Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Investigasi KNKT soal Kecelakaan Maut Truk Pertamina: Jalan Transyogi Cibubur Minim Risiko Tabrakan

KNKT menyatakan kecelakaan yang terjadi di Jalan Transyogi, Cibubur, itu bukan disebabkan oleh masalah struktur jalan.

18 Oktober 2022 | 10.55 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sejumlah kendaraan melintasi lampu lalu lintas (traffic light) Cibubur CBD, di Jalan Raya Alternatif Cibubur, Jatisampurna, Bekasi, Jawa Barat, Rabu, 20 Juli 2022. Pasca kecelakaan maut yang melibatkan truk Pertamina dan sejumlah kendaraan bermotor pada 18 Juli lalu, lampu lalu lintas di depan kawasan Perumahan Citra Grand Cibubur CBD tersebut kini dinonaktifkan. TEMPO/M Taufan Rengganis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) merilis hasil investigasinya soal kecelakaan maut truk tangki Pertamina di Cibubur. Senior Investigator KNKT Ahmad Wildan, menekankan, kecelakaan yang terjadi di Jalan Transyogi itu bukan disebabkan oleh masalah struktur jalan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wildan mengatakan dari sisi klasifikasinya, Jalan Transyogi adalah jalur yang termasuk kolektor primer. Kolektor primer adalah jalan yang menghubungkan antara pusat kegiatan nasional dan pusat kegiatan lokal. Adapun jalur itu sedang dalam masa transisi pembinaan dari pemeritah daerah ke pemerintah pusat. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Jalan Transyogi adalah termasuk dalam jenjang kolektor primer tertinggi, yaitu kolektor primer 1 yang memiliki peran menghubungkan antar ibukota provinsi," kata Wildan saat konferensi pers di Kantor KNKT, Jakarta, Selasa, 18 Oktober 2022.

Jalan kolektor primer pun, menurut Wildan, merupakan jalur yang didesain untuk kecepatan tinggi. Kecepatan paling rendah untuk jalan jenis itu, kata dia, 40 kilometer per jam untuk
jenjang terendah dengan lebar minimal 9 meter. Akses jalan ini pun terbatas.

Sementara itu, dari sisi geometris jalan, penampang melintang telah dianalisis untuk mengidentifikasi kecelakaan tabrak depan atau tabrak belakang. Dari hasil investigasi, Jalan Transyogi memiliki enam lajur yang dipisahkan dengan median. 

"Ini sangat ideal, artinya jalan ini sesuai regulasinya, tidak ada masalah. Risiko tabrak depan depan dan tabrak depan belakang bisa diminimalisasi," ucapnya.

Sedangkan dari sisi alinyemen vertikal, kemiringan lereng atau slope maksimal adalah 7 persen dengan panjang landai kritis 300 meter. Dia mengatakan terdapat perbedaan tinggi 20 meter pada jarak 1 kilometer. Desain kemiringan di Jalan Transyogi pun, menurut dia, telah memenuhi standar.

Adapun dengan desain alinyemen vertikal ini, risiko terjadinya gagal menanjak dan gagal pengereman pada kendaraan besar dapat ditekan. Artinya, desain jalan masih sesuai dengan regulasi.

"Dari dua hal ini kita melihat risiko tabrak depan belakang risiko kegagalan pengeremean dan gagal menanjak sebetulnya sangat kecil sekali. Sebab, jalan ini sudah sesuai regulasi internasional maupun nasional," kata Wildan.

Selanjutnya, dari sisi alinyemen horizontal, Jalan Transyogi memiliki struktur yang ideal. Menurut Wildan, jalan ini tidak memiliki tikungan patah maupun tikungan ganda sehingga risiko terguling, terbanting atau oversteer/understeer dapat dihindari.

"Secara umum kami menyatakan Jalan Transyogi secara geometrik jalan desainya regulating road. Risiko terpaparnya kendaraan karena terpengaruh geometrik jalan sangat kecil sekali," ucapnya.

Selain itu, saat terjadinya kecelakaan pada 18 Juli 2022 lalu, dia menekankan di Jalan Transyogi tidak ditemukan adanya jejak pengereman atau skidmark. Temuan ini pun menurut KNKT sesuai dengan kesaksian pengemudi yang sudah menyatakan adanya masalah pada rem kendaraannya.

Meski demikian, Wildan menekankan desain perambuan dan marka jalan masih mengakomodasi untuk kepentingan lalu-lintas lokal dengan kecepatan rendah. Misalnya, adanya pita penggaduh pada badan jalan, tingginya bukaan median, hingga tingginya akses jalan minor ke jalan utama. 

"KNKT juga mencermati keberadaan rambu yang bercampur dengan iklan atau reklame di sepanjang jalan," tutur dia. 

Tercampurnya reklame iklan dan rambu di Jalan Transyogi ini dianggap dapat mengganggu pengemudi. Pengemudi bahkan dpat mengabaikan informasi yang disampaikan oleh rambu dimaksud karena terlalu banyak informasi yang diterima oleh pengemudi di sisi jalan. 

"Kondisi ini merupakan hazard dan bisa menurunkan kewaspadaan pengemudi dan bahaya lainnya," ujarnya.

Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus