Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Kecewa putera kemelut gappri

Pt hanjaya mandala sampoerna keluar dari keanggotaan gappri. alasannya, gappri tak lagi dapat membela kepentingan anggotanya. gappri usul agar pemerintah meninjau tarif cukai.

21 Maret 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENDADAK Putera Sampoerna muncul sebagai figur "sempalan". Melalui selembar surat tertanggal 11 Maret 1992, ia mengeluarkan PT Hanjaya Mandala Sampoerna (PT H.M. Sampoerna) dari keanggotaan Gappri (Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia). Salinan surat tersebut juga dikirimkan kepada Dirjen Aneka Industri, Dirjen Bea & Cukai, Ketua Badan Cengkeh Nasional, Ketua Umum BPPC, serta Ketua Gabungan Pabrik Rokok Surabaya. Pengunduran Sampoerna dari Gappri menjadi penting karena Putera Sampoerna telah cukup "vokal" mengkritik BPPC dalam Seminar Cengkeh Nasional di Manado, Februari berselang. Adalah ganjil sekali bahwa ternyata sikapnya yang lugas itu tidak sejalan dengan beleid Gappri. Bahkan, pengunduran Sampoerna mengesankan bahwa Putera berada di front tersendiri, sedangkan Gappri bertahan di front yang lain. Ada apa? Dalam suratnya yang hanya satu halaman, Putera menegaskan bahwa PT H.M. Sampoerna tidak melihat adanya keuntungan sebagai anggota Gappri. Katanya, Gappri tidak lagi dapat menyalurkan aspirasi anggotanya justru pada saat industri rokok berada dalam masa kemelut seperti sekarang. Menurut Putera, peran asosiasi -- sebagai jembatan antara pemerintah dan pengusaha -- sangat dibutuhkan. Putera tak luput memberi contoh. Ia menyebutkan bahwa hingga saat ini Gappri belum mengajukan usul-usul kongkret kepada Pemerintah. Padahal, dua pekan mendatang -- tepatnya 1 April -- Pemerintah biasanya memberlakukan peraturan baru terhadap cukai rokok. Di balik alasan itu, Putera sudah lama memendam kecewa kepada Gappri. Persisnya sejak Oktober 1991, ketika berbagai usulnya tidak diterima pengurus Gappri. Waktu itu ia menyarankan agar Gappri segera direorganisasi dan dikelola secara profesional. Ia pun memberi contoh Institut Riset Karet Malaysia, yang didirikan oleh industri perkebunan karet di sana. Dengan adanya lembaga model ini -- pasti lebih baik bila dilengkapi riset pasar -- kebutuhan anggota Gappri dengan mudah dapat dipenuhi. Tentang "pembangkangan" Putera Sampoerna, rupanya Gappri dapat memahami. "Itu kan hak asasi setiap anggota. Silakan saja, toh keanggotaan Gappri tidak mengikat," ujar Ketua Umum Gappri, J.P. Soegiharto Prajogo. Ia hanya menyayangkan sikap Sampoerna yang terburuburu. Kata Soegiharto bahwa usul-usul Putera seharusnya diajukan pada saat rapat umum anggota pada Juni depan. Selain itu, ia tidak dapat menerima pernyataan Putera yang menuduh Gappri tidak berbuat apa-apa untuk anggotanya. Jumat pekan lalu, pada saat Sampoerna sudah menyatakan keluar dari Gappri, pengurus besar Gappri (termasuk Direktur Sampoerna, Bambang Soelistyo) mengadakan pertemuan dengan Menteri Muda Keuangan di Jakarta. Topik pembicaraan adalah industri kretek menjelang diberlakukannya berbagai peraturan pemerintah pada April 1992. Tarif cukai merupakan topik yang banyak dibahas di situ. Gappri telah mengusulkan agar Pemerintah meninjau tarif cukai, misalnya untuk pabrik kecil yang total produksinya 50 juta sampai 750 juta batang per tahun. Gappri menyarankan agar Pemerintah membuat kelas yang baru, misalnya batasan untuk pabrik menengah diubah menjadi 750 juta hingga 2,5 milyar batang. Dengan begitu, kenaikan tarif cukainya tidak akan semahal dianggarkan Pemerintah. Gappri juga mengusulkan agar jangka kredit pembelian pita cukai diperpanjang dari tiga bulan menjadi empat bulan. Ini sangat penting, "terutama setelah Pemerintah mengaitkan pembelian cukai dengan pembelian cengkeh di BPPC. Biar bisa sedikit bernapas," kata Soegiharto. Dengan paparan semacam itu, Soegiharto berusaha menangkis tuduhan Putera yang menilai Gappri tidak berbuat apa-apa bagi anggotanya. Masalahnya mungkin, berbuat dalam pandangan Putera lain dengan berbuat seperti yang dirumuskan Gappri. Kalau memang begitu, tentu ada perbedaan persepsi. Budi Kusumah dan Jalil Hakim

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus