PANEN raya jeruk di Kalimantan Barat tak lagi disambut gembira. Menjelang panen raya April-Juni mendatang, para petani waswas apakah harga jeruk akan jatuh lagi seperti biasa. Apalagi janji untuk menjamin harga dasar lewat tata niaga, yang diberlakukan sejak 1988, tak pernah terpenuhi. Memang, panen raya jeruk selalu membawa risiko pahit bagi petani. Jeruk kategori AB, yang dalam masa prapanen dihargai Rp 1.250 per kg, bisa cuma laku laku Rp 300 per kg pada saat panen raya. Padahal harga pokok Rp 323 per kg, hingga untuk tiap kg petani merugi Rp 23. Malah, kalau lagi nahas, harga jeruk bisa lebih rendah. Tampaknya, masalah oversupply yang menimpa cengkeh juga merongrong jeruk. Panen raya, yang menghasilkan 100.000 ton sampai 120.000 ton, tak seluruhnya bisa diserap pasar, hingga pedagang seenaknya saja menentukan harga. Mungkin karena itu pula, tata niaga jeruk yang diberlakukan sejak April 1988 tak kunjung berhasil menjamin harga dasar petani. Tiga pemegang tata niaga terdahulu, yaitu Pusat Koperasi Unit Desa (tahun 1988-1989), Asosiasi Pedagang Jeruk Kalimantan Barat (1989-1990), dan PT Humpuss (1990-1991), hanya sesumbar namun selalu gagal. Menjelang panen raya, ketiganya mundur dan membiarkan pedagang besar mempecundangi petani. Kini tinggal sebulan lagi menjelang panen dan suasana sudah mulai panas. Dua pekan lalu, 21 petani dan 4 pedagang dari Kabupaten Sambas menghadap ke DPRD Kalimantan Barat. Mereka mengimbau agar perdagangan jeruk di Kalimantan Barat dilepas kembali ke sistem pasar bebas. Soalnya, petani dan pedagang tak bisa lagi berhubungan langsung, tapi harus lewat pemegang tata niaga yang ditunjuk sejak Juli lalu, yakni PT Bima Citra Mandiri (BCM). Selain berhak menentukan harga, BCM juga berhak menentukan distribusi jeruk. Untuk petani, saat panen raya nanti mereka akan membeli jeruk dengan harga dasar Rp 600/kg untuk kategori AB, Rp 400/kg untuk C, Rp 200 untuk D, dan Rp 100 untuk E. "Kami pasti membeli semua jeruk dengan harga dasar yang ditetapkan. Saya menjamin," kata Direktur BCM, Joesoef Abdoellah. Ia yakin, dengan modal Rp 20 milyar, dan kredit 79 milyar dari Bank Internasional Indonesia (BII), BCM akan mampu menyerap 120.000 ton jeruk. Buat petani, itu memang berita baik. Sayang, masih berupa janji. "Sudah tiga kali tata niaga tapi semua sama saja. Waktu panen langka mau menolong, tapi saat panen raya dia lari," kata Lie Shin Fa, yang ikut menghadap DPRD. Petani ini kesal karena prinsip "ada barang ada uang" tak bisa dipegang lagi. "Menjual sendiri tak boleh, menjual ke TPK harus menunggu dulu satu bulan baru ada uang," gerutunya. Agaknya, itulah satu dari banyak risiko yang timbul, jika mata rantai perdagangan begitu panjang. Joesoef dari BCM boleh sesumbar, tapi ia lupa bahwa uang itu mampir dulu di KUD -- yang mengeluarkan surat jalan jeruk -- dan tidak langsung ke petani. Proses makin panjang karena antara 28 KUD -- yang ditunjuk BCM -- dan petani masih ada TPK (tempat pelayanan koperasi). Di TPK itulah, petani harus menyetorkan jeruknya. Tak pelak lagi, peluang membeli di bawah harga dasar tetap terbuka, biarpun BCM berjanji akan menerapkan harga dasar untuk jeruk yang kematangannya 70% sampai 80%. "Bisa saja kematangan jeruk jadi alasan untuk membeli di bawah harga dasar. Dulu, semua dibeli pedagang," kata Darmin, yang juga petani jeruk. Sampai sekarang memang belum ada persoalan, namun saat panen raya nanti, kisahnya bisa lain sama sekali. "Tiap panen raya memang harga anjlok. Kalau BCM bisa menahan harga, itu artinya menolong petani," kata Abu Hasan, seorang pedagang besar jeruk. Perusahaannya, CV Mekar Jaya, bersama PD Harapan Indah dan PT Segar Utama Raga sangat berperan mengendalikan perdagangan jeruk sebelum tata niaga. Dukungan mereka memang sangat diperlukan BCM. Jika Abu, yang punya 40 pintu gudang cold storage berkapasitas 2.500 ton jeruk dan 30 kapal cold storage, tak membeli jeruk dari BCM, jelas badan penyangga ini akan kewalahan. BCM yakin, ketiga pedagang besar itu bisa menyerap 60.000-80.000 ton jeruk. Sisanya akan disalurkan pada 29 anggota yang lain. Ternyata, tak semua pedagang siap membeli. Sembilan pedagang anggota Badan Pelaksana Koordinasi Tataniaga Jeruk (BPKTJ) sudah mundur lebih dulu. Kelompok ini melihat, harga yang ditetapkan BCM untuk pedagang terlalu tinggi. Soalnya, untuk tiap kilogram yang dibeli dari petani seharga Rp 600/kg, dikenakan biaya tambahan Rp 130. Selain itu, masih ada biaya Rp 5.500 tiap peti (25 kg) untuk bongkar muat, sewa gudang cold storage dan biaya angkutan kapal. Dengan harga sekitar Rp 23.750 per peti, tak semua pedagang yakin bisa menjualnya di pasar tanpa risiko rugi. Namun, BCM tidak serius menanggapi aksi mundur sembilan pedagang itu. "Ada oknum kami yang mundur supaya harga jatuh lagi dan mereka bisa mendapat untung besar," kata Joesoef. Ia yakin, harga yang ditetapkan BCM masih menjanjikan laba. Adapun biaya tambahan Rp 130 dibutuhkan untuk menutup komisi pada TPK sebesar Rp 70/kg, retribusi untuk KUD Rp 10/kg, dan retribusi Rp 10/kg untuk pemda, dan sisanya untuk biaya administrasi. Biaya yang Rp 5.500 itulah pos yang sesungguhnya bisa ditekan, asalkan pedagang tidak menggunakan gudang cold storage dan kapal cold storage. "Tapi alternatifnya harus mencari pasar baru yang bisa menyerap dengan cepat," katanya. Pasar baru yang dimaksud adalah Pulau Bangka, Belitung, Kucing, dan Brunei. Sebaliknya, bagi pedagang sekaliber Abu Hasan, harga tak menjadi masalah. "Masih tetap bisa untung, biarpun sekarang lebih kecil," kata Abu, yang mengaku sebelum ada tata niaga omsetnya bisa mencapai Rp 300 milyar per tahun. Dan ia yakin, saat panen raya sekalipun, satu peti jeruk masih bisa dilepas Rp 25.000. Soalnya sederhana, ia memiliki cold storage, yang membuat jeruk tidak busuk selama 40 hari. Liston P. Siregar dan Djunaini K.S. (Pontianak)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini