Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Berpacu Dalam KPR

Untuk mengejar target 450 ribu unit rumah, BTN akan bekerja sama dengan bank-bank swasta dalam menyalurkan KPR. BTN akan berfungsi sebagai bank umum. Banyak developer bangkrut karena uang muka tinggi.

30 Desember 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANK Tabungan Negara (BTN) kini punya banyak mitra tanding dalam memasarkan kredit pemilikan rumah (KPR). Mulai April tahun depan, bank-bank swasta akan "menantang" BTN. Tercatat, sudah ada lima bank yang berminat menyalurkan KPR untuk rumah sederhana dengan bunga yang sama dengan BTN. Untuk pelaksanaannya, bank swasta itu memang mesti bekerja sama dengan BTN, yang sudah punya reputasi meliput angsuran 607 ribu unit rumah sederhana. BTN akan bertindak sebagai grosir dan bank swasta menjualnya kembali dalam KPR eceran. Yang pertama bergandeng tangan dengan BTN dalam KPR untuk rumah sederhana adalah Bank Dagang Bali. "Reputasi BDB cukup baik. KIK/KMPK dari BI yang disalurkannya selama ini tidak pernah macet. Mudah-mudahan, KPR-nya juga begitu," ujar Dirut BTN Mahfud Jakile. Harapan Jakile itu bisa dimengerti. Sebab, Kantor Menteri Negara Perumahan Rakyat Siswono Yudohusodo membebani BTN harus bisa meliput KPR sedikitnya untuk 450 ribu unit rumah sederhana sepanjang Pelita V ini. Barangkali ini justru karena BTN berhasil memberikan KPR untuk 330 ribu unit rumah pada Pelita IV, atau 3 ribu unit di atas sasaran. "Meskipun saya akan menambah 30 kantor cabang tahun depan, pasti akan kewalahan mengejar target 450 ribu unit rumah tanpa kerja sama dengan bank swasta," kata Jakile kepada TEMPO Jumat pekan lalu. Kerja sama dengan bank swasta itu dilakukan BTN mengingat pula, pada Pelita V, BTN hanya mendapat injeksi Bank Indonesia Rp 50 milyar. Padahal, Pelita lalu mencapai Rp 250 milyar, lima kali lipat lebih besar dibanding yang sekarang. Artinya, BTN mesti pandai-pandai mencari sumber dana sendiri. Pada Pelita IV, BTN cukup mengerahkan dana sendiri Rp 450 milyar. Namun, sekarang ia harus bisa menghimpun Rp 1,2 trilyun. Karena itu, Departemen Keuangan memberikan kelonggaran kepada BTN untuk beroperasi sebagai bank umum mulai Oktober lalu. Jasa giro, misalnya, yang sebelum Oktober haram diterima BTN, sekarang justru memberi banyak berkah. Hanya dalam waktu dua bulan, Jakile sudah menyedot Rp 94 milyar uang giro yang dititipkan 73 nasabahnya di Jakarta. Artinya, rata-rata tiap nasabah menitipkan Rp 1,28 milyar. "Pemegang giro biasanya rekanan BTN. Mulai developer, perusahaan jasa penilai, notaris, dan supplier," ucap Jakile. Menurut rencana, tahun depan giro akan dibuka di BTN cabang Surabaya dan Bandung. Langkah BTN yang lain adalah memberikan kredit konstruksi bagi developer rekanannya. Katakan ada developer A yang mendapat kredit konstruksi dari BTN untuk pembangunan 250 unit rumah sederhana. Begitu rumah selesai dibangun, dan dinilai layak dibeli masyarakat dengan KPR BTN, dengan mudah BTN memindahbukukan kredit konstruksi tadi di pembukuannya. "Ini menguntungkan developer. Karena sertifikat kredit yang dipakai untuk membangun rumah bisa dijadikan jaminan ke BTN. Kita tak pusing mencari jaminan lainnya," tutur Herman Sudarsono, developer rekanan BTN. Namun, Herman merasa prihatin dengan melorotnya penjualan rumah sederhana. Ini karena -- antara lain -- berkaitan dengan besarnya uang muka. Sebelum Juni 1989, cukup dengan uang muka 15% dari harga jual rumah T-21, orang sudah bisa memiliki rumah. Cicilannya sekitar Rp 50 ribu sebulan (1/3 gaji Rp 150 ribu sebulan). Tapi, karena BTN kapok dengan dibitur yang nunggak, uang muka dinaikkan agar cicilan bisa diturunkan sampai Rp 37.500 sebulan. Beberapa developer tercatat gulung tikar karena macet memasarkan rumah sederhana. Sebagian lainnya pindah menggarap rumah menengah yang biasa ditangani PT Papan Sejahtera. Tapi Jakile tetap yakin, BTN akan mampu mencapai target 450 ribu unit itu. Apalagi bila kemudian BTN berani memberikan keringanan, misalnya debitur baru membayar separuh cicilan selama tahun pertama dan kedua. Bachtiar Abdullah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus