Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Jalan Berliku ke Labuhan Maringgai

Perusahaan Gas Negara ngotot menyelesaikan FSRU Lampung pada 2014 kendati belum mendapat alokasi gas. Sebuah perusahaan swasta justru sudah mendapat jatah gas.

17 Maret 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bagian dasar kapal itu sudah mulai dibangun di galangan Hyundai Heavy Industry di Ulsan, Korea Selatan. Tahun depan kapal milik ­Hoegh LNG Ltd (Norwegia) ini akan berlayar dari Ulsan menuju Lampung. PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) menjadi penyewa selama 20 tahun untuk proyek kapal regasifikasi alias floating storage regasification unit (FSRU) berkapasitas 240 juta standar kaki kubik per hari.

Sejumlah pejabat hadir dalam peresmian pembangunan kapal pada 27 Februari lalu itu. Ada Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Susilo Siswoutomo dan Wakil Ketua Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Yohanes Widjanarko. Terlihat pula Direktur Utama PGN Hendi Prio Santoso, Direktur Pengusahaan PGN Jobi Triananda Hasjim, Chief Executive Officer ­Hoegh LNG Sveinung Stohle, dan Chief Operation Officer Hyundai Heavy O.H. Kim.

Hendi yakin tahun depan kapal itu sudah bisa berlabuh di Selat Sunda. Proyek senilai US$ 300 juta atau sekitar Rp 2,9 triliun itu akan mengalirkan gas untuk wilayah Lampung dan Jawa Barat. Peresmian pembangunan kapal seperti sinyal bahwa PGN siap mengerjakan proyek FSRU. Maklum saja, BUMN yang awalnya hanya membangun pipa dan mendistribusikan gas ini sempat tidak berhasil meloloskan proyek serupa di Belawan, Sumatera Utara.

Kali ini, seperti tidak mau kecolongan lagi, PGN ngebut supaya kapal segera dibangun kendati belum memperoleh jatah alokasi gas dari pemerintah. Padahal alokasi gas sangat penting untuk proyek FSRU. Kapal FSRU bisa terbengkalai jika tak ada kepastian pasokan dan penyewanya terpaksa membayar penalti. Ketidakpastian pasok­an gas ke dalam kapal bisa menurunkan pula spesifikasi mesin.

Sekretaris Perusahaan PGN Ridha Ababil mengatakan perusahaan saat ini berfokus menyediakan infrastruktur. "Kami masih berharap ada jatah dari pemerintah kalau semua fasilitas selesai pada 2014," katanya. Bila kepepet, alternatif untuk mendatangkan gas bisa dari impor. "Tapi kami mengutamakan dari dalam negeri dulu," ujarnya.

1 1 1

Awalnya perusahaan pelat merah itu hendak membangun FSRU di Belawan dan Lampung. Tapi Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan mengganti proyek di Belawan dengan proyek revitalisasi kilang Arun (Aceh), yang dikerjakan Pertamina. Padahal PGN telah mengeluarkan duit sekitar US$ 12 juta untuk pembebasan lahan dan studi kelayakan. Dahlan setuju semua biaya itu menjadi beban proyek revitalisasi hingga pemasangan pipa dari Arun ke Sumatera Utara.

Kini PGN kembali menghadapi rintangan di Lampung. Pada 5 Februari lalu terbit surat dari Kementerian Energi. Isinya soal alokasi gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG) untuk proyek-proyek FSRU di Indonesia. Ada empat proyek yang namanya tercantum: Nusantara Regas (Pertamina dan PGN), LNG Regasifikasi Arun, FSRU Jawa Tengah, dan FSRU Banten.

Tak tercantumnya FSRU Lampung milik PGN mengejutkan kalangan industri migas. Sebaliknya FSRU Banten kepunyaan PT Energi Dian Kemala mendapat jaminan pasokan gas dari pemerintah sebesar enam kargo pada 2015, kemudian naik jadi 16 kargo enam tahun berikutnya, lalu delapan kargo pada 2023. Energi telah melakukan kerja sama pembangunan terminal LNG di Cilegon bersama PT Krakatau Steel Tbk sejak 2010. Direktur Utama Krakatau Steel Irvan Kamal Hakim mengatakan pihaknya hanya menyewakan lahan untuk proyek tersebut.

"Kami belum ada rencana untuk mengambil gas dari proyek itu," kata Irvan. Kebutuhan gas perusahaan tahun ini sebesar 100 juta standar kaki kubik per hari berasal dari Pertamina dan PGN. "Saya tidak ingat berapa harga sewa dan berapa lama waktunya," ujar Irvan.

Dalam situs anak usaha Krakatau Steel, PT Krakatau Bandar Samudera, berita kerja sama tersebut termuat pada 28 Desember 2010. Penandatanganan perjanjian awal proyek ini dilakukan oleh Direktur Utama Krakatau Bandar Samudera Zamhari Hamid dan Direktur Utama Energi Dian Kemala Johanes Jani Bunyamin. Hadir pula Direktur Utama Krakatau Steel ketika itu Fazwar Bujang.

Johanes Jani Bunyamin atau lebih dikenal dengan Yan Bunyamin bukan nama baru di lingkungan migas. Sudah lama pria ini berkecimpung dalam bisnis elpiji di Pertamina. Yan dikenal dekat petinggi BUMN berlaba terbesar itu.

PGN dan Energi Dian Kemala sama-sama menargetkan proyek FSRU akan selesai pada 2014. Ridha mengatakan PGN akan menyambungkan pipa South Sumatera-West Java yang sudah ada selama ini. Pasokan gas untuk pipa tersebut berasal dari dua produsen, yaitu Pertamina dan ConocoPhillips. Pelanggannya pelaku industri di Jawa Barat dan PLN. Sambungan pipa yang baru berjarak 21 kilometer dan akan mengalirkan gas ke Pelabuhan Labuhan Maringgai di Lampung Timur menuju FSRU.

Penyambungan pipa ini, menurut Ridha, menjadi cara untuk mengantisipasi jika pasokan gas dari Pertamina dan ConocoPhillips mulai menurun. "Atau terjadi penambahan permintaan gas dari Sumatera bagian selatan dan Jawa Barat," katanya. Ketika nanti gas masuk ke pipa yang baru, sudah tidak bisa dibedakan lagi sumbernya: dari sumur atau LNG. Penetapan harga gasnya masih dikaji. Tapi yang pasti kapasitas pasokan gas di wilayah itu meningkat dari 500-700 juta menjadi 700-800 juta standar kaki kubik per hari.

Energi Dian Kemala punya metode berbeda. Perusahaan ini tidak membangun kapal regasifikasi dan hanya akan mendatangkan kapal penyimpanan gas. Maka lebih layak kalau disebut floating storage unit (FSU) Banten, bukan FSRU. Kapal berbendera Liberia buatan 1977 bernama Sunrise ex Transgas akan menampung LNG untuk kebutuhan industri di wilayah itu.

Dalam rencana bisnisnya, Energi tidak membangun pipa. LNG akan mereka bawa dengan truk tangki menuju unit-unit regasifikasi mini yang dimiliki konsumen. Muatan kapal bisa menampung gas 6.000 ton per hari atau 250 juta standar kaki kubik per hari.

Energi Dian Kemala telah menunjuk Tokyo Gas Engineering sebagai kontraktor pelaksana. Nilai proyek diperkirakan mencapai hampir US$ 200 juta atau sekitar Rp 1,8 triliun. Seorang pelaku industri migas sangsi proyek ini bakal selesai pada 2014. Penyebabnya, membuat spesifikasi tangki agar sesuai dengan pasokan gas butuh waktu tiga tahun.

Ihwal alokasi gas, Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini mengatakan sedang mengklarifikasi sisi permintaan, terutama kesiapan FSRU. Ia juga melihat potensi gas yang bisa diambil untuk kebutuhan domestik. "Kami akan melakukan pertemuan antarkontraktor migas dengan pemilik FSRU untuk menegosiasi harga gas," katanya.

Dia berharap minimal volume FSRU dapat terpenuhi supaya proyek berjalan. Kalau masih kurang, gas dapat diimpor. Prediksinya, pada 2018 Asia akan kebanjiran gas dari Eropa Timur dan Utara sehingga harga gas akan murah.

Sorta Tobing

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus