Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Faisal Basri menilai Indonesia hanya menikmati 10 persen keuntungan hilirisasi nikel. Menurutnya, keuntungan kebijakan itu justru lebih banyak mengalir ke Cina. Ia pun menguraikan perhitungannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Nilai tambah dinikmati pengusaha berupa laba, pemodal dalam bentuk bunga, pekerja dalam bentuk upah, pemilik lahan dalam bentuk sewa," ujar Faisal Basri dalam keterangannya, Jumat, 11 Agustus 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia menjelaskan hampir semua smelter nikel milik pengusaha Cina. Penyebabnya, pengusaha Cina mendapatkan fasilitas tax holiday. Alhasil, menurutnya, tak satu persen pun keuntungan itu mengalir ke Tanah Air.
Kemudian, hampir seratus persen modal berasal dari perbankan Cina. Dengan demikian, pendapatan bunga pun hampir seluruhnya mengalir ke Cina. Padahal, menurutnya, banyak di antara mereka yang bukan tenaga ahli, seperti juru masak, satpam, tenaga statistik, dan sopir.
Menurut ekonom senior dari Universitas Indonesia itu, kebanyakan tenaga kerja Cina menggunakan visa kunjungan bukan visa pekerja. Akibatnya muncul kerugian negara dalam bentuk iuran tenaga kerja sebesar 100 dolar AS per pekerja per bulan.
Banyak pula tenaga kerja Cina di smelter. Menurut catatannya, salah satu perusahaan smelter Cina membayar gaji antara Rp 17 juta hingga Rp 54 juta. Sedangkan rata-rata pekerja Indonesia hanya digaji jauh lebih rendah atau di kisaran upah minimum. Dengan memegang status visa kunjungan, ia memperkirakan pekerja-pekerja Cina itu pun tidak membayar pajak penghasilan.
Perusahaan smelter memang membayar pajak bumi dan bangunan, namun nilainya amatlah kecil. "Jadi nyata-nyata sebagian besar nilai tambah dinikmati perusahaan China," kata Faisal Basri.
Sementara nilai tambah yang dinikmati perusahaan smelter China semakin besar. Musababnya, mereka membeli bijih nikel dengan harga super murah. Ia menyebut pemerintah sangat bermurah hati menetapkan harga bijih nikel jauh lebih rendah dari harga internasional.
Berdasarkan harga rerata April 2021, Faisal Basri mengungkapkan penerimaan yang dinikmati oleh perusahaan tambang bijih nikel jauh lebih rendah dari harga patokan yang ditetapkan pemerintah atau harga patokan mineral (HPM) yang sudah relatif sangat rendah itu.
Adapun perusahaan tambang bijih nikel yang terdaftar mencapai 330. Antara lain 328 perusahaan memiliki izin usaha pertambangan (IUP) dan 2 lainnya memiliki kontrak karya (KK). Menurutnya, perusahaan tersebut tidak punya pilihan lain kecuali menjual bijih nikel kepada perusahaan smelter.
Selain itu, Faisal Basri menyebut perusahaan smelter mewajibkan perdagangan bijih nikel melalui trader dan perusahaan juga yang menunjuk perusahaan surveyor. Lalu, menurut dia, hampir semua pembeli hanya mau menggunakan Anindiya W K dan Carsurin untuk pelaksanaan jasa verifikasi di titik bongkar (discharging).
"Betapa istimewa posisi perusahaan smelter Cina tercermin dari fakta tersebut," ucapnya.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo atau Jokowi membantah hasil perhitungan Faisal Basri. Jokowi meyakini Indonesia mendapatkan banyak keuntungan karena hilirisasi tersebut. Dia mengklaim nilai ekspor nikel melonjak tajam dari Rp 17 triliun menjadi Rp 510 triliun pasca kebijakan hilirisasi.
"Bayangkan saja kita hanya ambil pajak, ambil pajak dari Rp17 triliun sama ambil pajak dari Rp 510 triliun, gede banget," kata Jokowi di Stasiun LRT Dukuh Atas, Jakarta Pusat, Kamis, 10 Agustus 2023.
Jokowi menyebut pemerintah akan mendapatkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penghasilan (PPh) badan, PPh karyawan, PPh perusahaan, royalti, bea ekspor, Penerimaan Negara Bukan Pajak dengan jumlah lebih besar dari proyek hilirisasi tersebut.
RIANI SANUSI PUTRI | M JULNIS FIRMANSYAH
Pilihan Editor: Jokowi Bantah 90 Persen Keuntungan Hilirisasi Nikel Mengalir ke Cina, Faisal Basri Beberkan Datanya