Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Terhimpit Luar-Dalam

Rupiah makin loyo dalam sebulan terakhir. Tak mudah mencari obat mujarab.

28 Maret 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rupiah kini seperti petinju yang terpojok di ring. Loyo dihujani banyak pukulan, mulai dari tingginya inflasi dan tingginya permintaan korporasi akan dolar, hingga keputusan Komite Pasar Terbuka Federal Reserves (FOMC) yang menaikkan suku bunga Federal Fund. Dalam satu bulan terakhir, nilai tukar rupiah terhadap dolar telah susut 1,73 persen. Pada perdagangan Kamis pekan lalu, rupiah ditutup pada Rp 9.410 per dolar AS.

Inflasi diyakini banyak pihak sebagai penyebab pemegang rupiah mulai ketar-ketir. Bisa dibilang, suku bunga riil rupiah sudah negatif. Jika seorang nasabah menempatkan dananya di Sertifikat Bank Indonesia (SBI), ia akan memperoleh bunga 7,44 persen. Pendapatan si nasabah bakal menyusut karena inflasi tahunan kini sudah 7,15 persen. Apalagi, jika sang pemilik uang hanya menyimpannya dalam bentuk deposito yang bunganya lebih rendah.

Ancaman juga datang dari sektor korporasi. Sejumlah perusahaan besar, baik korporasi pelat merah seperti Pertamina dan PLN, maupun yang swasta semacam Astra, sering kali memborong uang hijau dari pasar. Lonjakan permintaan dari sektor korporat acap kali terjadi di akhir triwulan atau semester. Pada saat itu sektor korporat dalam negeri biasanya harus melunasi utang yang jatuh tempo.

Pertamina disebut-sebut sebagai korporasi yang paling haus dolar. Sebagai perusahaan yang harus menyediakan bahan bakar minyak (BBM) untuk dalam negeri, Pertamina membutuhkan dolar dalam jumlah tak kepalang, baik untuk membeli minyak mentah ataupun mengimpor BBM dalam bentuk jadi. Saat harga minyak mentah di pasar dunia berkisar US$ 24 hingga US$ 30 per barel, Pertamina harus mencari dolar sedikitnya US$ 600 juta per bulan.

Bisa dibayangkan berapa banyak dolar yang dibutuhkan Pertamina untuk berbelanja BBM di kala harga minyak kini berkisar di atas US$ 50 per barel seperti sekarang ini. Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah mengungkapkan, kini setiap hari Pertamina menyedot dolar sekitar US$ 200 juta per hari. ?Itu sangat mengganggu,? katanya.

Pekan lalu, Burhanuddin pun menemui Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Sugiharto. Kedua pejabat tinggi itu sepakat mengatur pembelian valuta yang dibutuhkan oleh BUMN. ?Ini bukan pembatasan, hanya pengaturan saat pembelian,? ujar Sugiharto. Bank Indonesia, misalnya, meminta agar Pertamina mencicil pembelian dolarnya. ?Kalau bisa, ya sekitar US$ 30-40 juta per hari,? kata Burhanuddin.

Langkah itu diperkirakan tak akan efektif. Ketika The Fed menaikkan suku bunganya 25 basis poin menjadi, 2,75 persen pada Rabu pekan lalu, pukulannya langsung bergaung hingga ke Indonesia. Rupiah diperkirakan bakal terus tertekan, apalagi jika laju inflasi pada Maret nanti tinggi gara-gara kenaikan harga BBM pada awal Maret silam. ?Siapa yang mau memegang uang yang nilainya susut?? ujar Farial Anwar, pengamat pasar uang dari Currency Management Group.

Obat generik untuk menghadang laju inflasi, apalagi kalau bukan mengerek suku bunga. Namun, yang dilakukan Bank Indonesia dalam setahun terakhir justru menurunkan suku bunga 42 basis poin. Ini berkebalikan dengan yang dilakukan The Fed yang justru menaikkan suku bunga pada saat yang sama sebesar 175 basis poin. Tak mengherankan jika gencetan dolar AS terhadap rupiah kian terasa.

Baru belakangan Bank Indonesia mulai menaikkan suku bunga, tapi dosisnya masih sangat terbatas. Sejak Desember 2004, bank sentral baru menaikkan suku bunga satu basis poin. Memang, tak mudah menaikkan suku bunga. Jika memilih kebijakan moneter yang ketat, Bank Indonesia sendiri yang terkena imbasnya, yakni membayar bunga lebih tinggi. Jangan lupa, BI kini tak berhak lagi menyalurkan kredit. Penerimaan yang diperoleh BI saat ini hanya berasal dari penempatan uang di sejumlah bank di luar negeri.

Selain itu, efek bola saljunya bisa memukul sektor riil yang sudah mulai bangkit. Pergerakan dunia usaha yang membaik bisa terpental kembali ke bawah. Sebaliknya, jika BI membiarkan suku bunga rendah, rupiah yang bakal terus tertekan.

Ada obat mujarab lain, yakni intervensi di pasar uang. Burhanuddin pekan lalu mengakui bahwa BI telah mengintervensi pasar selama berpekan-pekan. ?Kami mengintervensi pasar bukan untuk menjaga rupiah di level tertentu, tetapi untuk meredam gejolak.? Namun, banyak pihak yang tak yakin gejolak rupiah akan bisa diredam dengan berbagai instrumen tadi.

Thomas Hadiwinata, Tempo News Room

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus