KEPAKAN sayap Garuda ke luar negeri, yang digalakkan sejak 1984, empat tahun kemudian membuahkan hasil. Majalah Fortune terbitan 1 Januari 1990 menampilkan Garuda Indonesia pada peringkat 31 dari 50 maskapai penerbangan dunia yang performancenya dinilai sepanjang tahun 1988. Penilaian itu berdasarkan penghasilan, keuntungan, dan frekuensi penerbangan. Meskipun berada di nomor 31 -- berarti cukup jauh di bawah Singapore Airlines (peringkat 22) dan Thai International (peringkat 27) yang sesama kelompok ASEAN -- namun masih setingkat di atas Sabena (Belgia, peringkat 32) dan UTA (Prancis, 35). Sejak 1984 juga, Garuda mulai bisa tersenyum. Pada 1985, ia mampu memperkecil kerugian hingga tinggal US$ 33 juta dari US$ 65 juta beban tahun sebelumnya. Bahkan akhir tahun lalu, ia meraup untung hampir Rp 240 milyar, dan dinyatakan sebagai BUMN yang paling banyak mengumpulkan duit di jajaran Departemen Perhubungan. Melayang ke mancanegara tampaknya memang menyenangkan. Itu bisa dilihat dari posisi sumber pendapatan Garuda saat ini. "Sekitar 85% dari jalur luar negeri, 15% dari dalam negeri," kata Soeparno, bekas Dirut Garuda. Menurut Direktur Niaga Garuda Indonesia, Sunarjo, tambang emas itu masih terbatas di kawasan Asia Pasifik. Jalur gemuknya nomor satu adalah jalur Bandara SoekarnoHattawNarita (Tokyo). Garuda terbang 12 kali seminggu ke Negeri Sakura itu. Dengan tingkat pengisian kursi 85% sekali terbang, dalam setahun ia mampu menjual 416.000 tiket. Peringkat kedua jalur Hong Kong. Dengan 10 kali penerbangan setiap minggu, Garuda ditumpangi 370.000 penumpang per tahun. Australia juga termasuk lahan subur. Lintasan yang diterbangi 19 kali seminggu ini mendatangkan 543.000 penumpang per tahun. Karena kursinya cuma laku 75% sekali jalan. Tambang emas terakhir jalur Jakarta-Taiwan-Korea Selatan. Dengan lima kali terbang setiap minggu, 105.000 tiket terjual tiap tahun. Sebaliknya, penerbangan ke Amerika dan Eropa adalah neraka bagi Garuda. Di kedua jalur ini ia babakbelur. Untuk menutup biaya operasi penerbangan ke Amerika, 90% kursinya harus terisi setiap terbang. Nyatanya, "paling banyak cuma 60%," keluh Sunarjo. Itu sebabnya, Soeparno, pernah berteriak, "Ini killing fields." Meskipun sudah banting harga, rugi tetap tak bisa ditolak. Begitu pula nasib Garuda di jurusan Eropa. Dua tahun silam jalur ini sempat menguntungkan, meskipun sedikit. Waktu itu 71% kursi terisi. "Tapi sekarang cuma 68%." Padahal, menurut Soeparno, titik impasnya mesti 70%." Banyak faktor yang membuat Garuda terengahengah pulangpergi ke Eropa dan Amerika. Diakui oleh Soeparno bahwa killing fields itu merupakan kawasan persaingan yang ketat. Akhir 1991 Garuda bentrok dengan Singapore Airlines (SIA). Meski terikat dalam sebuah perjanjian kerja sama, belakangan Garuda merasa kecolongan -- gara-gara SIA -- sampai Rp 1 trilyun. Soalnya, SIA diperbolehkan menggunakan Airbus 300 dan Boeing 747-400 untuk mengangkut penumpang ke Jakarta 13 kali dalam sepekan. Garuda mengimbanginya dengan Airbus-310 dengan empat kali terbang sehari atau 28 kali seminggu. Bahkan, pada Desember 1990, SIA diperbolehkan mengoperasikan B 747-400 tiga kali seminggu. Baru satu tahun kemudian, Garuda menyadari SIA tidak cuma terbang Jakarta-Singapura, tapi terus melayang ke Amerika, Eropa, dan Tokyo. Akibatnya, selama dua tahun, separuh pangsa pasar Garuda di tiga rute tersebut lari ke SIA. Tambang emas Garuda di Asia Pasifik pun tak luput dari ancaman megacarriers itu. Majalah South terbitan Mei 1991 menulis, di masa mendatang sebuah maskapai penerbangan baru dianggap "menang perang" apabila berhasil menguasai kawasan AsiaPasifik. Tiap tahun, lalu lintas udara di kawasan ini akan mengalami laju pertumbuhan lebih dari 10%, sementara kawasan lain kurang dari 10% per tahun. Tentu saja Garuda tak tinggal diam. Di samping memperluas kerja sama dengan maskapai penerbangan di lingkungan Asia Pasifik, Garuda juga, misalnya, melipatgandakan kelas eksekutif dan penggunaan kartu kredit Amex. Perjalanan para turis asing di Indonesia pun diurus oleh Aerowisata, anak perusahaan Garuda yang menyumbang keuntungan hampir Rp 29 milyar dari seluruh keuntungan Garuda Indonesia Group tahun lalu itu. Bicara tentang kompetisi di udara, dari sekarang sudah diperkirakan akan semakin seru. Untuk menghadapinya, beberapa perusahaan berkongsi. Singapore Airlines, misalnya, beraliansi dengan Delta Airlines dari AS dan Swissair Airlines dari Swiss dengan saling membeli saham 5%. Dan supaya tak terpental dihajar megacarriers, Garuda juga menjajaki aliansi dengan maskapai penerbangan di Eropa. Sir Colin Marshall, pimpinan eksekutif British Airways sudah mengingatkan, "Inilah jenis industri yang mengharuskan Anda menjadi besar atau kerdil sama sekali." Dan bagi Garuda, sukses atau gagal, itulah tantangannya di jalur internasional. Priyono B. Sumbogo dan Dwi S. Irawanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini