KAMPUNG halamanku kini semakin jauh," keluh seorang warga Jakarta, yang kampung halamannya di Manado. Mengapa gerangan? Soalnya, terhitung awal November depan, tarif angkutan udara akan dinaikkan 20%. Jadi, ongkos Jakarta-Manado, yang sebelumnya hanya Rp 235 ribu, dengan perubahan itu naik menjadi Rp 282 ribu. Berat, memang. Tapi bukan berarti Pemerintah tidak memikirkan kepentingan masyarakat pengguna jasa penerbangan domestik. Menurut Menteri Perhubungan Azwar Anas, ada dua faktor yang memaksa Pemerintah menaikkan tarif. Pertama, tarif pesawat dalam negeri di Indonesia sudah merupakan yang termurah. Dan faktor kedua adalah komponen, yang juga tak kalah pentingnya. "Berbagai komponen pesawat terbang yang diimpor harganya sudah lama naik," kata Menteri. Harga mesin Fokker F-27, misalnya, pada awal 1980-an masih 350 ribu dolar AS. Tapi tahun ini angka itu telah berubah menjadi 750 ribu dolar AS. Atau naik sekitar 114%. Begitupun dengan komponen lainnya -- ada 51 jenis komponen yang masih diimpor -- menunjukkan lonjakan yang cukup mencolok. Kalau ditotal, termasuk biaya asuransi dan pemeliharaan, ada sekitar 70% biaya operasional penerbangan domestik yang menggunakan mata uang dolar. "Sedangkan pendapatan yang kami peroleh kan berupa rupiah. Ini sangat memberatkan," kata Soelarto Hadisoemarto, Ketua Umum Indonesia National Air Carriers Association (INACA). Maka, Soelarto menyarankan agar kenaikan tarif jangan hanya dilihat dari naiknya komponen biaya yang menggunakan dolar. Tapi, menurunnya nilai rupiahterhadap dolar juga harus ikut dipertimbangkan. Maklum, sejak 1980, sudah terjadi dua kali devaluasi. Sedangkan untuk periode yang sama, kenaikan tarif domestik baru dilakukan satu kali -- pada awal 1987, sebesar 15O. Tak heran bila INACA menilai, kenaikan 20% masih jauh dari memadai, jika dibandingkan dengan lonjakan biaya yang terjadi. Lantas berapa layaknya? "Kami usul agar tarif 1982 diberlakukan lagi," kata Soelarto. Menurut dia, berdasarkan kurs dolar yang berlaku, tarif pada 1982 jatuhnya 12 sen dolar per seat per kilometer. Sedangkan tarif sekarang, kendati akan dinaikkan 20%, jadinya hanya 7,6 sen dolar per seat per kilometer. Atau dengan kata lain, kenaikan yang dituntut INACA hampir mendekati angka 100%. Tapi, "daripada tidak, ya, 20% pun lumayan," kata Soenarjo, Direktur Niaga Garuda. Memang, selama ini penerbangan domestik boleh dibilang kembang kempis. Penerbangan domestik terpaksa disubsidi oleh hasil penerbangan internasional. Bagaimana tidak? Tarif penerbangan lokal di Indonesia jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan tarif penerbangan lokal di negara-negara lainnya. Di Jerman Barat, misalnya, ongkos Frankfurt-Hamburg kalau dirupiahkan menjadi Rp 350 ribu. Sementara itu, untuk jarak yang sama di Indonesia, seperti Jakarta-Surabaya, hanya Rp 80 ribu. Perbedaan akan semakin tajam kalau menengok tarif di Jepang. Di sana, biaya terbang dari Tokyo ke Osaka 26.500 yen (sekitar Rp 331.250). Itu jarak tempuhnya sama dengan Jakarta-Semarang, yang tarifnya cuma Rp 61 ribu. Lantas bagaimana dengan perusahaan yang tidak memiliki jalur penerbangan internasional? Inilah yang bikin pusing kepala. Menurut Benny Rungkat, Wakil Presiden PT Bouraq Indonesia, kenaikan 20% hanya bisa digunakan untuk bertahan. Artinya, maskapai yang khusus melayani penerbangan domestik tak mungkin melakukan pengembangan dengan pendapatan yang pas-pasan. "Makanya, saya setuju dengan usul INACA" kata Benny. Budi Kusumah, Budiono Darsono, Seiichi Okawa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini