Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERTAMINA Gas atau Pertagas benar-benar sedang tancap gas. Anak perusahaan PT Pertamina (Persero) ini "kejar tayang" memenuhi tenggat pembangunan kilang regasifikasi Arun di Lhokseumawe, Aceh. Sederet lelang digeber. Pertengahan Februari lalu, Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan telah menyetujui anggaran dalam final investment decision (FID).
Tender engineering, procurement, and construction atau EPC untuk revitalisasi kilang telah dimenangi PT Rekayasa Industri (Persero) alias Rekin. Nilainya US$ 70 juta (sekitar Rp 679 miliar). Awal Maret lalu kontrak kerja sama dengan Rekin diteken. Adapun lelang pengadaan pipa, menurut Direktur Utama Pertagas Gunung Sardjono Hadi, telah diputuskan pemenangnya, yakni Bakrie Pipe Industries. Agustus mendatang, pipa akan dikirim ke lokasi.
"Pemenang diputuskan melalui tender terbuka," ujar Gunung, Jumat pekan lalu. "Bakrie Pipe Industries memenuhi syarat lelang, seperti menunjukkan stand-by letter of credit sebagai syarat kemampuan finansial."
Berikutnya lelang EPC untuk konstruksi pipa dan pengadaan kompresor. Diharapkan pemenang tender untuk pengadaan itu bisa diputuskan masing-masing pada akhir Maret ini dan April mendatang. "Targetnya, konstruksi pemasangan pipa rampung pada kuartal keempat tahun 2014."
Regasifikasi kilang Arun merupakan salah satu proyek infrastruktur gas yang masuk percepatan pelaksanaan prioritas pembangunan nasional tahun 2014. Pada tahap awal, fasilitas regasifikasi Arun akan memiliki kapasitas pengolahan 200 juta standar kaki kubik (mmscfd). Setelah itu, kapasitas akan ditingkatkan menjadi 320 mmscfd.
Infrastruktur gas lain yang juga diutamakan adalah dua unit penampung dan regasifikasi terapung alias floating storage regasification unit (FSRU) di Lampung dan Jawa Tengah. Satu lagi, FSU Banten, cuma berupa unit penampung LNG terapung, tanpa fasilitas regasifikasi.
Proyek FSRU Jawa Tengah, yang diperkirakan bernilai US$ 400 juta, akan dibangun Pertamina. Sedangkan FSU Banten oleh PT Energi Dian Kemala, dan FSRU Lampung oleh PT PGN (Persero).
FSRU Lampung ditargetkan beroperasi pada pertengahan 2014. PGN telah memesan pembangunannya di galangan kapal Hyundai Heavy Industry di Ulsan, Korea Selatan. Infrastruktur ini awalnya disiapkan untuk FSRU Belawan di Medan, sebagai alternatif mengatasi krisis gas bagi industri di Sumatera bagian utara.
Sekretaris Perusahaan PGN Ridha Ababil menjelaskan, awal 2009, perseroan mengkaji beberapa alternatif, di antaranya mencari pasokan gas dari lapangan sekitar dan membangun infrastruktur pipa. Tapi pilihan ini tidak ekonomis karena pasokan gas tidak banyak.
Alternatif yang dinilai paling memungkinkan adalah membangun terminal penerima gas alam cair (LNG) dan unit regasifikasi. Lantaran permintaan kecil, dirancang infrastruktur terapung yang bisa dipindahkan ke tempat lain menurut kebutuhan. "Bukan infrastruktur di darat, melainkan off shore."
Saat itu, PGN melirik potensi gas dari Bontang di Kalimantan Timur dan Tangguh di Papua. Rencana berlanjut dengan melakukan prastudi kelayakan, studi kelayakan, hingga order ke Hyundai. "Karena ini mendesak, sambil mencari pasokan gas, kami membangun FSRU," Ridha menambahkan. Pembangunan FSRU Belawan ditetapkan melalui Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 2011 tentang pembangunan terminal penerima terapung LNG.
Rencana membangun FSRU Belawan berantakan ketika Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan menyetujui proposal Pertamina untuk merevitalisasi kilang LNG Arun menjadi fasilitas regasifikasi pada Maret 2012. Proyek akan jalan setelah kontrak ExxonMobil Oil Indonesia di Arun rampung pada 2014. Pertamina akan mengintegrasikan dengan pemasangan pipa dari Arun ke industri di Sumatera Utara.
Karena itu, FSRU Belawan direlokasi ke Lampung. PGN juga diminta memperkuat infrastruktur pipa gas di wilayah itu. Biaya yang telah dikeluarkan PGN untuk menyiapkan pembangunan FSRU Belawan, sekitar US$ 12,5 juta, akan dimasukkan ke biaya proyek revitalisasi Arun dan pemasangan pipa Arun-Sumatera Utara.
Dahlan menjelaskan, revitalisasi Arun dilakukan untuk memanfaatkan fasilitas yang telah ada. "Sudah ada investasi di sana, mengapa harus membangun yang baru?" Kedua, alasan politis, yaitu melakukan pembangunan di Aceh. Supaya penduduk lokal yang selama ini bekerja di kilang Arun tetap bisa bekerja setelah Exxon Arun tutup nanti. Ketiga, pipa Arun-Medan sebagai bagian dari jaringan atau transmisi pipa gas akan menjadi aset negara yang berharga.
Masalahnya, seorang sumber bercerita, revitalisasi Arun termasuk proyek yang mahal. Biaya revitalisasi kilang, US$ 70 juta, masih wajar. Tapi kebutuhan investasi untuk pemasangan pipa Arun-Medan diperkirakan mencapai US$ 500 juta, bengkak dari perkiraan semula US$ 300-an juta. "Apakah masih ekonomis?" ujar sumber itu. Bandingkan, kata dia, bila rencana pembangunan FSRU Belawan oleh PGN berlanjut, kebutuhan investasi tambahan hanya US$ 250-an juta. Besar-kecilnya investasi ini akan mempengaruhi harga gas bagi konsumen.
Direktur Gas Pertamina Hari Karyulianto menolak bila proyek gas Arun dikatakan mahal. "Enggak. Arun kan sudah ada fasilitas. Sudah ada storage, hanya ada perbaikan sedikit, semua ditenderkan." Ia menyebutkan untuk pekerjaan EPC kilang dan owner cost—biaya yang ditanggung sendiri seperti biaya penyiapan proyek—tidak lebih dari US$ 100 juta.
Gunung menambahkan, proyek pemasangan pipa membutuhkan biaya US$ 500 juta karena ada penambahan pipa dan kompresor. Panjang pipa yang semula 270 kilometer meningkat menjadi 350-an kilometer. Termasuk biaya perizinan dan pembebasan lahan.
Perkiraan akan mahalnya proyek regasifikasi dan pemipaan Arun telah mengemuka dalam diskusi tentang krisis gas di Sumatera Utara, yang diselenggarakan Tempo di Medan, Februari lalu. Acara itu dihadiri para pemangku kepentingan, termasuk perwakilan pemerintah provinsi, Pertamina, PGN, dan kalangan industri pengguna gas.
Sekretaris Daerah Provinsi Sumatera Utara Sumatera Utara Nurdin Lubis berjanji membantu membebaskan lahan untuk proyek pipa Arun-Belawan. Saat ini pemerintah provinsi telah memberikan izin prinsip pembangunan jaringan pipa kepada Pertagas. Pada 6 Maret lalu, tim pemerintah provinsi telah turun ke lokasi di perbatasan Langkat-Aceh untuk menyiapkan, jika sewaktu-waktu pembebasan dilakukan.
Selanjutnya, Nurdin menjelaskan, izin lokasi akan diterbitkan jika perencanaan Pertagas sudah matang. Kewenangan provinsi cuma mengeluarkan izin prinsip dan izin lokasi. Sedangkan penentuan harga tanah akan dibicarakan bersama Pemerintah Provinsi Aceh, Kabupaten Langkat, Kota Binia, dan Kota Medan. "Kami berharap harga tanah tidak naik," ujarnya.
Dahlan Iskan tetap optimistis proyek Arun akan berjalan tepat waktu. Peningkatan biaya investasi dibanding perencanaan, menurut dia, merupakan hal wajar. Apalagi bila perkiraan atau asumsi telah lama dibuat. Ia mengaku tak paham perincian proyek gas Arun karena pembangunan infrastruktur itu merupakan aksi korporasi. "Prinsipnya, meski melonjak, selama masih feasible, tidak ada masalah. Atau bila dinyatakan tidak feasible, korporasi harus membuat action. Detailnya saya belum tahu."
Bagaimana bila biaya investasi yang mahal berdampak terhadap harga gas bagi konsumen industri? Selain industri, pengguna utama gas nantinya adalah pembangkit listrik milik PT PLN (Persero) di Medan dan Aceh. Pokok-pokok perjanjian kerja sama (HoA) telah diteken Karen Agustiawan dan Direktur Utama PLN Nur Pamudji dalam Konferensi dan Pameran Internasional Indonesia Gas (Indogas) Keenam di Jakarta, 21 Januari 2013.
Dalam perjanjian itu, kedua perusahaan negara ini menyepakati biaya regasifikasi di kilang Arun US$ 1,2-1,6 per million British thermal unit (mmbtu). Ongkos angkut alias toll fee dari kilang regasifikasi ke pembangkit nantinya akan ditetapkan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas). Bila biaya transportasi US$ 1 per mmbtu, berarti harga gas yang harus dibayar PLN sebesar US$ 2,6 per mmbtu.
Gunung menjelaskan, perusahaan berusaha mengoptimalkan biaya agar ongkos transpor bisa diterima PLN. Sedangkan bagi industri di Sumatera Utara, ia berharap ada kebijakan harga khusus dari pemerintah.
Hari menambahkan, yang utama adalah bagaimana upaya agar proyek rampung menurut target, yakni sekitar Juli 2014. Salah satunya, memastikan pasokan gas. Saat ini terminal Arun telah mendapatkan kepastian pasokan LNG sebesar 105 mmscfd dari kilang Tangguh, Papua, yang sebelumnya dialokasikan ke Sempra, Amerika Serikat.
Arun akan mendapat tambahan gas dari alokasi gas domestik. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral telah membagi gas untuk infrastruktur gas domestik tahun 2013-2025. Proyek Arun pada tahap awal akan mendapat 8 kargo, kemudian pada 2016 meningkat menjadi 16 kargo hingga 2025.
Selain dari Tangguh, rencananya pemerintah akan menggunakan gas dari Lapangan Jangkrik dan North East Jangkrik di Blok Muara Bakau yang dioperasikan ENI. Ladang ini akan memasok 14 kargo pada 2016, sedangkan pada 2017-2022 sebesar 18 kargo per tahun. Kemudian turun pada 2023 menjadi 7 kargo dan pada 2024-2025 turun lagi menjadi 4 kargo.
Potensi gas lain berasal dari Indonesia Deepwater Development (IDD), yang dioperasikan Chevron. Proyek IDD di Selat Makassar akan memasok 50 kargo pada 2017-2019. Pasokan akan turun menjadi 30 kargo pada 2020-2021, kemudian turun lagi menjadi 16 kargo pada 2022, dan turun lagi menjadi 10 kargo pada 2023.
Hari mengatakan Pertamina sedang memperjelas pasokan gas, berkoordinasi dengan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Perseroan juga memastikan pasar, baik dari Medan maupun Aceh, yang bisa menyerap tambahÂan alokasi gas. Sebab, pasokan gas ke pembangkit PLN kira-kira hanya 105 mmscfd.
Proyek Arun, menurut Hari, tidak semata-mata merevitalisasi, tapi menghidupkan kembali Arun sebagai motor ekonomi daerah. Sebab, PT Arun NGL akan tutup pada 2014, setelah kontrak LNG habis. "Infrastruktur gas dipakai. Ada sekolah, klinik, rumah sakit, semua tetap jalan. Bayangkan kalau Arun mati, karyawan tidak dapat bekerja." Karena itu, kata dia, proyek Arun menjadi prioritas Pertamina, mengingat nilainya yang strategis.
Anggota Komisi Energi dan Sumber Daya Mineral DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Bambang Wuryanto, menegaskan, revitalisasi Arun harus sesuai dengan fungsi proyek Arun sebelumnya, yakni menjamin pasokan gas bagi industri lokal. Dari sisi bisnis, ia meminta pelaksanaan revitalisasi dibuka secara transparan. Komisi Energi DPR akan meminta Pertamina menjelaskan keekonomian dan kelayakan proyek yang total nilainya hampir mencapai US$ 600 juta atau sekitar Rp 5,8 triliun itu.
Retno Sulistyowati, Bernadette Christina Munthe, Sahat Simatupang (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo