PT Inti (Industri Telekomunikasi Indonesia) di akhir tahun ini berusia 15 tahun. Namun, BUMN yang bermarkas besar di Bandung itu hidupnya masih menengok ke kanan-kiri. Bahan baku produksinya masih ditentukan oleh para kreditur luar negeri. Pasarnya pun amat tergantung Perusahaan Umum Telekomunikasi (Perumtel). Setyanto P. Santosa, 43 tahun, yang baru diangkat menjadi Direktur Utama PT Inti, rupanya ingin mengurangi pagar-pagar yang mengurung BUMN yang kini bernaung di bawah Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS) di bawah Menristek B.J. Habibie ini. Kini PT Inti menghasilkan 14 jenis produk, di antaranya sentral telepon digital (STDI), sentral telepon langganan otomat (STLO), pesawat telepon Inti standar nasional, telepon mobil, pesawat telepon umum swalayan, dan stasiun bumi kecil. Proses pembuatannya, mulai dari bahan baku sampai dengan biaya produksinya praktis masih ditentukan oleh para pemasok dan kreditur luar negeri. Syukur, belakangan ini PT Inti sudah mulai mengembangkan sebuah produknya dengan rancangan sendiri, disebut PTUMC alias pelayanan telepon umum multi-coin. Ini pesawat yang bisa memberikan jasa pelayanan telepon umum sesuai dengan nilai uang logam yang disuapkan ke dalamnya: Rp 50, Rp 100, atau melalui penggunaan koin yang dibeli dan dibuat khusus oleh PT Inti. PTUMC bisa dipakai untuk telepon lokal, interlokal, sampai internasional. "Telepon umum yang kini telah dipasang adalah lisensi dari perusahaan BTM (Bell Telephone Manufacturing). Tapi, komponen PTUMC sudah 100% lokal," kata Setyanto, menjawab TMPO di Bandung pekan lalu. PT Inti, yang pernah menjual beberapa stasiun bumi kecil ke Malaysia, kini mulai mencoba merambah pasar luar negeri. Belakangan dia sedang menawarkan warung telepon PTUS (pelayanan telepon umum swalayan) ke Filipina, Vietnam, dan RRC. Langkah ini rupanya membuat manajemen PT Inti merasa berada di simpang jalan. Apakah perusahaan itu harus terus-menerus menjadi perakit telekomunikasi dari luar negeri? Atau, Inti harus juga mengikuti arus yang nonmigas kini terus beroleh perangsang ekspor. Untuk memecahkan masalah itu, pekan lalu Setyanto melakukan diskusi terbuka. Ya, dengan atasannya yang adalah pengambil keputusan (BPIS dan Departemen Parpostel), dengan rekan-rekan bisnisnya (Perumtel dan Siemens AG), serta kalangan ilmuwan dari LIPI dan ITB. Kiat Setyanto rupanya dipuji Menteri Habibie dan Sekjen Deparpostel Soejono Kramadibrata. Habibie, dalam pidato pembukaan seminar PT Inti lebih dari sepekan lalu, mengatakan bahwa ada empat tahap yang harus ditempuh oleh industri telekomunikasi Indonesia. Pertama, tahap produksi atas dasar lisensi dan memanfaatkan teknologi yang telah ada dalam rangka produksi barang dan jasa yang telah ada di pasaran. Ini sudah dilakukan oleh PT Inti. Tapi, oleh Habibie, PT Inti ia nilai sudah mulai memasuki tahap kedua. Yaitu tahap integrasi teknologi-teknologi yang ada ke dalam desain dan produksi barang dan jasa yang baru. Ketiga, adalah tahap pengembangan teknologi dalam rangka merancang produk-produk masa depan. Keempat, tahap pelaksanaan penelitian dasar. Cukup menarik pendapat yang dikemukakan Dirut Perumtel Cacuk Sudarijanto. Ia mengusulkan agar industri dan pelayanan telekomunikasi dijalankan dalam bentuk semacam konglomerat. "Model perusahaan telekomunikasi Amerika AT & T," katanya. Kesemua elemen terkait erat dalam suatu upaya yang sama untuk pembangunan telekomunikasi Indonesia. Cacuk melihat bahwa interaksi antara industri manufaktur dan pemberi jasa telekomunikasi selama ini belum memuaskan. Kandungan lokal yang rendah menyebabkan diperlukannya valuta asing yang relatif besar untuk investasi. Gejala inefisiensi dalam proses produksi menyebabkan harga jual relatif tinggi sehingga melemahkan daya saing. Layanan purnajual yang lemah juga menyebabkan hilangnya keprcayaan terhadap industri. Status perkembangan industri telekomunikasi di Indonesia, kata Cacuk, masih membuka peluang luar biasa untuk memasok perangkat telekomunikasi. UU tentang Telekomunikasi No. 3/1989 telah membuka peluang swastanisasi industri dan pelayanan telekomunikasi. Investasi pemerintah dalam kerja sama dengan masyarakat atas dasar saling menguntungkan. "Investor sekali-kali bukanlah kontraktor yang menempatkan dirinya sebagai cost center. Investor harus sejauh mungkin transparan terhadap harga-harga barang serta kepentingan modal, agar tercipta suasana yang bebas dari ekonomi biaya tinggi," katanya. ITU (Organisasi Telekomunikasi Internasional), menurut Cacuk, pernah melakukan penelitian bahwa semakin kaya suatu negara, semakin tinggi angka kepadatan telepon. Sebaliknya, di negara-negara yang GNP-nya rendah, terutama di negara yang GNP-nya di bawah US$ 2 ribu, sumbangan telepon cukup tinggi. Pada negara yang GNP per kapitanya rata-rata US$ 600, satu telepon bisa menyumbang nilai nominal US$ 2.065,03. Telepon, kata Cacuk, bukan hanya sekadar pendukung kegiatan guna mencapai tingkat efisiensi dan produktivitas lebih tinggi. Jasa telekomunikasi juga merupakan penggerak kegiatan baru yang memperkaya spektrum kegiatan yang sudah ada. Jasa telekomunikasi bisa menghasilkan laba yang dapat dihitung, dan manfaat yang tak dapat dihitung. Tampaknya, nilai-nilai yang tak terhitung itu justru menjadi faktor pertimbangan utama pemerintah dalam pembangunan industri telekomunikasi di Indonesia. "Telekomunikasi dapat berperan sentral sebagai K3I (komunikasi, komando, kendali, dan informasi)," kata Sekjen Deparpostel Soejono Kramadibrata. Mungkin itu yang membuat pemerintah belum menderegulasi tarif telepon. Dalam Pelita V, akan dipasang 1,4 juta satuan sambungan telepon (SST), sehingga jumlah terpasang akan mencapai 2,5 juta SST. Tapi, pada saat yang sama, permintaan telepon diduga akan mencapai 3,84 juta SST. Ini bisa membuat Perumtel atau Indosat seenaknya menentukan tarif. Namun, jika pemerintah mau menderegulasikan tarif telepon, siapa tahu ada konglomerat yang mau terjun ke bisnis telekomunikasi. Max Wangkar, Hasan Syukur (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini