SI bubuk abu-abu alias semen raib lagi dari pasaran. Peristiwa ekonomi yang boleh dibilang bak tradisi itu kali ini merasuk sampai di jantungnya, yakni di Jawa Barat, yang dikenal sebagai gudang semen Indonesia. Siapa biang keladi tindakan yang bisa jadi masuk kategori ''subversi ekonomi'' ini, dari dulu sampai sekarang masih wallahualam. Ada dugaan, beberapa grosir besar telah dengan sengaja menimbun bahan vital pembangunan ini. Alasannya tentu macam-caman. Tapi, sejumlah pemilik toko bahan bangunan di Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Banjarmasin sampaipun di Jayapura, berpendapat bahwa langkanya stok semen itu erat hubungannya dengan penimbunan yang disengaja. ''Ada spekulasi harganya akan naik,'' kata mereka kepada TEMPO. Pedagang boleh berspekulasi. Tapi, seperti kata Menteri Perindustrian Tungky Ariwibowo, tidak ada alasan untuk menaikkan harga patokan setempat (HPS). ''Harga bahan baku maupun energi industri yang digunakan masih tetap tidak mengalami perubahan,'' kata Tungky pekan lalu. Sayang, keterangan resmi dari menteri, seperti biasa, datang terlambat. ''Pemerintah semestinya bisa bersikap proaktif, dan bukan reaktif,'' kata seorang anggota DPR. Akibatnya, di berbagai penjuru Nusantara, semen tetap sulit dicari. Kalaupun ada, selain tersedia dalam jumlah kecil, harganya pun jauh di atas HPS. Di Bandung, Solo, dan Semarang, misalnya, harga satu kantong (sak) belum lama ini sudah menggapai hingga Rp 8.500. Berarti Rp 2.000 di atas harga normal. Secara setengah berkelakar, seorang developer menyatakan, ''Mencari semen di Bandung tak ubahnya seperti berburu harimau jawa.'' Pekan lalu, pengusaha perumahan ini memang berhasil mendapatkan semen. ''Tapi cuma 20 sak 40 kilogram,'' katanya. Di Jakarta, yang cuma terpisah sekitar 30 km dari Indocement dan Semen Cibinong keduanya pabrik besar di Indonesia semen masih suka bersembunyi. Ada yang bilang ini ulah para pengecer, tapi ada juga yang mengatakan, raibnya semen dari pasaran tidak terlepas dari permainan para distributor. Beberapa toko bahan bangunan di Jakarta Selatan mengaku telah disunat jatahnya oleh distributor. Seorang pengecer yang biasanya kebagian jatah 800 sak sebulan, belakangan ini cuma kebagian jatah 200 sak. Dan harganya, tanpa alasan yang jelas, ditambah Rp 200 untuk setiap sak, menjadi Rp 5.900 per sak. Syahdan, yang dituding adalah undang-undang lalu lintas yang baru, yang mulai berlaku sejak September lalu. Maka, pengusaha yang biasanya berani mengangkut semen seenaknya mulai jera. ''Otomatis biaya distribusi jadi meningkat,'' kata seorang distributor di sini. Boleh percaya boleh tidak, di Jakarta Barat, yang pembangunan gedungnya lagi meningkat, konsumen cuma diberi jatah lima sak semen. ''Kalau mau beli, jangan terlalu banyak, Pak,'' kata seorang pengecer di kawasan Kelapa Gading. Suatu alasan yang tentu saja tidak bisa diterima oleh Menteri Perhubungan Haryanto Danutirto, yang sejak diangkat tampak gemar turun ke bawah. Soalnya, pemerintah telah menyatakan, sampai akhir tahun 1993, tidak akan ada razia berdasarkan UU lalu-lintas baru. Maka, dengarlah ucapan Maman (bukan nama sebenarnya Red.), salah seorang sopir truk semen dari Cibinong. ''Kita masih mengangkut semen seperti biasa, di atas daya angkut kendaraan,'' katanya. Masih menurut Maman, dia dan sopir lainnya tetap saja mengangkut muatan semen 20 ton, sekalipun truknya cuma berdaya angkut 8 ton. Sedangkan untuk truk yang berdaya angkut 14 ton, boleh dijejali dengan muatan semen seberat 30 ton. Hanya saja, yang mengherankan para sopir, order angkut yang mereka terima sudah dikurangi. Tadinya, seorang sopir biasa mengangkut sampai dua rit dalam sehari. Sekarang cuma satu rit. Nah, kalau begini kenyataannya, siapa yang ''bermain''? Distributor yang mengurangi pesanan atau produsen semen yang menahan hasil produksi? ''Produsen, dong,'' kata sebuah sumber di Departemen Perindustrian. Sebab, kata dia, pihak pabrik sudah lama menginginkan agar Pemerintah menaikkan HPS. Benarkah? ''Jangan menuduh,'' kata Urip Trimuryo, Direktur PT Semen Gresik (SG). Kata dia, perkara kekurangan semen yang terjadi setiap tahun itu soal biasa. Terutama awal September sampai akhir Desember, saat ramainya pengerjaan proyek pemerintah. Di Jawa Timur, yang menelan 1,4 juta ton semen setiap tahun, diperkirakan kebutuhannya naik sampai 15%. Padahal, SG hanya mampu memproduksi 1,3 juta ton setahun. Untuk memenuhi kebutuhan itu, terpaksa mengimpor dari Tiga Roda dan Tonasa. Repotnya, jika kebutuhan di seluruh provinsi meningkat serentak seperti sekarang, ''Antardaerah tak bisa saling mengisi. Untuk daerahnya sendiri saja kurang,'' kata Urip. Bagaimana dengan Jawa Barat? Hashim Djojohadikusumo, pemilik Semen Cibinong, punya jawaban lain. Kata dia, gonjang- ganjingnya pasar semen disebabkan kerusakan mesin di beberapa pabrik. Aneh juga, kerusakan itu terjadi dalam waktu yang hampir bersamaan. Ya, di Indocement, Semen Nusantara, Semen Padang, dan Semen Cibinong. Di Cibinong, kata Hashim, ada dua kilang yang rusak akibat korslet listrik. Ini yang membuat produksi Semen Cibinong turun 100 ribu ton dalam sebulan terakhir. Syukur, kerusakan yang serba mendadak di beberapa tempat, menurut Hashim, sudah diperiksa oleh pihak Departemen Perindustrian. Hashim jengkel kalau ada yang menuduh pabriknya sengaja mengerem produksi atau menghambat distribusi demi mencari untung cepat. Lalu Semen Padang (SP) juga telah kehilangan 40% produksinya gara-gara turunnya air Danau Maninjau. Biasanya produksi rata- rata SP mencapai 7.800 ton sehari. Tapi sejak Maret lalu terpangkas menjadi tinggal 4.800 ton sehari. Entah, kerusakan apa yang dialami oleh Indocemet dan Semen Nusantara. Yang pasti, berdasarkan perhitungan di atas kertas, krisis semen sebenarnya tak perlu terjadi. Coba saja tengok catatan yang dimiliki Departemen Perindustrian. Hingga akhir tahun ini, produksi semen diperkirakan akan mencapai 19,2 juta ton, sedangkan kebutuhan dalam negeri diduga hanya akan mencapai 17,6 juta ton. Artinya, masih tersisa 1,6 juta ton. Jika ditambah dengan stok di pabrik (400 ribu ton), serta stok di pasar sebanyak 260 ribu ton, seharusnya masih ada persediaan semen sebanyak 2.260 ribu ton. Memang, jumlah tersebut belum menjamin. Sebab, masih ada semen yang diekspor, yang sudah mencapai 812.000 ton bulan Agustus lalu. Jadi, menurut akal sehat, mestinya masih tersisa semen di pabrik-pabrik sebanyak 860.000 ton. Ada dugaan, semen yang diekspor terlalu banyak. Betul, sampai akhir Agustus, ekspor itu baru mencapai 812.000 ton. Namun, siapa yang tahu, pada bulan September ekspor itu digenjot habis-habisan. Sebab, akhir tahun lalu, Pemerintah telah menetapkan kuota ekspor sebanyak 3,5 juta ton untuk tahun 1993. Apalagi di luar negeri harga semen lebih bagus daripada harga di sini. Kalau dugaan di atas benar terjadi, apa artinya operasi pasar? Pernyataan dari Pemerintah yang mengharuskan toko-toko bahan bangunan buka sampai pukul sembilan malam pun salah-salah bisa mengundang datangnya tamu yang tidak diundang. Budi Kusumah, Bina Bektiati, Taufik T. Alwie, dan Jalil Hakim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini