DUNIA perbankan di Jakarta mengalami guncangan keras, sejak Paket Oktober diumumkan, Kamis dua pekan lalu. Beberapa bank papan bawah sempat terhuyung dibuatnya. Para deposan diam-diam menarik depositonya di bank, semata-mata karena khawatir, entah karena takut dipajaki, atau karena sebab lain. Pokoknya, mereka ingin menyelamatkan uangnya, sementara pihak bank, dengan berbagai cara, berusaha menahan dana itu dalam kas mereka. Akibat beruntun yang ditimbulkan Pakto ialah: deposan berlomba menarik depositonya, suku bunga call money melonjak, bank-bank terguncang, nasabah yang lain resah. Belum sempat Gubernur Bank Indonesia, Dr. Adrianus Mooy, bertindak, tiba-tiba satu guncangan lebih besar telah membuat keadaan kian runyam. Pasalnya, pada hari-hari menegangkan itu, ketika beberapa bank berkutat antara hidup dan mati, sehelai surat intern dari Astra Group tiba-tiba saja muncul ke permukaaan. Memo yang dikeluarkan salah seorang manajer keuangan Astra Graphia tersebut berisi perintah pada semua agennya -- ada kira-kira 5.000 kopi memo --agar tidak menerima pembayaran cek yang dikeluarkan oleh 11 bank yang namanya tercantum di situ. Bagi perusahaan-perusahaan besar, memo seperti itu memang biasa. Ini demi menjaga likuiditas. Mereka terdorong untuk selektif dalam menerima pembayaran. Kasarnya, angan sampal ada cek kosong masuk ke dalam kas. Celakanya, memo yang sangat rahasia itu jatuh pada pihak luar. Tak pelak lagi, kalangan bisnis menjadi resah. Apalagi setelah kabar itu beredar dari mulut ke mulut, yang akhirnya dilansir oleh surat-surat kabar. Banyak pedagang, di pusat-pusat perdagangan, menolak cek-cek yang disodorkan pembelinya. "Habis, saya takut, cek yang mereka bayarkan tidak bisa diuangkan," kata seorang pedagang elektronik di pasar Glodok. Ia berhati-hati, setelah munculnya desas-desus tentang beberapa bank, yang akan gulung tikar. Bank mana saja ? Pedagang yang omsetnya tidak pernah lebih dari Rp 6 juta sehari itu dengan lancar menyebutkan 11 bank yang dimaksud, yakni: Bank Umum Koperasi Indonesia (Bukopin), Bank Perniagaan Indonesia, Bank Umum Asia, Bank Susila Bakti, Bank Umum Majapahit Jaya, Bank Servitia, Bank Harapan Sentosa, Bank Artha Pusara, Anrico Bank, Bank Pertiwi, dan Marannu Bank. Grosir garmen dan tekstil yang ditemui TEMPO juga mengungkapkan hal serupa. "Kemarin, untuk sementara, saya terpaksa menolak cek Bank Umum Asia. Ini penting, untuk menghindari risiko yang paling buruk," kata seorang pedagang pakaian jadi. Mereka berjaga-jaga, waspada, tapi sudah berlebihan. Soalnya, tidak semua bank yang namanya tercantum berpenyakit kronis. Hanya tiga atau empat bank saja. Bank Pertiwi, misalnya, yang dua pekan lalu dilarang melakukan kliring oleh BI. Menurut surat yang diedarkan BI, Pertiwi pada 29 Oktober itu "kalah" karena tak dapat menutup saldo negatifnya. Seorang banklr mengatakan, kewajiban yang tak bisa dipenuhi mencapai Rp 30 milyar. "Itu terjadi karena Pertiwi terlalu banyak memberikan kredit pada anak-anak perusahaannya sendiri," ujar bankir tersebut. Menyuapi anak sendiri memang biasa. "Tapi, konyolnya, pengelolaan proyek-proyek itu tidak bisa dipertanggungjawabkan," katanya lebih lanjut. Joe Silinggar, Dirut Pertiwi -- juga Preskom di Bank Servitia, dan komisaris di Natin Bank, yang menanamkan Rp 15 milyar di PT Parwata Kencana, sebuah proyek perumahan mewah di Cibubur. Selain itu, rupiah-rupiah yang dapat dikumpulkannya dialirkan Rp 6 milyar ke PT Cipta Leasing. Sebanyak Rp 5 milyar lagi disalurkan ke sebuah perusahaan yang bergerak di bidang industri elektronik. Dan masih ditambah beberapa money changer -- seperti Multi Polar, Pamor Cipta, dan -- Panca Cipta, semuanya dikelola oleh keluarga Joe -- yang menyerap beberapa milyar rupiah lagi. "Terpaksa Pertiwi kami skors," kata Gubernur BI Adrianus Mooy. Sebuah sumber di BI mengemukakan, tindakan itu dilakukan karena sebelumnya Pertiwi sudah diperingatkan tiga kali. "Skorsing itu kami lakukan karena dalam pertumbuhannya Pertiwi tidak menunjukkan perbaikan," sambut Dahlan Sutalaksana, Kepala Urusan Pasar Uang dan Giralisasi BI. Bank Marannu juga tidak lebih baik. Berada pada peringkat ke-25 di antara 57 bank swasta nondevisa, Marannu sekarang diskors, karena tidak bisa memenuhi kewajiban-kewajibannya yang jatuh tempo. Penyakit Marannu memang sudah tampak ketika neraca per-Juni 1988-nya diterbitkan. Dengan hanya meraih untung Rp 147 juta (sebelum pajak), sisi pasiva dan neracanya menunjukkan adanya simpanan berjangka sebesar Rp 26,8 milyar, plus pinjaman Rp 36,4 milyar. Sementara itu, nilai uang kas, ditambah tagihan-tagihannya, hanya berjumlah Rp 25,2 milyar. Gubernur Mooy menyesalkan Pertiwi dan Marannu, yang tidak hanya menyandang kewajiban kepada para nasabah dan BI, tapi juga kepada bank-bank swasta lainnya. Nah, inilah yang dikhawatirkan nasabah bank lainnya, yang "punya urusan" dengan kedua bank tersebut. Seperti dikemukakan oleh pengamat perbankan Kwiek Kian Gie, "Jadinya, yang gawat bukan hanya Pertiwi dan Marannu, tapi juga bank-bank yang mempunyai piutang pada mereka." Kalau Pertiwi dan Marannu tidak segera bisa membereskan utang-utangnya terutama kepada sesama bank -- maka bank yang berpiutang pun likuiditasnya ikut terancam. Dalam saat-saat yang kritis itu, sebuah konsorsium yang beranggotakan 17 bank swasta siap menolong Marannu dan Pertiwi. Hanya belum jelas benar, bank mana saja yang menjadi anggota, dan apa yang akan dilakukannya. Yang pasti, "Usaha ini diharapkan akan dapat mencegah bank-bank lainnya dari akibat buruk yang ditimbulkan oleh Marannu dan Pertiwi," ujar Mooy. Kalau dikaji lebih dalam, munculnya memo intern Astra Group itu cukup beralasan. Apalagi bila diperhitungkan akibat berantai yang ditimbulkan olehnya. Maka, dianjurkan agar para pengusaha berhati-hati pada Bank Servitia dan Natin Bank -- di kedua bank itu, Presdir Pertiwi duduk sebagai komisaris. Di samping itu, juga diragukan Anrico Bank (tahun lalu laba yang diraih bank ini paling kecil, hanya Rp 22 juta). Bagaimana enam bank yang lain, Bukopin misalnya? Apa mungkin bank di peringkat kedelapan ini bisa jatuh? Sementara per Desember 1987, Bukopin, yang beraset Rp 414,2 milyar, bisa untung sampai Rp 9,5 milyar. Begitu pula Bank Perniagaan Indonesia, dan Bank Umum Asia -- anggota BCA Group. Tahun lalu, keduanya berlaba masing-masing Rp 1,74 milyar dan Rp 214 juta. "Saya tahu benar di antara 11 bank yang terdaftar itu lebih banyak yang sehat ketimbang yang sakit," kata T.A. Soetanto, Direktur Pemasaran Bank Pacific. Bank Harapan Sentosa (BHS) -- peringkat ke-20 -- dengan aset Rp 116,7 milyar, tahun lalu meraih laba Rp 373 juta. Ditambah Gajah Mada Plaza sebagai salah satu kekayaannya, apa mungkin BHS akan gulung tikar juga? Bagaimana Bank Arta Pusara (BAP), yang baru diambil alih oleh Panin Bank? "Dari kekurangan Rp 14 milyar, kami sekarang memiliki kelebihan dana Rp 3,5 milyar," ujar Bobby Sudarso, salah seorang direkturnya. BAP sempat terguncang, memang, tapi segera bisa diatasi. Jelas, bank yang sehat ternyata lebih banyak, sementara memo Astra menuduh semuanya sakit. Bos Astra Group, William Soeryadjaya, sangat menyesalkan hal itu. Katanya, memo itu beredar tanpa diinstruksikan. "Kami minta maaf yang sebesar-besarnya kepada masyarakat yang diguncangkan oleh kasus ini," ujarnya. Apakah cukup dengan permohonan maaf? Ternyata, tidak. Pimpinan 11 bank yang merasa telah dicemarkan Senin pekan ini berembuk, untuk mengambil tindakan balasan terhadap Astra. Mereka sepakat untuk menggugat Astra di meja hijau. Budi Kusumah, dan Moebanoe Moera
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini