KUOTA tekstil adalah kue besar penuh misteri dan gelimang uang. Tak heran, perusahaan yang tidak kebagian kuota jadi ribut. Terakhir, perusahaan yang menghebohkan soal kuota ini adalah GKBI (Gabungan Koperasi Batik Indonesia). Soalnya, pertengahan Agustus lalu Direktur Ekspor Hasil Industri dan Pertambangan Departemen Perdagangan, Ismaildin Wahab, membagikan kuota ke GKBI untuk tahun 1993-1994 (1 Juli sampai 30 Juni) cuma sebesar 34 m2. Padahal, GKBI pada 1992 mendapat kuota 142.772 m2. Itu terdiri dari kuota tetap sebesar 19.828 m2 dan kuota sementara 122.944 m2. Namun, realisasi ekspornya cuma 122.978 m2, sehingga ada kuota 19.794 m2 yang tak menghasilkan devisa bagi negara. Sesuai dengan kesepakatan antara Departemen Perdagangan dan pengusaha tekstil, eksportir yang tidak bisa merealisir kuotanya harus dikenai penalti pemotongan jatah di tahun berikutnya sebesar angka yang tak direalisir. Penalti itu dipotong dari kuota tetap. GKBI memang agak terlalu ambisius di bulan Mei lalu. Kendati tahun kuota tinggal sebulan, GKBI masih minta kuota sementara 140.000 m2, dan tak terjual. Akibatnya, kuota tetapnya dipangkas jumlah yang tak direalisir, sehingga sisa 34 m2. Pada 5 Oktober lalu, GKBI memohon kepada juru bagi kuota agar pemotongan itu dilakukan terhadap kuota sementara. Jika itu dilakukan, kuota tetapnya tidak hilang. ''Kami sangat mengharapkan bantuan Bapak, sehingga kami dapat merealisir pesanan yang telah kami terima,'' tulis pejabat GKBI, Denny Kambrianto, kepada Ismaildin. Ismaildin, Kamis pekan lalu, mengakui bahwa eksportir yang kena sanksi bisa mengajukan keberatan atas keputusan Departemen Perdagangan. Kalau Departemen Perdagangan yang keliru, akan diperbaiki. ''Tapi tentang (GKBI) ini kami tak keliru. Permohonan mereka sudah di luar ketentuan, kecuali pimpinan akan memberikan kebijaksanaan tersendiri,'' katanya. Ismaildin membenarkan, dengan kuota cuma 34 m2, GKBI tak mungkin melayani pesanan luar negeri, maka dianjurkannya GKBI membeli jatah kuota lagi di bursa komoditi. Ketua GKBI, Noorbasha Djunaid, kini pasrah. ''Ini wewenang Pemerintah. Akhirnya akan tergantung niat Pemerintah apa mau membantu yang kecil atau cuma yang besar,'' katanya. GKBI memang bukan perusahaan bermodal kuat sebagaimana PT Karwel dan Texmaco, yang masing-masing dihadiahi jatah 35.000 lusin ketika Pemerintah mendapat tambahan kuota tekstil sebesar 107.000 lusin, Maret lalu. Hadiah kepada Karwel dan Texmaco itu mengundang kritik pedas dari FITI (Federasi Industri Tekstil Indonesia), karena dinilai menyimpang dari beleid Menteri Perdagangan. Alasan Dirjen Perdagangan Luar Negeri, Algamar Kamarulzaman, ketika itu: Karwel dan Texmaco telah membantu membiayai konsultan Departemen Perdagangan di Amerika Serikat sebesar US$ 70.000. Tapi, hadiah kuota yang diterima Texmaco dan Karwel, menurut perhitungan FITI, nilainya tak kurang dari Rp 8,8 miliar. Kritik kalangan pengusaha industri tekstil terhadap Departemen Perdagangan dalam hal pembagian kuota sebenarnya sudah sejak masa Menteri Perdagangan dijabat Rachmat Saleh (1983-1988). ''Jika Departemen Perdagangan membagi kuota itu secara transparan dan balance sheet (siapa saja yang mendapat kuota, dan jumlahnya berapa) diumumkan, ribut-ribut soal kuota akan tuntas,'' kata pengusaha tekstil Aminuddin, yang juga ketua FITI. Max Wangkar dan Indrawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini