HURU-HARA kecil terjadi di Sibuhuan, Tapanuli Selatan, 500 km
dari Medan. Sekitar 400 orang penduduk bersenjata pentungan
kayu, batu sampai parang dan golok, pertengahan bulan kemarin,
menyerbu kantor polisi yang ada di situ.
Akibatnya kantor Kepolisian Sektor 21011 Barumun berantakan
dibuatnya. Kaca-kaca jendela pecah. Atap bangunan, yang terbuat
dari seng, peot tak keruan. Sebuah sepeda motor milik Komandan
Sektor sendiri, yang ditinggalkan kabur pemiliknya, rusak kena
bacok. Untungnya 5 orang polisi yang bertugas di sana
selamat--karena mereka sigap meninggalkan kantor ketika
kerusuhan terjadi.
Keresahan yang menimbulkan ledakan hari itu, sudah lama menjalar
di kalangan penduduk. Tak lain karena penduduk tidak puas
merasakan kepincangan dalam pelayanan hukum dari kepolisian.
Dalam kalimat singkat, seperti yang disimpulkan Abdul Wahab,
pemuka masyarakat dan Ketua MKGR setempat, penduduk beranggapan
"Sel, tempat tahanan di kantor polisi itu, hanya dijadikan alat
cari duit oleh oknum polisi saja."
Abdul Wahab berkata begitu karena ia dapat menunjukkan segudang
bukti. Misalnya: Tohom pernah meringkuk 17 hari dalam sel
tahanan polisi hanya karena sengketa warisan keluarga. Padahal,
begitu kisahnya, pembagian warisan di antara keluarga Tohom
sudah berlangsung lewat 30 tahun yang lalu. Pun Tohom sendiri
tak lain seorang kakek tua berumur 70 tahun. Seorang anak Tohom,
pemuda yang mengantar ayahnya memenuhi panggilan polisi, tanpa
ujung pangkal terus saja didorong masuk ke tahanan.
Marbodat
"Apa hak polisi mengurus soal warisan?" ujar Haji Anwar Musa,
pemuka masyarakat lain yang berusaha membebaskan Tohom melalui
Komandan Resort Tapanuli Selatan. Berikutnya, Kabul Hasibuan
bernasib lebih apes lagi. Suatu hari ia kehilangan anaknya,
gadis buta, yang dilarikan pemuda ke Aek Godang, 70 km dari
Sibuhuan. Karena urusan tak bisa dibereskan secara kekeluargaan,
sementara anak perawannya sudah diragukan kegadisannya, Kabul
mengadu ke polisi.
Pengaduan tidak berkelanjutan seperti diharapkan Kabul. Beberapa
kali memang kelihatan si perjaka keluar-masuk kantor polisi.
Tapi buntutnya jelek. Tanpa tuduhan yang dapat difahami malah si
pengadu sendiri, Kabul Hasibuan, diseret ke kantor polisi dan
ditahan sampai 12 hari.
Masih banyak lagi yang dapat diceritakan Haji Anwar maupun Abdul
Wahab. Termasuk soal keamanan dan ketertiban daerah oleh
perjudian dan "main perempuan", yang sudah diadukan penduduk,
tapi tak dapat dibereskan oleh polisi. Sampai peristiwa terakhir
yang panas terjadi.
Sebenarnya soal sepele. Jafar Nasution, yang disebut orang sana
sebagai marbodat (pemelihara beruk yang mengambil upahan
menurunkan kelapa), suatu hari kehilangan beruknya. Dari
beberapa keterangan Jafar menuduh Kuddin sebagai pencurinya.
Beruk yang pandai memang cukup berharga untuk dicuri. Jafar
tidak mengadu ke polisi, sebab ia tahu, Kuddin dikenal sebagai
informan polisi. Kakak iparnya, Sutan Nalobih yang mengurusnya
langsung kepada Kuddin. Mata-mata polisi ini mula-mula mengakui
perbuatannya dan berjanji hendak segera mengembalikan beruk
curiannya.
Tapi keesokan harinya Kuddin meralat pengakuannya dan tidak
memenuhi janjinya. Ia menunjuk rekannya, informan juga, yang
bernama Tamin. Dipingpong begitu Sutan naik pitam. Tamin
mungkir. Lalu Kuddin dihajarnya. Akhirnya Kuddin dan Tamin
sama-sama berjanji hendak membereskan urusan beruk itu
secepatnya.
Belum beres urusan beruk, kebetulan, Soleh melapor ke polisi,
karena ia kehilangan tali jam tangan. Kebetulan pula kelihatan
Jafar mengenakan tali jam tangan baru. Jafar menyatakan barang
itu dibelinya sendiri di pasar. Tapi Kuddin dan Tamin
menggunakan kesempatan itu untuk melaporkan Jafar sebagai
pencuri. Dua orang polisi segera saja memburu Jafar.
Melihat adiknya jadi buronan polisi, Sutan Nalobih kembali turun
tangan. Soleh ditanya perihal tali jamnya yang hilang. Tapi
kesimpulannya tali jam yang dipakai Jafar bukan milik Soleh.
Surat pernyataanpun dibuat dan direken di muka kepala desa. Lalu
malam itu juga, 13 Oktober jam 20.00, Sutan membawa adiknya
menghadap polisi. Maksudnya agar polisi, dengan pernyataan Soleh
itu, melepaskan Jafar dari buruannya. Tapi apa boleh buat,
polisi tak mau menganggap urusan tali jam tangan itu sampai
sekian saja. Tentu saja Sutan habis sabar. Dia membanting pintu
kantor polisi sebelum pergi dari sana.
Peltu Suwarno
Nah, gebrakan Sutan itulah pangkal huru-hara. Komandan Sektor,
Peltu Suwarno yang dilapori anak buahnya segera bertindak.
Ditemani seorang anak buahnya Suwarno mencari Jafar dan Sutan ke
kota. Tak bersua. Di depan pasar Sibuhuan kepada beberapa orang
yang bergerombol di sana, Suwarno bertanya di mana Sutan dan
Jafar bisa ditemui. Tak ada yang menjawab. Suwarno hanya
menerima gelengan kepala saja. Hal itu tak mengenakkan hati
petugas negara ini. Suwarno membentak gerombolan orang yang tak
tahu apa-apa itu: "Betullah kamu orang Sibuhuan ini memang PKI
semua. Kalau mau main koboi-koboian, saya sudah siap sekarang!"
Begitu kata Suwarno, menurut ceritra beberapa orang kepada Amran
Nasution dari TEMPO, sambil mengacung-acungkan pistolnya.
Sikap polisi ini tentu saja menyakitkan penduduk. Mereka protes.
Tapi Suwarno lebih galak. ia menembak-nembakkan pistolnya ke
atas. Lalu ia bergegas kembali ke kantor polisi. Tapi penduduk
tak dapat menerima begitu saja sikap hamba negara tersebut.
Mereka panas. Beduk di mesjid dipukul bertalu-talu. Ratusan
penduduk berkumpul dan lantas saja berarak-arakan ke kantor
polisi. Huru-hara meletus.
Hanya Camat Syaharuddin yang mampu memadamkan kerusuhan.
Sebenarnya pak Camat sendiri juga ketakutan. "Tapi dari pada
kota ini hancur, saya berani-beranikan diri juga," katanya
kemudian. Hasilnya baik. "Hanya limabelas menit saja semua sudah
bubar," katanya. Syaharuddin menjanjikan akan membereskan semua
urusan keesokan harinya saja. Sebab waktu itu sudah pukul 11
malam.
Kepolisian Padang Sidempuan menurunkan petugasnya untuk
mengamankan Sibuhuan. Tiga orang penduduk yang memukul beduk
ditangkap dan ditahan 4 hari, kemudian dibebaskan lagi. Muspida
memberi wejangan-wejangan persoalan hukum -- tanpa
menyebut-nyebut soal pelayanan hukum yang dirasakan macet oleh
penduduk.
Danres Letkol Anwar Qadim, segera menarik Peltu Suwarno dari
tugasnya. Pemeriksaan dilakukan. Laporan penduduk, katanya,
memang ada yang benar. "Tapi ada juga yang bersifat fitnah
saja," katanya. Jafar dan Sutan Nalobih menghilang dari
Sibuhuan. "Abang sekarang jadi musuh polisi," kata isteri Jafar.
Pemuka masyarakat sanggup menyerahkan Sutan dan Jafar ke tangan
polisi. Tapi ada syaratnya polisi harus membereskan Peltu
Suwarno juga. "Kita harus adil," ujar Abdul Wahab Harahap
seorang tokoh masyarakat setempat.
Kasus Sibuhuan di atas dapat menunjukkan betapa sulitnya polisi
melepaskan diri dari hal-hal yang bukan urusannya. Urusan
perdata tetap bukan urusan kepolisian. Tapi, terutama di daerah
yang makin terpencil, agaknya perkara-perkara yang bukan
kriminil tetap saja menggoda polisi. Seperti terjadi pula di
Kisaran.
Di Kisaran
Bahriun Samosir, penduduk Kisaran di Sumatera Utara juga, memang
mengakui tahun lalu ada berhutang Rp 500 ribu kepada Adonia
Silalahi. Perjanjiannya dalam tempo 6 bulan hutang harus dibayar
Bahriun Rp 800 ribu. Bahriun ingkar janji. Juni lalu Bahriun
dapat panggilan polisi. Bukan dengan surat panggilan resmi. Cuma
berbentuk nota pribadi dari Letnan P. Manik, disampaikan kepada
yang bersangkutan, melalui seorang wanita di komplek pelacuran
Bukit Maraja.
Sebulan kemudian Bahriun baru menghadap polisi. Tanpa diranya
ini dan itu ia segera disel. Dua hari ditahan, tanpa surat
penahanan apapun Bahriun dihadapkan pada juru periksa. Tapi tak
ada pemeriksaan. Ia hanya disodori sepucuk surat pernyataan
hutang yang harus ditekennya. Hutangnya kepada Adonia, begitu
isi surat tersebut, harus dilunasinya dalam waktu 6 bulan dan
jumlahnya tetap Rp 800 ribu. Kalau tak mau teken, begitu cerira
Bahriun, jangan harap ia akan keluar dari kantor polisi.
Bahriun main teken saja. Tapi, begitu keluar dari tahanan, ia
segera membuat pengaduan ke Komres Asahan. Terus ia menggugat
Manik ke pengadilan. Perkara ini sekarang sedang berjalan.
Sementara itu Ponimin, petani dan pedagang batu-bata, sedang
ribut dengan tauke Toko Mewah, Cong Ti Min alias Timin. Urusan
utang-piutang juga. Timin menuntut agar Ponimin mengakui dan
membayar hutangnya sebesar Rp 1,3 juta. Ponimin menolak. Mereka
memang ada sangkut paut bisnis batu-bata. Tapi Ponimin tak
mengakui hutangnya sebesar itu. Dia minta diadakan perhitungan
yang benar dulu. Sebab, seperti yang diketahuinya belakangan,
bukti-bukti hutangnya telah dipalsukan oleh Timin. Setidaknya
ada beberapa tagihan yang sudah pernah dibayar tapi ditagih
lagi.
Tapi ada peristiwa yang membikin Ponimin mendapat malu besar.
Ketika ia sedang menerima tamu, dalam pesta perkawinan anaknya,
ia dicomot polisi di depan para tetamunya. Yang menjengkelkan
lagi, Peltu Purba tidak membawanya ke kantor polisi, tapi ke
sebuah gudang milik Timin. Di sana sudah menunggu Timin.
Hutangpun ditagih di sana.
Salah seorang keluarga Ponimin mencoba mengurusnya ke kantor
polisi. Tentu saja Komandan Sektor Kisaran, Kapten Syahrial,
kebingungan. Dia tak pernah memerintahkan siapapun untuk menahan
Ponimin. Dan lagi, coba periksa saja, di tempat tahanan juga tak
ada pesakitan yang bernama Ponimin. Tentu saja.
Akhirnya Ponimin memang dilepas juga oleh Purba. Tapi begitu
Kapten Syahrial digantikan oleh Kapten sambang Susetyo, urusan
utang-piutang Ponimin-Timin kambuh lagi jadi urusan polisi.
Dengan surat perintah resmi diteken oleh Kapten Bambang, Ponimin
ditangkap lagi. Ia dituduh menipu dan menggelapkan uang Timin.
Tapi kemudian yang memeriksa Ponimin bukan polisi. Tapi Timin
sendiri di bawah hidung juru periksa. Selama 5 hari Ponimin di
kantor polisi, ditahan resmi, tapi tak ada sebuah berita-acara
pemeriksaan pun yang disuruh teken.
Didorong oleh keluarganya Ponimin mencoba membuat pengaduan
kepada polisi sekitar tuduhan pemalsuan yang dilakukan Timin.
Tapi polisi enggan menerima pengaduannya yang bersifat kriminil
itu, sehingga Ponimin lari ke kejaksaan. Di sini pengaduannya
diterima.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini