Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Di sini ok, bagaimana di sana ?

Penduduk asli menuntut karena tambaknya digarap p4s. minat bertransmigrasi membengkak, tapi lokasinya belum siap.

9 Februari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MARGONO Hadikusumo, 52 tahun, sibuk. Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Transmigrasi Jawa Tengah itu memang mengaku, sampai pertengahan bulan lalu belum seorang pun transmigran target 1979 sejumlah 14.100 kk diberangkatkan. Tapi segera ia menambahkan bahwa setiap saat ia bisa saja memberangkatkan 1.000 kk transmigran. "Tapi bagaimana persiapan di tempat tujuan," katanya. Sebab ia tidak ingin melihat transmigran yang dikirimnya terlunta-lunta. Atau pulang lagi ke kampung asal mereka. "Pendeknya sebelum mereka diberangkatkan, keadaan jalan, perumahan, calon tanah garapan, juga bekal hidup, mesti beres dulu," katanya lagi. Minat bertransmigrasi di Ja-Teng memang cukup besar. Sampai bulan lalu saja sudah terdaftar sekitar 2.000 kk. "Padahal penerangan ke desa-desa ya biasa-biasa saja," katanya lagi. Karena itu untuk membuktikan ucapannya, 2 Februari lalu Margono memberangkatkan 125 kk (sisa target 1978 yang seluruhnya 2.619 kk) ke Bengkulu lewat jalan darat. Sebelumnya, akhir bulan lalu, 100 kk (sebagian targt 1979) diterbangkan dengan pesawat Hercules ke Riau. Terbirit-birit Masih rencana pemberangkatan transmigran target 1979: 15 Februari mendatang 100 kk ke Pamenang, Jambi disusul minggu berikutnya 100 kk lagi ke tujuan sama. Selanjutnya 29 Februari, 175 kk akan diterbangkan ke Katahun, Bengkulu. Tapi Margono tak mau menjawab ketika ditanya apakah pemberangkatan-pemberangkatan itu dilakukan karena banyak suara menyebutkan kegagalan instansinya memberangkatkan transmigrasi sesuai dengan target yang direncanakan. Tapi Margono tak dapat menyembunyikan kekhawatirannya. "Belum tentu target yang sudah disusun akan beres sesuai dengan jadwalnya," ia berkata. Bahkan menurutnya, transmigrasi yang kini ditangani Bakoptranas -- Badan Koordinasi Penyelenggaraan Transmigrasi Nasional yang melibatkan 11 menteri (TEMPO, 12 Januari) -- belum berjalan sempurna. Hal itu juga diakui Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Harun Zain ketika membuka konsultasi program transmigrasi 23 Januari lalu di Jakarta. "Keppres itu baru disahkan 1978. Maka dalam beberapa tahun masih diperlukan penyesuaian, hingga terjadi kelambatan pemindahiLn penduduk," katanya. Dan meskipun pemberangkatan dapar dilaksanakan juga, berbagai masalah masih dapat muncul di tempat tujuan. Di Kalimantan Selatan misalnya malah ada penduduk asli yang menuntut ganti rugi karena tanahnya terkena P4S alias Pilot Proyek Persawahan Pasang Surut, sebagai tempat pemukiman transmigran, asal Jawa. Tepatnya di Desa Tabunganen, Kabupaten batola. Tuntutan itu sudah diajukan ke berbagai instansi sejak 2 tahun lalu ketika proyek itu mulai dikerjakan. "Bahkan sekarang sudah ada penduduk asli yang kehilangan mata pencaharian," kata Anang Adenansi, anggota DPR-RI Fraksi Karya Pembangunan asal Kal-Sel yang awal bulan kemarin meninjau ke sana. Mata pencaharian penduduk di sana menambak ikan. Dan tambak itulah yang tergusur oleh P4S. "Tambak ikan itu dirusak tanpa ganti rugi," tutur Abdulhamid Djuin, Sekretaris Umum DPD Tani MKGR/Golkar Kal-Sel. Keadaan seperti itu sempat menimbulkan insiden. Seorang petugas P4S, awal Desember 1970, lari terbirit-birit karena hendak diparang penduduk. Menurut Abdulhamid Djuin, tak kulang dari 100 kk yang menuntut ganti rugi. Tapi menurut Anang Adenansi yang mengecek ke lapangan cuma 52 kk. Itu pun yang benar-benar menuntut ganti rugi juga hanya 26 orang. Sisanya bersedia menjadi transmigran sisipan. Sementara itu menurut Gubernur Subardjo yang menuntut ganti rugi bukan 26 melainkan 16 orang. Tapi bagi Gubernur, tuntutan itu "tidak masuk akal." Tuntutan 16 orang itu ialah ganti rugi pembuatan tambak berikut hasilnya 10 kg per hari x Rp 300 x 16 orang. Ini dihitung sejak 23 Desember 1977, hingga selama belum ada kepastian ganti rugi, jumlahnya akan semakin membengkak. Gubernur Subardjo menilai tambak ikan itu tambak alamiah yang tidak dibikin dengan modal dan penyebaran bibit ikan seperti di Jawa -- hasilnya pun tidak bisa diambil setiap hari. Selain itu tanah di sana juga milik negara. Dirjen Transmigrasi Kadarusno mengakli adanya keresahan di Tabunganen. "Pemerintah bersedia memberikan ganti rugi tapi terbatas pada tanamannya saja. Tanahnya tidak, sebab milik negara," katanya. Ia juga mengakui kasus seperti itu memang sering muncul. Karena, "kita tidak tahu bahwa daerah calon lokasi pemukiman transmigran itu sudah digarap penduduk. Maklum kita melihatnya dari udara. Jadi sulit menduga apakah itu hutan atau kebun rakyat. Kita baru tahu persis setelah masuk ke lapangan," ujar Darwin Nasution, Direktur Pembinaan Daerah Transmigrasi. Apakah ini dapat diartikan, penelitian calon lokasi tidak matang?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus