Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Akhirnya Warisan Kolonial itu Dirombak

Pemerintah akhirnya menyerahkan rancangan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ke parlemen. Ada kemajuan, tapi tak sedikit pula kemunduran.

17 Maret 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA rancangan undang-undang yang sudah digagas hampir setengah abad itu akhirnya masuk parlemen juga. Di depan anggota Komisi Hukum, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsuddin membacakan keterangan Presiden tentang RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). "Penyusunan KUHP nasional yang baru bertujuan menggantikan KUHP warisan pemerintah kolonial Belanda," kata Amir dalam rapat kerja dengan anggota Dewan tersebut. Kedua RUU itu merupakan inisiatif pemerintah.

Buku KUHP yang berlaku sekarang sebagian besar merupakan terjemahan dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie. Peraturan pidana itu berlaku di Hindia Belanda pada 15 Oktober 1915. Melalui Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958, KUHP berlaku di seluruh wilayah Indonesia. Upaya merevisi KUHP sebenarnya sudah dimulai sejak 1964. Menurut catatan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), pemerintah Indonesia setidaknya sudah 13 kali membuat rancangan revisi KUHP. Kendati berkali-kali masuk Program legislasi nasional, kedua rancangan tersebut urung dibahas karena berkasnya tak kunjung dikirim pemerintah.

Rancangan ke-13 RUU KUHP sebenarnya sudah beredar pada awal 2000-an. Sebelum sampai di DPR, draf tersebut bolak-balik dari kantor kepresidenan ke kantor Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pada 11 Desember 2012, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya mengirimkan RUU KUHP—bersama RUU KUHAP—ke DPR. Menurut Amir, pembaruan KUHP ini bukan sekadar tuntutan zaman dan perlunya kodifikasi hukum pidana, melainkan ada misi lebih luas. "Antara lain demokratisasi hukum pidana," katanya.

KUHP baru ini memang tak hanya berfokus pada perbuatan pidana dan segala akibatnya, tapi juga—ini yang lebih maju—mempertimbangkan kondisi individual pelaku tindak pidana. RUU ini menjelaskan lebih terperinci hal-hal yang bisa memberatkan dan meringankan hukuman pelaku pidana.

Sementara KUHP lama membedakan kejahatan dan pelanggaran, RUU KUHP tak lagi membedakan kedua kategori tindak pidana itu. Maka RUU KUHP hanya dibagi dalam dua bagian, bukan tiga bagian seperti KUHP lama. Buku pertama berisi pasal-pasal tentang ketentuan umum pidana, sedangkan buku kedua berisi pasal-pasal tentang tindak pidana dan hukumannya.

Kendati masih menganut asas legalitas, yakni seseorang hanya bisa dihukum bila ada aturan yang dilanggar, rancangan KUHP juga mengakui pemidanaan berdasarkan hukum tak tertulis. Dengan catatan, hukum adat atau kebiasaan di masyarakat itu tak bertentangan dengan Pancasila, hak asasi manusia, dan prinsip hukum umum yang diakui masyarakat dunia.

Rancangan baru juga mengatur korporasi sebagai subyek hukum pidana. Dengan begitu, perusahaan yang meraup keuntungan dari hasil kejahatan juga bisa dihukum. Aturan ini sebenarnya mengadopsi ketentuan dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup dan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Rancangan KUHP juga mengatur hukuman alternatif di luar penjara dan denda. Yang benar-benar baru adalah pidana pengawasan dan pidana kerja sosial. Kedua jenis hukuman ini bisa menjadi pengganti bagi terpidana yang tak bisa menjalani hukuman penjara atau membayar denda. Misalnya bagi anak yang berumur di bawah 18 tahun atau orang tua uzur di atas 70 tahun.

Untuk kejahatan luar biasa, rancangan KUHP masih mencantumkan ancaman hukuman mati. Hanya, hukuman mati tak lagi menjadi pidana pokok, tapi diatur dalam pasal tersendiri. "Itu untuk menunjukkan pidana mati betul-betul bersifat khusus dan upaya terakhir," kata Amir.

Agar ancaman hukuman mati ini pemakaiannya tak "diobral", RUU menegaskan pidana mati selalu diancamkan secara alternatif dengan hukuman seumur hidup atau penjara maksimal 20 tahun. Nah, bila dalam masa percobaan terpidana memperbaiki diri, pidana mati bisa diganti dengan pidana penjara seumur hidup. Semua perubahan itu dicantumkan dalam buku pertama rancangan KUHP.

Adapun buku kedua menguraikan berbagai tindak pidana serta ancaman hukumannya. Di samping menggabungkan buku kedua dan ketiga KUHP lama, bagian ini menampung hampir semua pasal pidana yang tercecer di berbagai undang-undang khusus. Yang "dicaplok" antara lain ketentuan pidana pada Undang-Undang Antikorupsi, UU Antiterorisme, UU Pencucian Uang, UU Hak Asasi Manusia, dan UU Perlindungan Anak. Buku kedua rancangan KUHP juga mencantumkan tindak pidana yang bersumber dari sejumlah konvensi dan statuta internasional. Misalnya tindak pidana penyiksaan, kejahatan perang, dan kejahatan genosida.

Dengan banyaknya pasal baru yang ditampung, rancangan KUHP memang tambun, dari 569 pasal pada KUHP lama menjadi 766 pasal. Tapi, menurut peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan, banyaknya pasal itu tak bisa disebut otomatis indikasi kemajuan. "Itu kan hanya ambil sana, salin sini," kata Arsil, peneliti senior lembaga tersebut.

Dari sisi perlindungan bagi warga negara biasa, menurut Arsil, rancangan KUHP pun tak banyak membawa kabar baik. Sebaliknya, yang terlihat justru meningkatnya ancaman hukuman bagi warga negara. Itu, misalnya, bisa dilihat dari pencantuman ancaman hukuman minimal dan penambahan hukuman maksimal dalam banyak pasal. "Ada kecenderungan rancangan ini lebih represif," ujar Arsil. Dia mencontohkan bertambahnya jumlah pasal pencemaran nama baik dan penghinaan terhadap pejabat negara. Pasal-pasal itu, kata dia, jelas mengancam kebebasan berekspresi dan kebebasan pers.

Ihwal ancaman terhadap kebebasan pers, misalnya, tim dari Aliansi Jurnalis Independen pernah melakukan penelitian pada 2007. Kala itu, tim AJI mencatat ada penambahan pasal yang bisa menyeret wartawan ke penjara, dari 36 pasal pada KUHP lama menjadi 49 pasal pada Rancangan KUHP. Termasuk tambahan tersebut, antara lain, delik penyebarluasan paham komunisme, Marxisme, dan Leninisme melalui media, yang diancam hukuman tujuh tahun penjara. Hingga draf akhir diserahkan pemerintah ke DPR, pasal-pasal yang disoroti AJI itu masih bercokol.

Rancangan KUHP juga memasukkan pasal yang oleh sejumlah pengamat hukum disebut "pasal aneh". Salah satu yang paling disorot adalah "pasal santet". Diatur dalam pasal 293, di situ disebutkan, orang yang mengaku memiliki kekuatan gaib untuk menyantet (menyebabkan sakit, penderitaan, atau kematian) dan menawarkan jasa santet kepada orang lain bisa diancam hukuman lima tahun penjara atau denda Rp 300 juta. Anggota Komisi Hukum DPR, Didi Irawady Syamsuddin, misalnya, menilai pasal itu ganjil. "Bagaimana membuktikannya? Itu malah bisa membuat orang main hakim sendiri," katanya.

Karena banyaknya pasal yang harus dibahas, termasuk pasal kontroversial itu, sejumlah pihak ragu akan kesiapan DPR menyelesaikan pembahasan Rancangan KUHP. Menurut peneliti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Miko S. Ginting, DPR periode ini hanya punya waktu 19 bulan untuk membahas undang-undang. Itu pun tahun depan mereka sudah sibuk pemilihan umum. Padahal, pada saat bersamaan, pemerintah juga menyorongkan tiga rancangan undang-undang yang berkaitan, yaitu RUU KUHAP, RUU Kejaksaan Agung, dan RUU Mahkamah Agung. "Perlu kedisiplinan ekstra anggota Dewan," ucap Miko.

Menurut Miko, DPR harus punya terobosan dalam membahas keempat rancangan undang-undang itu. Misalnya, DPR tak lagi memakai metode pembahasan pasal demi pasal. DPR bisa membahas berdasarkan pengelompokan materi, isu, atau masalah. Dengan begitu, bila satu kelompok masalah telah dibahas, pasal lain tinggal menyesuaikan. "Sistem cluster lebih masuk akal," ujar Miko.

Anggota Komisi Hukum dari PDI Perjuangan, Eva Kusuma Sundari, mendukung usul membahas rancangan empat undang-undang dengan pendekatan cluster. Eva pun sudah menyampaikan gagasan itu dalam rapat minifraksi. "Tapi yang lain belum mendukung," ucapnya.

Bila KUHP dan KUHAP baru bisa diselesaikan pada periode ini, menurut Eva, DPR periode mendatang tinggal menyelaraskan undang-undang khusus di luar KUHP. Sebaliknya, bila pembahasan molor sampai DPR periode ini bubar, pembahasan rancangan undang-undang itu, kata Eva, bisa kembali ke titik nol.

Jajang Jamaludin


Mencoba Lebih Manusiawi

DIBANDING Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana lebih mendapat sambutan hangat dari para pegiat hak asasi dan pendukung reformasi hukum pidana. "Konsepnya lebih progresif," kata peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Rachmad Maulana Firmansyah, pekan lalu.

Ada sejumlah perubahan mendasar dalam Rancangan KUHP yang berpotensi lebih melindungi hak tersangka dan terdakwa. Perubahan itu bisa mengurangi kesewenang-wenangan aparat dalam penyidikan dan penuntutan. Itu, antara lain, berkaitan dengan hubungan penyidik dan penuntut umum (polisi). Selama ini kerap terjadi bolak-balik pengembalian berkas pemeriksaan antara jaksa dan polisi. Proses semacam ini juga membuka celah bagi terdakwa untuk bermain mata dengan polisi atau jaksa. Polisi dan jaksa juga bisa menahan-nahan perkara agar tak masuk pengadilan.

Dalam Rancangan KUHAP, bolong semacam ini ditutup. Hubungan jaksa dan polisi dirancang berlangsung sejak penyidikan hingga persidangan. Sewaktu penyidik memberi tahu penuntut umum dimulainya penyidikan, penuntut umum harus memberi petunjuk soal informasi dan bukti apa yang harus dikumpulkan. Petunjuk tak perlu tertulis. Boleh lisan, pesan pendek, telepon, atau surat elektronik.

Bila perkara sudah masuk pengadilan, jaksa tak perlu memboyong berkas acara pemeriksaan yang dibuat penyidik ke pengadilan. Jaksa cukup membawa berkas dakwaan dan penuntutan. Tapi, bila dalam persidangan diperlukan tambahan bukti, jaksa bisa meminta tambahan polisi.

Rancangan KUHAP juga memperkenalkan adanya hakim pemeriksa pendahuluan. Wewenang hakim ini, antara lain, menentukan sah-tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, atau penyadapan; menangguhkan penahanan; dan menetapkan ganti rugi atau rehabilitasi bagi korban salah tangkap atau salah tahan.

Hakim pemeriksa juga berwenang menetapkan layak atau tidaknya suatu perkara dilanjutkan ke tahap penuntutan di pengadilan. Bila jaksa tak menuntut sebuah perkara, misalnya, kemudian terjadi desakan dari masyarakat untuk menuntut perkara itu, jaksa bisa merujuk pada penetapan hakim pemeriksa. Sebaliknya, bila ditemukan bukti baru, perkara bisa diajukan lagi ke hakim pemeriksa agar penuntutan bisa kembali dilakukan. Dengan adanya hakim ini diharapkan tak ada lagi kesewenang-wenangan. Misalnya membui seseorang hanya lantaran mencuri sandal jepit.

Hakim pemeriksa diangkat presiden atas usul ketua pengadilan tinggi untuk masa dua tahun. Selama menjabat, hakim pemeriksa dibebaskan dari tugas mengadili semua jenis perkara. Agar lebih mudah berhubungan dengan tersangka, hakim pemeriksa berkantor di rumah tahanan negara atau dekat rutan.

Perubahan penting lain yang tercantum dalam RUU KUHAP adalah masalah penahanan. Selama ini penyidik bisa menahan tersangka selama 20 hari. Tapi, sejak Indonesia meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights, ketentuan itu dengan sendirinya bermasalah. Soalnya, konvensi itu hanya membolehkan penyidik menahan paling lama 2 x 24 jam. Selanjutnya, hanya hakim yang bisa memperpanjang masa penahanan.

Dalam Rancangan KUHAP, masa penahanan oleh penyidik memang tak sesingkat standar internasional, tapi telah dipangkas menjadi lima hari. Aturan lainnya: begitu penahanan melewati 2 x 24 jam, penyidik harus memberitahukannya kepada penuntut umum.

Yang juga diatur dalam rancangan ini adalah soal penyadapan oleh penyidik. Pada dasarnya penyadapan dilarang, kecuali terhadap pembicaraan yang berkaitan dengan tindak pidana serius, seperti kejahatan terhadap keamanan negara, penculikan, korupsi, dan terorisme.

Penyadapan juga hanya bisa dilakukan atas perintah tertulis atasan penyidik, setelah mendapat izin hakim pemeriksa pendahuluan. Pengecualian izin hakim hanya diberikan dalam keadaan mendesak. Itu pun harus dilaporkan kepada hakim melalui penuntut umum dalam waktu 1 x 24 jam.

KUHAP baru ini juga memperkenalkan sistem penuntutan dan penyelesaian perkara di luar pengadilan. Dengan alasan demi kepentingan umum, misalnya, penuntut umum bisa menghentikan penuntutan baik dengan syarat maupun tanpa syarat. Syaratnya, antara lain, tindak pidana tergolong ringan, umur tersangka di atas 70 tahun, dan kerugian sudah diganti.

Ketentuan ini bisa berlaku dalam kasus penipuan atau pencurian yang ancaman hukumannya maksimum empat tahun penjara. Pencuri setandan pisang, misalnya, tak perlu dituntut ke pengadilan bila telah membayar kerugian dan berdamai dengan korbannya. Ini sejalan dengan semangat restorative justice, yang mengutamakan pemulihan hak korban ketimbang menghukum pelaku. "Rancangan KUHAP ini memang mendapat sambutan positif dari kalangan pegiat HAM," ujar anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat, Eva Kusuma Sundari.

Jajang Jamaludin


Jalan Panjang Dua aturan

Perlu waktu hampir setengah abad untuk menyiapkan revisi KUHP, warisan pemerintah kolonial Belanda itu, hingga masuk Senayan. "Saudara kembar"-nya, KUHAP, yang buatan lokal, juga turut dirombak.

1881
Pemerintah Belanda membuat kodifikasi hukum pidana, Nederlandsch Wetboek van Strafrecht (WvS). Sebelumnya, Belanda memakai Code Penal Prancis.

Mei 1848
Hukum acara pidana Belanda, Herziene Indonesisch Reglement, berlaku.

1 September 1886
Kodifikasi WvS Belanda berlaku.

15 Oktober 1915
WvS berlaku di Hindia Belanda.

1 Januari 1918
WvS berlaku untuk semua golongan hukum di Hindia Belanda.

26 Februari 1946
WvS diadopsi sebagai hukum pidana positif Indonesia dan berlaku untuk wilayah Jawa-Madura.

8 Agustus 1946
WvS berlaku di wilayah Sumatera.

29 September 1958
Melalui Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958, KUHP berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia.

11-16 Maret 1963
Seminar Hukum Nasional I merekomendasikan penyusunan Rancangan KUHP untuk mengganti KUHP warisan Belanda.

1964
Rancangan KUHP I disusun.

1968
Rancangan KUHP II disusun.
Seminar Hukum Acara Nasional mengenalkan Rancangan KUHAP.

1971-1977
Rancangan KUHP III, IV, dan V disusun.

1974
Rancangan KUHAP diserahkan kepada Sekretariat Negara.

1979
Dibentuk tim pengkaji hukum pidana untuk menyusun Rancangan KUHP VI.
Pemerintah menyerahkan Rancangan KUHAP ke DPR.

1980-1985
Pembahasan intensif lewat lokakarya dan seminar untuk menyusun Rancangan KUHP VII dan VIII.

23 September 1981
KUHAP disahkan dalam rapat paripurna DPR.

1999
Rancangan KUHP XII disiapkan untuk diserahkan ke DPR.

Desember 2010
Naskah akademis Rancangan KUHAP selesai disusun.

2013
Presiden menyerahkan Rancangan KUHP XIII ke DPR.
Presiden menyerahkan Rancangan KUHAP ke DPR.

Perbandingan

KUHP/Rancangan KUHP
Tiga buku/dua buku 569 pasal/766 pasal

KUHAP/Rancangan KUHAP
Satu buku/satu buku 286 pasal/285 pasal

Salah Satu Kontroversial (Pasal Santet)

Pasal 293 Ayat 1 Rancangan KUHP
"Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental, atau fisik seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus