Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Berita Tempo Plus

Impor itu murah,menarik, dan ...

Hampir 90% acara tv swasta di indonesia merupakan produk impor, karena harganya murah dan menguntungkan. sedangkan untuk memproduksi film sendiri memerlukan biaya sangat mahal dan susah dijual.

6 April 1991 | 00.00 WIB

Impor itu murah,menarik, dan ...
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
PRINSIP dagang -- dengan modal sekecil-kecilnya meraih laba sebanyak-banyaknya -- ternyata sangat menentukan ayunan langkah yang diambil TV swasta di Indonesia, baik RCTI Jakarta maupun SCTV Surabaya. Hal ini bisa dibuktikan dari pelbagai acara yang dipancarkan dari kedua stasiun tersebut. Hampir 90% merupakan program impor. Apakah itu film hiburan, film pendidikan, ataupun film-film yang bersifat informasi, hampir semuanya didatangkan dari luar negeri. Sedangkan acara yang merupakan produksi sendiri bisa dihitung cukup dengan 10 jari. Sebutlah misalnya sinetron Opera Tiga Jaman, Aneka Citra (iklan), Seputar Indonesia, Forum Diskusi, Rocket (musik), dan Kuis Keluarga yang sudah habis masa putarnya. Itu di RCTI. Di SCTV program lokal lebih sedikit jumlahnya. TV swasta di Surabaya ini, selain menampilkan beberapa siaran produk RCTI -- seperti Rocket, Opera Tiga Jaman, dan Seputar Indonesia -- SCTV hanya membuat Kisah-Kisah Islam dan Dakwah Puasa, dengan waktu siaran setengah jam. Kalau dihitung berdasarkan panjangnya siaran, dalam sepekan RCTI hanya "menyisihkan" waktu untuk menayangkan produksi sendiri sepanjang empat jam saja. Alias sekitar 4% dari panjang total siaran yang 100 jam sepekan. Sisanya, setelah dipotong dengan relai siaran berita dari TVRI, semua merupakan produk impor. Akan halnya SCTV, bolehlah dibilang "lumayan". Karena ada acara Kisah-Kisah Islam dan Dakwah Puasa, volume produk buatan sendirinya mencapai angka 7,6% dari siaran total yang 78 jam dalam sepekan. Kenapa TV swasta enggan membuat acara sendiri? Pertimbangan utamanya tetap saja perhitungan untung rugi. "Acara-acara impor itu murah dan sangat menguntungkan," kata Alex Kumara, Direktur Teknik RCTI. Untuk sebuah film dengan masa putar 60 menit, RCTI cukup membayar 2.000 sampai 3.000 dolar, atau (paling mahal) sekitar Rp 5,8 juta. Jadi, seperti film Mac Gyver -- yang sarat iklan -- harganya Rp 5,8 juta itulah. Sedangkan untuk film-film cerita lepas, ini lebih mahal, antara 5 ribu dan 20 ribu dolar per judul. " Film-film yang tergolong box office memang sangat mahal," kata Alex. Salah satu contohnya adalah First Blood, yang dibintangi Sylvester "Rambo" Stallone. Kendati begitu mahal, harga film impor belum ada artinya jika dibandingkan biaya memproduksi film sendiri. Forum Diskusi, yang hanya menggunakan satu tempat shooting, misalnya, dalam waktu satu jam bisa menghabiskan biaya Rp 10 juta. Sementara film sinetron -- seperti Opera Tiga Jaman -- bisa menelan Rp 40 juta, juga untuk masa putar 60 menit. Sialnya, sudah mahal, "produk lokal ini susah dijual". Tentang ini, Alex Kumara bicara terus terang. Contohnya acara Dialog Ekonomi dan Melody Memory. Setelah muncul beberapa episode, dan ketahuan bisa merebut perhatian banyak pemirsa, baru ada perusahaan yang mau memasang iklan di sana. "Itu pun dengan harga khusus," katanya. Sikap seperti ini, kata Alex, sudah sangat longgar. Artinya, RCTI sudah memberikan peluang yang cukup banyak untuk menampilkan produksi sendiri. Padahal, di Amerika dan Eropa, sebuah produk akan langsung disetop setelah empat kali diputar tidak juga menghasilkan untung. Keterangan Alex diperkuat oleh Abdul Hamid Mohamed, manajer program TV3 (TV swasta di Malaysia). Katanya, harga produksi sendiri -- seperti drama -- di Malaysia bisa mencapai 40 ribu ringgit (sekitar Rp 28 juta). Sedangkan kalau mengimpor, cukup mengeluarkan biaya seprtiganya saja. Sangat masuk akal, kalau pada usianya yang balita, RCTI tidak atau belum akan berpaling ada produk-produk lokal. Selain sangat mahal, menayangkan film lepas buatan Indonesia bukanlah perkara gampang. Menurut Alex, sebuah film nasional baru bisa diputar di televisi setelah melalui masa edar di bioskop selama lima tahun. Jadi, daripada menunggu sampai satu masa Pelita, yang membuat film itu tidak populer lagi, alternatif lain tentu impor film dengan harga murah. Untuk memperoleh film asing, RCTI gagal mengunjungi bursa film di Cannes (Prancis) dan Hollywood, yang masing-masing diselenggarakan dua kali dalam setahun. Dari kedua pasar itu, biasanya, RCTI memborong puluhan paket acara. Dan kalau dikalkulasikan, TV swasta ini cukup membayar 1 juta dolar untuk masa putar 400 jam. Memang, bukan cuma film hiburan atau pendidikan yang digandrungi pemirsa. Film-film olahraga pun, berdasarkan survei, termasuk acara yang merebut banyak penggemar. Apalagi acara olahraga yang berupa siaran langsung. Untuk live show model ini, RCTI memberikan perhatian ekstra. Siaran langsung pertandingan sepak bola Liga Inggris dan Italia, contohnya. RCTI sudah meneken kontrak dengan International Management Group (agen yang memegang hak penyiaran peristiwa olahraga tingkat dunia) untuk 76 pertandingan. Harganya lumayan mahal, sekitar Rp 2,66 milyar. Atau Rp 35 juta per paket siaran langsung. Kendati mahal, acara impor tetap lebih menguntungkan, karena digemari oleh pemasang iklan. Buktinya, banyak penonton yang kesal karena sebuah iklan bisa "nyelonong" di tengah-tengah acara begitu saja. Tanpa basa-basi. Padahal, layar TV sedang menampilkan acara yang seru. "Saya sampai tidak sempat melihat gol yang dicetak, karena terhalang iklan," seorang pemirsa mengeluh. Perkara berkeluh-kesah, siapa pun boleh melakukannya. Tapi kapan dan di saat apa sebuah iklan harus muncul, haknya tetap berada di tangan penyelenggara siaran. Apalagi, menurut Alex, perolehan iklan di RCTI saat ini baru mencapai 40% dari jatah yang diperbolehkan. Sedangkan untuk mencapai titik impas, "Kami harus mampu mengisi 80%," katanya. Hanya saja, 40% bukanlah penghasilan kecil. "Jatah" yang diberikan departemen untuk pemasangan iklan adalah 20% dari jam total siaran. Nah, RCTI ini kan mengudara sekitar 400 jam sebulan. Sehingga ia punya "jatah" memasang iklan sepanjang 80 jam setiap bulan. Alhasil, yang 40% itu sama artinya dengan 36 jam alias 2.160 menit, yang kalau dikalikan dengan tarif iklan termurah (Rp 2,7 juta per menit) RCTI bisa meraih pendapatan minimal sekitar Rp 5,2 milyar per bulan. Angka ini, kalau dibandingkan dengan biaya mengimpor film ditambah biaya merelai siaran langsung (sekitar Rp 4,9 milyar), jatuhnya nyaris seimbang. Nah, tidaklah kebetulan bila RCTI membagi beban ini dengan SCTV di Surabaya. Sesuai dengan penjanjian yang telah diteken, 35% biaya dari produk impor merupakan tanggungan SCTV. Dengan demikian, RCTI hanya membayar sekitar Rp 3,25 milyar. Tapi apa boleh buat, biarpun sudah ada hitungan kasar seperti itu, TEMPO belum bisa menyatakan RCTI telah melaba atau masih merugi. Soalnya, masih banyak biaya lain -- seperti untuk membuat program acara sendiri -- yang sangat banyak kalau dirinci. Terlebih SCTV, yang baru mengudara sejak tujuh bulan lalu, susah diduga sampai di mana napasnya sekarang. Terlepas dari keadaan saat ini, tampaknya TV swasta di negeri berkembang seperti Indonesia agak mustahil kalau sampai merugi. Ini berdasarkan perkiraan jangka panjang. Apalagi lahan ini merupakan captive market, yang sepi dari pesaing. Contoh paling dekat adalah TV3 di Malaysia. Ketika dibangun (1984) TV3 hanya menelan investasi 45,7 juta ringgit. Pada tahun pertama, penghasilannya memang belum apa-apa. Tapi lima tahun kemudian (1989), TV3 menerima pembayaran iklan sekitar 100 juta ringgit (dalam setahun) atau sekitar Rp 70 milyar. Dan laba bersihnya mencapai 15,4 juta ringgit (Rp 10,7 milyar). Mungkin, karena melihat prospek yang cerah itulah, RCTI berniat mengembangkan sayapnya. Perhitungannya sederhana. Membuka stasiun baru, misalnya, tidaklah membutuhkan investasi yang terlalu besar. Sementara meluasnya jangkauan penonton, kata Alex, akan memperbesar animo para pemasang iklan. Sebagai langkah pertama, RCTI sudah menanamkan modalnya untuk membangun stasiun di Bandung dengan dana 10 juta dolar. Dengan menyewa transponder Palapa seharga 1,2 juta dolar, di Kota Kembang ini RCTI akan mengudara pada pertengahan April, atau beberapa hari setelah Lebaran. Setelah Bandung, yang jadi sasaran adalah Bali. Ini diincar oleh SCTV Surabaya, yang sudah mengantungi izin dari Pemerintah. Menurut rencana, stasiun yang akan mulai dibangun Juli yang akan datang itu bisa menelan investasi sekitar 25 juta dolar. "Pasar yang sudah jelas memang masih sekitar Jawa dan Bali," kata Alex. Kini RCTI juga sedang melakukan sebuah studi kelayakan, untuk melihat kemungkinan mengudara di Yogyakarta. Tak jelas, berapa lama studi kelayakan itu akan berlangsung, namun sudah ada selentingan bahwa TV swasta akan muncul di Yogya tahun ini juga. Yang pasti, selain jaringan siaran diperluas, acara-acara produksi dalam negeri pun tampaknya akan ditambah. Setelah Opera Tiga Jaman, bulan April ini RCTI akan menampilkan drama komedi baru dengan judul Dunia Dara. Setelah itu, pada bulan Mei akan dimunculkan Lenong Modern. Dan masih ada sebuah miniseri berupa drama keluarga. Kelak bisa dibuktikan, apakah produk-produk tersebut akan gagal menggaet sponsor -- seperti produk lokal sebelumnya atau tidak. Siapa tahu, ada juga yang komersial. Dan mungkin suatu waktu kelak, produk lokal akhirnya bisa juga mengimbangi produk impor -- baik mutu maupun kemampuannya menggaet pemirsa. Soalnya terletak pada berapa besar RCTI memberi kesempatan untuk para jenius lokal. Itu saja. Budi Kusumah, Moebanoe Moera, dan Ekram Hussein Attamini (Kuala Lumpur)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus