang
Adenansi, anggota DPR-RI Fraksi Karya Pembangunan asal Kal-Sel
yang awal bulan kemarin meninjau ke sana. Mata pencaharian
penduduk di sana menambak ikan. Dan tambak itulah yang tergusur
oleh P4S. "Tambak ikan itu dirusak tanpa ganti rugi," tutur
Abdulhamid Djuin, Sekretaris Umum DPD Tani MKGR/Golkar Kal-Sel.
Keadaan seperti itu sempat menimbulkan insiden. Seorang petugas
P4S, awal Desember 1970, lari terbirit-birit karena hendak
diparang penduduk.
Menurut Abdulhamid Djuin, tak kulang dari 100 kk yang menuntut
ganti rugi. Tapi menurut Anang Adenansi yang mengecek ke
lapangan cuma 52 kk. Itu pun yang benar-benar menuntut ganti
rugi juga hanya 26 orang. Sisanya bersedia menjadi transmigran
sisipan. Sementara itu menurut Gubernur Subardjo yang menuntut
ganti rugi bukan 26 melainkan 16 orang. Tapi bagi Gubernur,
tuntutan itu "tidak masuk akal." Tuntutan 16 orang itu ialah
ganti rugi pembuatan tambak berikut hasilnya 10 kg per hari x Rp
300 x 16 orang. Ini dihitung sejak 23 Desember 1977, hingga
selama belum ada kepastian ganti rugi, jumlahnya akan semakin
membengkak.
Gubernur Subardjo menilai tambak ikan itu tambak alamiah yang
tidak dibikin dengan modal dan penyebaran bibit ikan seperti di
Jawa -- hasilnya pun tidak bisa diambil setiap hari. Selain itu
tanah di sana juga milik negara.
Dirjen Transmigrasi Kadarusno mengakli adanya keresahan di
Tabunganen. "Pemerintah bersedia memberikan ganti rugi tapi
terbatas pada tanamannya saja. Tanahnya tidak, sebab milik
negara," katanya. Ia juga mengakui kasus seperti itu memang
sering muncul. Karena, "kita tidak tahu bahwa daerah calon
lokasi pemukiman transmigran itu sudah digarap penduduk. Maklum
kita melihatnya dari udara. Jadi sulit menduga apakah itu hutan
atau kebun rakyat. Kita baru tahu persis setelah masuk ke
lapangan," ujar Darwin Nasution, Direktur Pembinaan Daerah
Transmigrasi. Apakah ini dapat diartikan, penelitian calon
lokasi tidak matang?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini