SELAMA empat hari pekan ini, dunia ilmu pengetahuan dan akademi di Indonesia mendapat kehormatan dari kunjungan Profesor Herbert Simon dari Universitas Carnegie Mellon, Amerika Serikat. Nama Profesor Simon cukup luas dikenal, bukan hanya karena jasanya di bidang proses pcngambilan keputusan, yang kemudian membuatnya sebagai penerima hadiah Nobel untuk ilmu ekonomi pada tahun 1978. Di samping itu, juga karena peran pokoknya dalam mengembangkan artificial intelligence, suatu pendekatan yang pada dasarnya memformulasikan atau meneremahkan proses berpikir manusia, ke dalam suatu model melalui kemampuan komputer ("komputer di sini bukan untuk menghitung, tapi sebagai alat berpikir"). Sesuatu yang menarik bahwa, menurut pengakuannya sendiri, ilmu ekonomi dalam arti murni sudah bukan bidang yang dia geluti. Dikatakannya bahwa melalui suatu proses yang cukup panjang, dia makin menyadari, ilmu ekonomi murni saja tidak cukup untuk menyelesaikan persoalan, baik persoalan ekonomi maupun (dan apalagi) persoalan bukan ekonomi, yang muncul di masyarakat. Salah satu kesenjangan yang ditemukannya terletak pada proses berpikir manusia, baik sebagai pelaku ekonomi maupun pembuat kebijaksanaan. Dalam "bahasa" yang mungkin aktual dengan kondisi Indonesia adalah: sejauh mana berbagai paket deregulasi, yang merupakan produk kebijaksanaan ekonomi, yang diolah berdasarkan perkembangan keadaan dan ilmu ekonomi, telah mengantisipasi reaksi masyarakat dan pelaku ekonomi, yang secara langsung maupun tidak langsung terkena dampaknya. Artinya, demikian kurang lebih pemikiran Profesor Simon, proses berpikir pelaku ekonomi dan masyarakat pada umumnya harus diletakkan pada posisi sentral dalam analisa tiap kebijaksanaan ekonomi. Apakah dengan demikian ilmu ekonomi menjadi tidak relevan lagi? Jelas, tidak demikian. Ilmu ekonomi dengan segala hipotesis dan teorinya tetap ampuh sebagai peralatan, namun inti persoalan yang akan dikemukakan oleh Profesor Simon adalah bahwa, dalam proses pengambilan keputusan atau pembuatan kebijaksanaan, peralatan dan teori ekonomi murni saja sangat tidak cukup. Bukankah sudah disadari secara luas -- jadi bukan hal yang baru -- bahwa di tiap proses pengambilan keputusan banyak faktor harus diperhitungkan, dengan pengertian bersifat multidisiplin? Benar, namun yang menonjol dari pemikiran guru besar yang telah berusia 73 tahun tersebut adalah, pilihan identifikasi persoalannya yang tertumpu pada proses berpikir manusia, tidak peduli disiplin apa yang dijadikan acuan. Itulah sebabnya, sebagian besar karya Profesor Simon mulai beralih pada penelitian di bidang psikologi. Bukunya yang berjudul Models of Bounded Rationality, misalnya, jelas sarat akan elemen ilmu psikologi. Bagaimanapun terdapat satu hal, yang membedakan karyanya dengan karya dalam ilmu psikologi pada umumnya. Profesor Simon sangat mengandalkan kemampuan peralatan komputer, untuk melahirkan model proses berpikir manusia. Tidak mengherankan bahwa peralatan matematika dan stastitika, terutama yang berkaitan erat dengan komputasi algoritma, menjadi mutlak dan ciri utama pada sebagian besar karyanya. Hadiah Nobel di bidang ilmu ekonomi memang tepat diberikan kepadanya. Di samping pilihan identifikasi masalah yang jarang terpikir oleh ekonom lainnya, Profesor Simon telah bergelut dengan sejumlah hipotesis maupun teori lain, yaitu dari persoalan urbanisasi desa ke kota, persoalan klasik tentang fungsi produksi, sampai ke persoalan teknologi energi atom dan dampaknya pada perekonomian. Studi yang bersifat "murni" ekonomi tersebut sudah dilakukannya di akhir tahun 1940-an. Di sekitar tahun 50-an, perhatiannya mulai beralih ke masalah manajemen dan organisasi, terutama yang menyangkut proses pengambilan keputusan. Dari sinilah kemudian muncul pemikiran brilliant Profesor Simon, tentang pentingnya proses berpikir manusia, baik dalam pengambilan keputusan maupun pembuatan kebijaksanaan. Profesor Herbert Simon direncanakan akan memberi kuliah umum tentang perkembangan baru di bidang manajemen pengambilan keputusan, yang diselenggarakan oleh Pusat Antar-Universitas Ilmu Ekonomi, Universitas Indonesia (PAU-EKUI) bekerja sama dengan ISEI, FE UI, dan PAU Ilmu Komputer UI. Acara tersebut direncanakan akan dibuka oleh Profesor J.B. Sumarlin, dan juga akan dihadiri oleh beberapa guru besar FE UI, seperti Widjojo Nitisastro dan Sumitro Djojohadikusumo. Dalam kunjungannya selama empat hari di Indonesia, dia juga akan terlibat dalam diskusi tentang sistem pendidikan tinggi. Kunjungan pakar pemenang hadiah Nobel ilmu ekonomi yang kesepuluh ini (hadiah Nobel baru diberikan untuk ilmu ekonomi tahun 1969) akan sangat bermanfaat bagi dunia akademi di Indonesia. Tercatat bahwa Profesor Herbert Simon merupakan pemenang hadiah Nobel untuk ilmu ekonomi pertama yang pernah berkunjung ke Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini