Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PLUS Expressway Berhad sudah lama berniat masuk proyek jalan tol Cikampek-Palimanan. Tepatnya sejak berlangsung Infrastructure Summit, November tahun lalu, di Jakarta. Anak perusahaan Khazanah Nasional Berhad—semacam badan usaha milik negara—asal Malaysia ini berhasrat menguasai 55 persen saham PT Lintas Marga Sedaya, pemegang konsesi jalan bebas hambatan sepanjang 116 kilometer itu.
Ruas itu menarik bagi Expressway karena merupakan yang terpanjang dari proyek tol Trans-Jawa. ”Kami hanya memilih yang terbaik untuk investasi,” kata Direktur Pelaksana Expressway Datuk Idrose Mohamed, seperti dikutip The Star.
Belakangan, animo Expressway untuk masuk terhadang silang pendapat tentang aturan hukum. Parlindungan Simanjuntak, anggota Badan Pengatur Jalan Tol dari pemerintah, akhir Maret lalu mengatakan Lintas belum bisa menggandeng Expressway karena terganjal Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang kerja sama pemerintah dengan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur.
Peraturan itu menyebutkan pembelian saham oleh perusahaan lain tidak diperbolehkan apabila ruas jalan tol belum beroperasi. Namun Lintas Marga punya pendapat lain. Penjualan bisa dilakukan karena ruas Cikampek-Palimanan ditenderkan pada 1997. ”Jadi jauh sebelum peraturan baru berlaku,” kata Stefanus Ginting, Komisaris Lintas Marga.
Masuk akal. Tapi Plus butuh kepastian, bukan polemik. Perusahaan negeri jiran itu tidak ingin ada masalah dengan pemerintah baru di kemudian hari. ”Itu bisa mencoreng nama Khazanah,” kata sumber Tempo.
Nama-nama besar di belakang konsorsium Lintas Marga tak cukup meyakinkan Expressway. Padahal ada PT Bukaka Teknik Utama milik keluarga Jusuf Kalla, PT Interra Resources Tbk. milik Edwin Soeryadjaya dan Sandiaga S. Uno, serta PT Bhaskara Lokabuana milik Henry Pribadi. Konsorsium berharap sebagian besar pembiayaan ruas tol tadi datang dari Expressway. Rupanya Lintas Marga ”kejar setoran” karena waktu pembiayaan proyek berakhir pada 16 Juni 2007.
Apa akal? Peraturan diubah. Menurut sejumlah sumber Tempo di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, kantor Sekretariat Wakil Presiden mengajukan usul agar disiapkan peraturan baru untuk merevisi Peraturan Presiden. ”Peraturan itu difinalkan di Bappenas,” kata Parlindungan.
Draf peraturan baru itu mencantumkan bahwa seluruh ruas jalan tol Trans-Jawa harus ”diselamatkan” dari peraturan lama. Di antara 19 ruas yang ada, tiga ruas—Cikampek-Palimanan, Ciawi-Sukabumi, dan Pasuruan-Probolinggo—”kebetulan” melibatkan Bukaka. Bila peraturan baru bisa gol, tentu Expressway bisa lenggang kangkung masuk proyek jalan tol itu.
Namun pertengahan April lalu draf itu kandas di meja Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Ibu Menteri menolak bila proyek tol yang terbengkalai diteruskan dengan cara merevisi Peraturan Presiden. Muhammad Abduh, staf khusus wakil presiden, punya pendapat berbeda. Dia ingin peraturan presiden yang baru dikeluarkan. ”Alasannya agar ada kejelasan buat pemodal yang ingin berinvestasi di proyek tol,” kata sumber Tempo.
Abduh memang diminta Jusuf Kalla mengawasi semua proyek infrastruktur. ”Terutama kalau ada yang macet,” kata Kalla dalam sebuah wawancara dengan Tempo, Mei lalu. Karena itulah Abduh giat mengusahakan agar semua proyek jalan tol yang mangkrak segera berjalan lagi.
Buntu. Akhirnya, setelah dua jam rapat yang penuh silat lidah pertengahan April lalu, Jusuf Kalla memutuskan penjualan saham Lintas Marga kepada Expressway cukup dengan dasar surat keputusan Menteri Pekerjaan Umum. Argumen Kalla, proyek ditenderkan pada 1997, sehingga tidak diatur oleh Peraturan Presiden Nomor 67/2005 ataupun Keputusan Presiden Nomor 7/1998 tentang infrastruktur.
Berdasarkan fatwa Kalla, Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto menyatakan penjualan saham kepada Expressway bisa dilanjutkan. ”Pokoknya jalan terus,” katanya Selasa lalu.
Namun, Expressway beranggapan surat keputusan menteri belum cukup aman. ”Mereka ragu apakah keputusan menteri tidak melanggar peraturan presiden,” kata Roestam Sjarief, Sekjen Departemen Pekerjaan Umum, kepada Rieka Rahardiana dari Tempo.
RUAS tol Cikampek-Palimanan, yang ditaksir bakal menelan investasi Rp 7 triliun, semula dibagi menjadi tiga: ruas Sadang-Subang dikerjakan PT Concord Benefit Enterprises Tbk., Subang-Dawuan digarap PT Bhaskara Lokabuana, dan Dawuan-Palimanan dibangun PT Interra Resources Tbk. Krisis ekonomi membuat proyek macet. Baru lima tahun lalu kegiatan pembangunan berlanjut.
Bukaka masuk ruas Sadang-Subang lantaran Concord dinyatakan pailit oleh Mahkamah Agung. Bukaka adalah pemenang cadangan pertama ketika proyek pertama kali ditenderkan.
Ternyata proyek terlunta-lunta. Pada Februari 2004, sebagai regulator, Jasa Marga meminta Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Soenarno mencabut konsesi ketiga investor. ”Kondisi keuangan ketiganya tidak memenuhi syarat,” kata Syarifuddin Alambai, Direktur Jasa Marga saat itu.
Iklim politik berganti. Lampu hijau menyala lagi. Departemen Pekerjaan Umum, di bawah menteri baru, Djoko Kirmanto, meminta ketiga perusahaan itu melanjutkan proyeknya. Pada Februari 2005, Menteri Djoko menyetujui penggabungan pengerjaan tiga ruas itu.
Pelaksananya perusahaan patungan PT Lintas Marga Sedaya, yang berdiri Maret 2005. Pemilik sahamnya Bhaskara Utama Sedaya sebesar 85 persen dan Jasa Marga 15 persen. Jasa Marga mendapat ”jatah” karena saat itu merangkap sebagai regulator.
Bhaskara Utama Sedaya dimiliki tiga pemegang saham—Gapura Buana, Bukaka, dan Saratogasedaya Utama, yang merupakan perusahaan induk Interra. Agar cocok dengan nama pemegang konsesi jalan tol Cikampek-Palimanan, Gapura menjual sahamnya kepada Bhaskara Lokabuana. Sedangkan saham Saratogasedaya dijual kepada Interra.
Lintas Marga Sedaya kemudian menandatangani perjanjian pengusahaan jalan tol pada 21 Juli 2006. Namun hingga kini perusahaan itu belum menyetor jaminan pelaksanaan, padahal jaminan harus disetor paling lambat dua pekan setelah perjanjian.
Berdasarkan dokumen pengawasan perjanjian yang diperoleh Tempo, Lintas Marga belum membuka rekening tanah, apalagi menyetor dana tanah tahap pertama Rp 25 miliar dan tahap kedua Rp 125 miliar. Pembiayaan proyek pun belum beres.
Surat peringatan tiga kali dikeluarkan oleh Departemen Pekerjaan Umum. Tak mempan, surat cedera janji dilayangkan oleh Pekerjaan Umum pada 16 Maret. Lintas Marga diminta menyelesaikan seluruh kewajiban paling lambat 16 Juni 2007.
Sambil menunggu kepastian, termasuk soal masuknya Expressway, pengusaha Edwin Soeryadjaya mengirimkan surat kepada Direktur Utama Jasa Marga Frans S. Sunito, yang ditembuskan kepada Jusuf Kalla. Dalam surat tertanggal 5 Maret 2007 itu, Edwin menyatakan minatnya membeli jalan tol Jakarta-Cikampek dan Palimanan-Kanci—dua jalur gemuk milik Jasa Marga. Surat itu dikirim hanya dua hari setelah Kalla memerintahkan Jasa Marga menjual ruas tolnya.
Edwin mengakui penawaran itu. Ia bermimpi menguasai tol Jakarta-Cikampek-Palimanan-Kanci. Tapi ia membantah suratnya disiapkan gara-gara Kalla memberikan perintah ke Jasa Marga. ”Itu hanya kebetulan,” kata Edwin.
Kritik muncul. Penawaran Edwin sebagai bos Saratoga semestinya disimpan dulu sebelum ia mengucurkan duit buat proyek Cikampek-Palimanan.
Yang menjawab kritik adalah Sandiaga S. Uno, Direktur Utama Lintas Marga dan mitra Edwin. Sandiaga membantah perusahaannya bermodal cekak. ”Lintas sudah siap,” katanya. Dia menunjukkan ada komitmen pinjaman dari Bank Mandiri dan BCA Rp 5 triliun. Kekurangan investasi Rp 2 triliun akan ditutup dari penerbitan saham baru yang ditawarkan kepada Expressway.
Masalah besar menghadang: penerbitan saham baru belum terlaksana karena di dalam konsorsium ada 15 persen saham Jasa Marga. ”Jasa Marga katanya mau lepas, tapi enggak jadi-jadi,” kata Sandiaga. Akibatnya, suntikan modal untuk Lintas Marga belum terlaksana.
Jasa Marga memang pernah berniat melepas sahamnya. Perusahaan milik negara itu beralasan tidak ingin menjadi pemilik saham minoritas. Kalaupun saham Jasa Marga dilepas, BUMN ini tidak akan mendapat sepeser pun dana masuk. Sebab, Bhaskara Utama dulu menalangi dana setoran awal saat perusahaan patungan didirikan. ”Sekarang komisaris Jasa Marga mempertanyakan hal itu,” ungkap sumber Tempo.
Frans Sunito meyakinkan tak ada masalah lagi sekarang. Komisaris dan direksi Jasa Marga sudah setuju menjual saham. ”Kini sedang diproses secara tertulis,” kata Frans. Namun, ia menampik tuduhan bahwa Jasa Marga menjadi biang keladi macetnya proyek tol.
Satu pertanyaan besar: jika kelak proyek tol jalan, dan Bukaka diuntungkan dengan beleid yang dibuat Wakil Presiden Jusuf Kalla, bukankah ini konflik kepentingan yang nyata?
Jusuf Kalla beranggapan ikut bermainnya Bukaka tidak harus menjadi masalah sepanjang prosesnya benar: melalui tender terbuka. Kepala Biro Prasarana Dasar dan Energi Sekretariat Wakil Presiden, Chairil Abdini, berpandangan serupa. Kantor Wapres, menurut dia, tidak pernah mengambil kebijakan khusus untuk kepentingan Bukaka.
Alhasil, tenggat 16 Juni kian dekat. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Paskah Suzetta mengatakan proyek bisa ditender ulang bila sampai tanggal itu tidak ada kemajuan ditunjukkan oleh Lintas Marga. Tapi, Sandiaga yakin bisa merampungkan seluruh kewajiban dalam satu-dua pekan. ”Begitu urusan dengan Jasa Marga selesai, Expressway langsung masuk,” katanya.
Apa pun, demi tata cara berpemerintahan yang baik, penyelesaian terbaik adalah tender ulang.
Yandhrie Arvian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo