CERITA-CERITA menyebalkan tentang perusahaan asuransi, yang mengecewakan nasabahnya, mungkin tidak akan banyak terdengar lagi. Senin pekan silam, tepatnya 13 Januari 1992, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baru saja menyelesaikan tugas yang mengharuskan lembaga ini teliti dan hati-hati. Soalnya, mereka baru saja menyetujui Rancangan Undang-Undang Usaha Perasuransian menjadi Undang-Undang. Sejak itu, bisnis perasuransian di negeri ini memasuki sebuah tatanan baru. Dalam tatanan itu, usaha asuransi harus mematuhi aturan main yang lengkap dan rapi. Padahal, sebelum ini, usaha asuransi tunduk pada ketentuan yang berserakan, baik dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang maupun dalam Surat Keputusan Menteri Keuangan. Tak salah memang, jika RUU Usaha Perasuransian dianggap sangat mendesak untuk segera disahkan menjadi UU. Apalagi sektor ini masih perlu diperkuat, khususnya menghadapi perkembangan ekonomi di dalam negeri. Setidaknya dalam dua tahun terakhir, lembaga, yang ikut menghimpun dana masyarakat itu, mulai diperhitungkan. Terutama, sejak ada pengetatan likuiditas sehingga dana-dana perbankan tidak leluasa diandalkan untuk memenuhi kebutuhan investasi. Sebenarnya RUU Usaha Perasuransian ini sudah lama dipersiapkan. Namun, tertunda-tunda, dan baru diserahkan ke DPR Maret 1991. Menurut Menteri Keuangan, J.B. Sumarlin, keterlambatan itu karena Pemerintah baru mau mengajukannya, setelah yakin bahwa undang-undang tersebut benar-benar mampu mendorong perkembangan usaha asuransi. "Jadi, tidak benar Pemerintah bermaksud menunda RUU tersebut," ujar Sumarlin. Dengan UU Perasuransian, berarti kini tinggal tiga RUU yang menunggu pengesahan dari DPR, yakni Perbankan, Dana Pensiun, dan Pajak Penghasilan (perubahan atas UU No. 7/1983). Ada beberapa hal yang menarik dari UU Perasuransian. Bila dikaji satu persatu, UU, yang terdiri dari 28 pasal itu, pada intinya mencakup soal kebebasan bergerak bagi usaha asuransi, perlindungan terhadap pemegang polis dan spesialisasi bidang usaha asuransi. Sayangnya, untuk asuransi sosial, seperti Asuransi Tenaga Kerja (Astek), sampai saat ini masih harus dipegang pemerintah (lihat box). Melalui UU baru ini, perusahaan asuransi tampaknya akan memperoleh banyak manfaat. Mereka, misalnya, sekarang lebih leluasa bergerak, terutama dalam memilih badan hukum. Ambil contoh badan hukum berbentuk Usaha Bersama (mutual) -- di mana pemegang polis otomatis menjadi pemilik. Jadi, selain Persero, Koperasi, dan Perseroan Terbatas, pemerintah mengizinkan pendirian perusahaan asuransi dengan bentuk badan hukum Usaha Bersama. Memang, ketentuan itu dapat dikatakan terlambat. Karena, 80 tahun sebelum UU ini sah berlaku, Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumi Putera sudah beroperasi. Jadi, Usaha Bersama tersebut akan diatur dengan UU tersendiri. Dengan diakuinya Usaha Bersama sebagai badan hukum, berakhir pula monopoli Bumi Putera. "Silakan saja, biar kami ada bandingan," ujar Direktur Keuangan dan Invetasi Bumi Putera, Suratno Hadisuwito. Selain pasal-pasal, yang memberi keleluasaan bagi dunia usaha, UU juga memberi kebebasan kepada masyarakat menentukan sendiri penanggungnya. Tentu saja, pasal tersebut sempat membuat bank dan perusahaan asurasi khawatir. Kekhawatiran itu wajar. Karena, jika si debitur menentukan sendiri, boleh jadi yang dipilih adalah perusahaan asuransi gurem. "Nah, kalau kreditnya tidak dibayar, apa perusahaan asuransi itu bisa bayar," ujar Vice President BII, Hidajat Tjandradjaja. Menurut Hidajat, pasal itu sebaiknya dipersempit saja. Maksudnya, si debitur bebas memilih perusahaan asuransi, yang disodorkan oleh bank. Perusahaan asuransi lain lagi kekhawtirannya. Direktur Utama Asuransi Bintang, B. Munir Syamsoeddin, memperhitungkan bahwa kebebasan itu membuka peluang bagi masyarakat menutup asuransi di luar negeri. Toh, kemungkinan itu sudah diantisipasi oleh para perumus. Masih dalam UU itu, dikatakan bahwa kebebasan memilih harus memperhatikan kemampuan perusahaan asuransi. Dan yang penting lagi, perusahaan asuransi itu harus berdomisili di Indonesia. Jadi, klop. Perlindungan terhadap nasabah, dalam UU ini ternyata mendapat porsi yang cukup besar. Hampir setengah dari pasal-pasal di UU baru itu, pada dasarnya ditujukan untuk melindungi pemegang polis. Pasal 20, misalnya, menyebutkan bahwa Menteri Keuangan bisa meminta pengadilan untuk menyatakan suatu perusahaan asuransi pailit. Dan bila dilikuidasi (dinyatakan bangkrut), pemegang polis mendapatkan prioritas utama atas kekayaan perusahaan tersebut. Namun, nasabah belum tentu aman. Karena, UU belum mengatur, bagaimana bila yang pailit itu adalah perusahaan pialang asuransi. Hal yang berupa perlindungan bagi perusahaan asuransi, juga tidak dicantumkan di situ. Sejalan dengan itu, ruang gerak perusahaan asuransi untuk mempermainkan nasabah, makin dipersempit. Berbeda dengan ketentuan sebelumnya, kini, setiap pelanggaran terhadap peraturan mendapat ganjaran kumulatif, yakni denda dan pidana. Perusahaan, yang melakukan kegiatan perasuransian tanpa ijin, akan terkena pidana kurungan maksimal 15 tahun dan denda setingi-tingginya Rp 2,5 milyar. Ancaman serupa juga dikenakan kepada pelaku penggelapan premi. Sistem pengamanan seperti ini, tentu perlu. Jangan sampai sang nasabah kecewa karena ulah pengusaha asuransi, seperti yang pernah melibatkan PT Asuransi Jiwa Pura empat tahun silam. Ketika itu nasabah PT Asuransi Jiwa Pura tidak dapat mencairkan polisnya, yang sudah jatuh tempo. Diharapkan, dengan adanya UU Perasuransian yang baru ini, pengalaman nasabah yang naas, seharusnya tidak terulang lagi. Bambang Aji dan Iwan Qodar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini