Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Di Sibuhuan Rakyat Marah

Gara-gara pelayanan hukum dianggap telah dijadikan tempat mencari uang bagi polisi, penduduk Sibuhuan, Sum-ut menyerbu & merusak kantor kepolisian sektor Barumun. (hk)

18 November 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HURU-HARA kecil terjadi di Sibuhuan, Tapanuli Selatan, 500 km dari Medan. Sekitar 400 orang penduduk bersenjata pentungan kayu, batu sampai parang dan golok, pertengahan bulan kemarin, menyerbu kantor polisi yang ada di situ. Akibatnya kantor Kepolisian Sektor 21011 Barumun berantakan dibuatnya. Kaca-kaca jendela pecah. Atap bangunan, yang terbuat dari seng, peot tak keruan. Sebuah sepeda motor milik Komandan Sektor sendiri, yang ditinggalkan kabur pemiliknya, rusak kena bacok. Untungnya 5 orang polisi yang bertugas di sana selamat--karena mereka sigap meninggalkan kantor ketika kerusuhan terjadi. Keresahan yang menimbulkan ledakan hari itu, sudah lama menjalar di kalangan penduduk. Tak lain karena penduduk tidak puas merasakan kepincangan dalam pelayanan hukum dari kepolisian. Dalam kalimat singkat, seperti yang disimpulkan Abdul Wahab, pemuka masyarakat dan Ketua MKGR setempat, penduduk beranggapan "Sel, tempat tahanan di kantor polisi itu, hanya dijadikan alat cari duit oleh oknum polisi saja." Abdul Wahab berkata begitu karena ia dapat menunjukkan segudang bukti. Misalnya: Tohom pernah meringkuk 17 hari dalam sel tahanan polisi hanya karena sengketa warisan keluarga. Padahal, begitu kisahnya, pembagian warisan di antara keluarga Tohom sudah berlangsung lewat 30 tahun yang lalu. Pun Tohom sendiri tak lain seorang kakek tua berumur 70 tahun. Seorang anak Tohom, pemuda yang mengantar ayahnya memenuhi panggilan polisi, tanpa ujung pangkal terus saja didorong masuk ke tahanan. Marbodat "Apa hak polisi mengurus soal warisan?" ujar Haji Anwar Musa, pemuka masyarakat lain yang berusaha membebaskan Tohom melalui Komandan Resort Tapanuli Selatan. Berikutnya, Kabul Hasibuan bernasib lebih apes lagi. Suatu hari ia kehilangan anaknya, gadis buta, yang dilarikan pemuda ke Aek Godang, 70 km dari Sibuhuan. Karena urusan tak bisa dibereskan secara kekeluargaan, sementara anak perawannya sudah diragukan kegadisannya, Kabul mengadu ke polisi. Pengaduan tidak berkelanjutan seperti diharapkan Kabul. Beberapa kali memang kelihatan si perjaka keluar-masuk kantor polisi. Tapi buntutnya jelek. Tanpa tuduhan yang dapat difahami malah si pengadu sendiri, Kabul Hasibuan, diseret ke kantor polisi dan ditahan sampai 12 hari. Masih banyak lagi yang dapat diceritakan Haji Anwar maupun Abdul Wahab. Termasuk soal keamanan dan ketertiban daerah oleh perjudian dan "main perempuan", yang sudah diadukan penduduk, tapi tak dapat dibereskan oleh polisi. Sampai peristiwa terakhir yang panas terjadi. Sebenarnya soal sepele. Jafar Nasution, yang disebut orang sana sebagai marbodat (pemelihara beruk yang mengambil upahan menurunkan kelapa), suatu hari kehilangan beruknya. Dari beberapa keterangan Jafar menuduh Kuddin sebagai pencurinya. Beruk yang pandai memang cukup berharga untuk dicuri. Jafar tidak mengadu ke polisi, sebab ia tahu, Kuddin dikenal sebagai informan polisi. Kakak iparnya, Sutan Nalobih yang mengurusnya langsung kepada Kuddin. Mata-mata polisi ini mula-mula mengakui perbuatannya dan berjanji hendak segera mengembalikan beruk curiannya. Tapi keesokan harinya Kuddin meralat pengakuannya dan tidak memenuhi janjinya. Ia menunjuk rekannya, informan juga, yang bernama Tamin. Dipingpong begitu Sutan naik pitam. Tamin mungkir. Lalu Kuddin dihajarnya. Akhirnya Kuddin dan Tamin sama-sama berjanji hendak membereskan urusan beruk itu secepatnya. Belum beres urusan beruk, kebetulan, Soleh melapor ke polisi, karena ia kehilangan tali jam tangan. Kebetulan pula kelihatan Jafar mengenakan tali jam tangan baru. Jafar menyatakan barang itu dibelinya sendiri di pasar. Tapi Kuddin dan Tamin menggunakan kesempatan itu untuk melaporkan Jafar sebagai pencuri. Dua orang polisi segera saja memburu Jafar. Melihat adiknya jadi buronan polisi, Sutan Nalobih kembali turun tangan. Soleh ditanya perihal tali jamnya yang hilang. Tapi kesimpulannya tali jam yang dipakai Jafar bukan milik Soleh. Surat pernyataanpun dibuat dan direken di muka kepala desa. Lalu malam itu juga, 13 Oktober jam 20.00, Sutan membawa adiknya menghadap polisi. Maksudnya agar polisi, dengan pernyataan Soleh itu, melepaskan Jafar dari buruannya. Tapi apa boleh buat, polisi tak mau menganggap urusan tali jam tangan itu sampai sekian saja. Tentu saja Sutan habis sabar. Dia membanting pintu kantor polisi sebelum pergi dari sana. Peltu Suwarno Nah, gebrakan Sutan itulah pangkal huru-hara. Komandan Sektor, Peltu Suwarno yang dilapori anak buahnya segera bertindak. Ditemani seorang anak buahnya Suwarno mencari Jafar dan Sutan ke kota. Tak bersua. Di depan pasar Sibuhuan kepada beberapa orang yang bergerombol di sana, Suwarno bertanya di mana Sutan dan Jafar bisa ditemui. Tak ada yang menjawab. Suwarno hanya menerima gelengan kepala saja. Hal itu tak mengenakkan hati petugas negara ini. Suwarno membentak gerombolan orang yang tak tahu apa-apa itu: "Betullah kamu orang Sibuhuan ini memang PKI semua. Kalau mau main koboi-koboian, saya sudah siap sekarang!" Begitu kata Suwarno, menurut ceritra beberapa orang kepada Amran Nasution dari TEMPO, sambil mengacung-acungkan pistolnya. Sikap polisi ini tentu saja menyakitkan penduduk. Mereka protes. Tapi Suwarno lebih galak. ia menembak-nembakkan pistolnya ke atas. Lalu ia bergegas kembali ke kantor polisi. Tapi penduduk tak dapat menerima begitu saja sikap hamba negara tersebut. Mereka panas. Beduk di mesjid dipukul bertalu-talu. Ratusan penduduk berkumpul dan lantas saja berarak-arakan ke kantor polisi. Huru-hara meletus. Hanya Camat Syaharuddin yang mampu memadamkan kerusuhan. Sebenarnya pak Camat sendiri juga ketakutan. "Tapi dari pada kota ini hancur, saya berani-beranikan diri juga," katanya kemudian. Hasilnya baik. "Hanya limabelas menit saja semua sudah bubar," katanya. Syaharuddin menjanjikan akan membereskan semua urusan keesokan harinya saja. Sebab waktu itu sudah pukul 11 malam. Kepolisian Padang Sidempuan menurunkan petugasnya untuk mengamankan Sibuhuan. Tiga orang penduduk yang memukul beduk ditangkap dan ditahan 4 hari, kemudian dibebaskan lagi. Muspida memberi wejangan-wejangan persoalan hukum -- tanpa menyebut-nyebut soal pelayanan hukum yang dirasakan macet oleh penduduk. Danres Letkol Anwar Qadim, segera menarik Peltu Suwarno dari tugasnya. Pemeriksaan dilakukan. Laporan penduduk, katanya, memang ada yang benar. "Tapi ada juga yang bersifat fitnah saja," katanya. Jafar dan Sutan Nalobih menghilang dari Sibuhuan. "Abang sekarang jadi musuh polisi," kata isteri Jafar. Pemuka masyarakat sanggup menyerahkan Sutan dan Jafar ke tangan polisi. Tapi ada syaratnya polisi harus membereskan Peltu Suwarno juga. "Kita harus adil," ujar Abdul Wahab Harahap seorang tokoh masyarakat setempat. Kasus Sibuhuan di atas dapat menunjukkan betapa sulitnya polisi melepaskan diri dari hal-hal yang bukan urusannya. Urusan perdata tetap bukan urusan kepolisian. Tapi, terutama di daerah yang makin terpencil, agaknya perkara-perkara yang bukan kriminil tetap saja menggoda polisi. Seperti terjadi pula di Kisaran. Di Kisaran Bahriun Samosir, penduduk Kisaran di Sumatera Utara juga, memang mengakui tahun lalu ada berhutang Rp 500 ribu kepada Adonia Silalahi. Perjanjiannya dalam tempo 6 bulan hutang harus dibayar Bahriun Rp 800 ribu. Bahriun ingkar janji. Juni lalu Bahriun dapat panggilan polisi. Bukan dengan surat panggilan resmi. Cuma berbentuk nota pribadi dari Letnan P. Manik, disampaikan kepada yang bersangkutan, melalui seorang wanita di komplek pelacuran Bukit Maraja. Sebulan kemudian Bahriun baru menghadap polisi. Tanpa diranya ini dan itu ia segera disel. Dua hari ditahan, tanpa surat penahanan apapun Bahriun dihadapkan pada juru periksa. Tapi tak ada pemeriksaan. Ia hanya disodori sepucuk surat pernyataan hutang yang harus ditekennya. Hutangnya kepada Adonia, begitu isi surat tersebut, harus dilunasinya dalam waktu 6 bulan dan jumlahnya tetap Rp 800 ribu. Kalau tak mau teken, begitu cerira Bahriun, jangan harap ia akan keluar dari kantor polisi. Bahriun main teken saja. Tapi, begitu keluar dari tahanan, ia segera membuat pengaduan ke Komres Asahan. Terus ia menggugat Manik ke pengadilan. Perkara ini sekarang sedang berjalan. Sementara itu Ponimin, petani dan pedagang batu-bata, sedang ribut dengan tauke Toko Mewah, Cong Ti Min alias Timin. Urusan utang-piutang juga. Timin menuntut agar Ponimin mengakui dan membayar hutangnya sebesar Rp 1,3 juta. Ponimin menolak. Mereka memang ada sangkut paut bisnis batu-bata. Tapi Ponimin tak mengakui hutangnya sebesar itu. Dia minta diadakan perhitungan yang benar dulu. Sebab, seperti yang diketahuinya belakangan, bukti-bukti hutangnya telah dipalsukan oleh Timin. Setidaknya ada beberapa tagihan yang sudah pernah dibayar tapi ditagih lagi. Tapi ada peristiwa yang membikin Ponimin mendapat malu besar. Ketika ia sedang menerima tamu, dalam pesta perkawinan anaknya, ia dicomot polisi di depan para tetamunya. Yang menjengkelkan lagi, Peltu Purba tidak membawanya ke kantor polisi, tapi ke sebuah gudang milik Timin. Di sana sudah menunggu Timin. Hutangpun ditagih di sana. Salah seorang keluarga Ponimin mencoba mengurusnya ke kantor polisi. Tentu saja Komandan Sektor Kisaran, Kapten Syahrial, kebingungan. Dia tak pernah memerintahkan siapapun untuk menahan Ponimin. Dan lagi, coba periksa saja, di tempat tahanan juga tak ada pesakitan yang bernama Ponimin. Tentu saja. Akhirnya Ponimin memang dilepas juga oleh Purba. Tapi begitu Kapten Syahrial digantikan oleh Kapten sambang Susetyo, urusan utang-piutang Ponimin-Timin kambuh lagi jadi urusan polisi. Dengan surat perintah resmi diteken oleh Kapten Bambang, Ponimin ditangkap lagi. Ia dituduh menipu dan menggelapkan uang Timin. Tapi kemudian yang memeriksa Ponimin bukan polisi. Tapi Timin sendiri di bawah hidung juru periksa. Selama 5 hari Ponimin di kantor polisi, ditahan resmi, tapi tak ada sebuah berita-acara pemeriksaan pun yang disuruh teken. Didorong oleh keluarganya Ponimin mencoba membuat pengaduan kepada polisi sekitar tuduhan pemalsuan yang dilakukan Timin. Tapi polisi enggan menerima pengaduannya yang bersifat kriminil itu, sehingga Ponimin lari ke kejaksaan. Di sini pengaduannya diterima.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus