BAGI para importir, tahun Ular, yang menurut penanggalan Cina baru akan menggeliat 6 Februari nanti, ternyata sudah terasa sabetannya sejak Desember. Sabetan itu berupa SK Menteri Perdagangan No. 374/Kp/XI/1988, yang mengatur pendaftaran kembali importir umum, sebagai bagian dari Pakno 21. Menurut para importir, SK itu tidaklah menyengat benar. Yang jadi soal adalah adanya perbedaan antara SK Menteri dan lampirannya. Mereka dibingungkan oleh ketentuan mengenai penyertaan NPWP sebagai salah satu syarat pendaftaran ulang. Pada SK-nya hanya disebutkan NPWP -- di samping harus memiliki API (Angka Pengenal Importir), dan belum pernah melanggar. Sedangkan pada lampiran SK, jelas tertulis keharusan membawa fotokopi kartu NPWP. Akibatnya, sejumlah importir yang datang mendaftar ulang hanya dengan menyertakan NPWP (surat pernyataan Dirjen Pajak), dan bukan fotokopi kartu NPWP, kontan seperti merasa "ditampik" oleh pejabat di Kanwil Perdagangan. Permohonan mereka ditolak. Memang, tak semua importir jadi bingung. Ini banyak tergantung bagaimana Kanwil Perdagangan di suatu wilayah provinsi menafsirkan SK itu. Contoh: Ny. Chandra dari PT Tunas Enggal di Jawa Timur. "Pengurusan pendaftaran ulang itu tidak berliku-liku," katanya tenang. "Kami hanya diminta melampirkan API dan surat NPWP, itu pun hanya fotokopinya. Persoalannya, tak semua Kanwil Perdagangan bisa bertindak arif. Kanwil Perdagangan DKI, misalnya. Seorang importir mengaku kepada TEMPO, "Surat NPWP dan keterangan dari Dirjen Pajak tak berlaku. Mereka ngotot minta kartu NPWP." Maka, ketika di daerah lain jumlah yang ditolak maksimal tujuh, di DKI ada 400 importir. Tapi jumlah importir yang memperoleh formulir banyak juga, yakni 2.554 -- jadi yang disetujui permohonannya 2.154. Itu dalam catatan hasil pendaftaran ulang importir seluruh Indonesia, per 10 Januari lalu. Sedangkan sumber di Kanwil Perdag DKI menyatakan, per Senin pekan ini, jumlah importir yang sudah daftar ulang ada sekitar 2.400 orang. Kebingungan lain ialah menyangkut batas waktu pendaftaran terakhir, 31 Desember 1988. Batas waktu tersebut dianggap terlalu sempit. Importir kecut juga, apalagi risiko terlambat itu cukup fatal: API bisa batal. Mujur sekali, Dirjen Daglu melayangkan teleks, yang menggembirakan. Di situ dinyatakan, batas waktu pendaftaran ulang dilonggarkan sampai 31 Januari pekan depan. "Mereka itu perlu mendaftarkaan diri kembali, lantaran ada yang alamatnya di NPWP tidak sama dengan alamat sekarang," kata Menteri Muda Perdagangan Soedradjad Djiwandono. Lebih dari itu, supaya mereka memperoleh pengakuan sebagai importir umum (IU) plus. Namun, sumber TEMPO di Kanwil Perdagangan DKI mengatakan, "Kalau sudah lewat 31 Desember, tetap dinyatakan gugur." Ini berarti, API-nya harus dinyalakan lagi dengan mengajukan permohonan API baru. Syaratnya, sama seperti syarat pendaftaran ulang, tanpa harus menyertakan SIUP, PBB, NPWP, dan kelengkapan lainnya. Hanya saja, persoalannya tidak selesai sampai di situ. Para importir masih saja bingung. Mereka direpotkan oleh batasan importir umum, importir terbatas, importir produsen (mengimpor bahan mentah untuk menghasilkan produk tertentu), yang tidak dipertegas. Akibatnya, sejumlah importir pemilik API Terbatas juga harus mendaftar ulang. Kalau tidak, pihak bank akan menolak LC baginya. Tapi sejauh ini, belum ada pejabat dari jajaran Departemen Perdagangan yang bersedia menjelaskan. Sementara itu, sudah tersebar isu jumlah importir menciut drastis yang dampaknya tentu akan langsung terasa pada penciutan tenaga kerja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini