Kampus UGM berusaha mencari alternatif pemecahan bagi tata niaga cengkeh. Apakah BPPC akan terus mengemban misinya atau tugas itu dialihkan ke lembaga penyangga yang lain? Upaya membenahi tata niaga cengkeh tampaknya mendapat perhatian cukup besar dari kalangan universitas. Kampus Biru Universitas Gadjah Mada mulai mencoba mencarikan alternatif jalan keluar bagi masalah tata niaga cengkeh. Setelah mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) melancarkan aksi protes terhadap BPPC, Sabtu dua pekan silam, kini giliran Senat Mahasiswa UGM yang justru akan mengadakan penelitian ilmiah tentang tata niaga BPPC itu. Anis Baswedan, Ketua Senat Mahasiswa Universitas Gadjah Mada (SemaUGM), mengharapkan penelitian itu bisa menelurkan usul yang bersih tanpa harus mencoreng muka pihak yang bertanggung jawab (3 menteri) atau memperburuk tata niaga yang berlaku. Anis juga menjamin berkas penelitian SemaUGM itu kelak tidak akan mempermalukan BPPC. Alasannya sederhana: tata niaga cengkeh dianggap sudah lama kisruh sebelum adanya BPPC. Untuk memperlancar penelitian, Kamis pekan lalu, telah dibentuk sebuah tim beranggotakan 17 mahasiswa dari enam fakultas. Mereka akan dibiayai oleh UGM. Menurut Ketua Sema, ide penelitian tercetus awal Februari, jadi sebelum Ketua BPPC Hutomo Mandala Putera melontarkan usul pembakaran cengkeh di DPR, 26 Februari lampau. Lain lagi Kampus Kuning Universitas Indonesia, yang belum jelas sikapnya. Kumhal Djamil, Dirjen Perdagangan Dalam Negeri yang merangkap Ketua Badan Cengkeh Nasional kabarnya juga ingin agar UI ikut membahas masalah tata niaga cengkeh ini. Tapi belum ada rencana yang jelas sedangkan BCN sendiri juga belum tampak aktif. Dari pihak pemerintah, baru Departemen Pertanian dan BPS yang bergiat mensurvei pasok dan permintaan cengkeh secara nasional. Departemen Keuangan, yang selama ini terkesan pasif, mulai bergerak pula. Jumat pekan lalu, Menteri Muda Keuangan Nasruddin Sumintapura yang antara lain didampingi pejabat Bea & Cukai telah berdialog dengan pengurus Gappri (Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia), di antaranya Ketua Gappri, J.P. Soegiharto Prajogo dan wakilwakil dari pabrik kretek terbesar. Pertemuan Gappri dengan Departemen Keuangan sebenarnya sudah merupakan acara rutin, menjelang tahun anggaran baru yang dimulai 1 April. Namun, pertemuan kali ini agaknya sedikit istimewa. Selain yang menyangkut pembayaran cukai, topik pembicaraan dirahasiakan, begitu juga hasilnya. Soegiharto, yang biasanya murah informasi, kali ini lebih suka tutup mulut. Sumber TEMPO mengatakan, dalam pertemuan itu, pihak Departemen Keuangan dikatakan hanya mengambil posisi sebagai pendengar yang menampung berbagai keluhan Gappri. Apakah dalam kesempatan itu Menteri Nasruddin ada berpesan agar Gappri membeli cengkeh lebih banyak dari BPPC? Tentang hal yang satu ini tak ada yang bersedia menjelaskan, bahkan pihak pabrik kretek juga mengelak. Yang pasti, kalau semula Departemen Keuangan terkesan bisa memahami kesulitan pabrik rokok, kini lembaga ini juga harus memikirkan kepentingan dua bank pemerintah (BBD dan BRI) yang telanjur menyalurkan dana murah kepada BPPC. Seperti diketahui, selain menyalurkan kredit likuiditas Bank Indonesia (KLBI), kedua bank itu juga ikut mengucurkan kredit kepada BPPC. Jika cengkeh BPPC tidak diserap maka dana ratusan milyar dari kedua bank itu tentulah terancam macet. Tapi di atas semua keruwetan itu, Presiden Soeharto sudah menegaskan bahwa nasib petani harus dinomorsatukan. Kini di saat-saat BPPC mulai melempem -- akibatnya harga cengkeh jatuh sampai Rp 2.000 per kg -- belum ada titik terang bagi petani cengkeh yang sebagian berdasi itu. Lalu beredar isu bahwa peran BPPC akan dialihkan saja kepada Badan Urusan Logistik (Bulog). Berarti, akan ditangani langsung oleh pemerintah. "Usul ini antara lain pernah dikemukakan pakar ekonomi Kwik Kian Gie. Dalam hal ini saya setuju," kata Ketua Gappri. Masalahnya, apakah pemerintah akan setuju. "Usul ini sebenarnya pernah juga dikemukakan Menteri Sudomo beberapa tahun lalu," kata sumber dari Bulog. Kenyataan menunjukkan, BPPClah yang ditunjuk sebagai pelaksana. BPPC juga mendapat dukungan politik dari DPR. "Waktu itu kami melihat BPPC bisa menjadi contoh pelaksanaan Demokrasi Ekonomi. Di situ ada unsur swasta (PT Kembang Cengkeh Nasional), BUMN (PT Kerta Niaga), dan koperasi KUDKUD," kata Henry J. Sanggor, anggota DPR/MPR RI dari Fraksi ABRI. Bahwa dalam pelaksanaan kemudian terbukti ada beberapa kelemahan di pihak BPPC, hal ini agaknya di luar perhitungan banyak pihak. Kendati modal dan manajemennya lemah, stok cengkeh BPPC kuat. "Stok itu dimulai dari PT Sinar Utara Agung yang membeli 65.000 ton dengan kredit BNI dan BRI," kata seorang pengusaha asal Manado. PT Sinar Utara Agung didirikan oleh Tjia Eng Tek yang, menurut sumber TEMPO, semula berdagang pala kemudian melebarkan usaha dengan membeli saham bank dan hotel di Singapura. Dengan latar belakang semacam ini tak terlalu mengejutkan bila ada pejabat tinggi yang mempertanyakan misi BPPC, apakah benar-benar serius membela petani cengkeh. Belakangan terbetik kabar, BPPC ingin menunda pembayaran KLBI. Masalahnya berpangkal dari sebuah pabrik kretek terkemuka di Jawa Timur yang berniat membeli 20.000 ton cengkeh dari BPPC untuk penyerahan April mendatang. Tapi seorang pengurus BPPC berpesan, bila pembelian mau diungkapkan, "Bilang saja pesanan cuma 2.000 ton." Sampai Senin pekan ini, Kepala Urusan Penjualan BPPC Robby Sumampouw maupun pabrik rokok yang bersangkutan belum memberikan penjelasan. Dalam suasana yang serba tidak transparan itu, hasil penelitian Sema UGM -- yang berniat tidak mempermalukan BPPC -- mudah-mudahan tetap bisa membawa cendekiawan muda itu untuk lebih dekat pada kebenaran. Max Wangkar, Jalil Hakim (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini