Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Jepang minta berapa?

Produksi peleburan nikel pt aneka tambang di pomalaa belum terjual. karena tidak adanya kesepakatan harga calon pembeli di jepang. masalahnya harga menjadi urusan pt aneka tambang kantor pusat. (eb)

5 Juni 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SULAWESI, konon artinya "pulau besi". Dan memang mulai dari soroako (TEMPO, 8 Mei) hingga ke Pomalaa di jazirah Sulawesi Tenggara berbaris bukit yang mengandung bijih besi serta nikel. Di Soroako, perusahaan Kanada PT Inco yang mengerjakannya. Di Pomalaa perusahaan milik pemerintah PT Aneka Tambang. Untuk sampai di Pomalaa banyak jalan bisa ditempuh. Dengan kapal (oreship) dari Ujung Pandang 20 jam atau menyebrang dari Bajo E Bone ke Pomalaa dennan tugboat 9 jam. Atau naik saja pesawat Cessna dari Ujung Pandang ke Pomalaa cuma 1 jam dengan ongkos Rp 8000 per orang Sejak tahun 1963 PN (sekarang PT) Aneka Tambang sudah mulai bekerja di daerah ini. Walaupun belum aman karena masih dikuasai oleh gerombolan Kahar Muzakkar Pedoman Nelayan Tambang itu tidak lebih dari usaha pengerukan tanah bukit oleh traktor diangkat ke truk lalu dibawa ke pelabuhan yang hanya 2 kilometer dari tambang. Tanah yang mengandung nikel itu dikapalkan ke Jepang sejak tahun 1963 hingga 1972 ekspor bijih nikel ini meningkat mulai dari 12 ribu ton menjadi 838 ribu ton per tahun. Cadangan nikel berkadar tinggi ini cuma cukup untuk masa 10 tahun saja dihitung sejak tahun 1970 "Selama itu kita cuma menjual tanah air saja", kelakar ir Kosim Gandaatmadja. Kepala Proyek Pembangunan Pabrik Ferronikel Pomalaa Karena disadari persediaan bijih nikel berkadar tinggi sudah semakin tipis hingga tidak lagi bisa laku kalau diekspor, maka dirasa perlu untuk mendirikan pabrik peleburan bijih nikel sendiri Usaha peleburan di Polamaa ini bukan yang pertama kalinya ada di Sulawesi Selatan Tenggara. Penduduk Soroako sudah berpengalaman memasak batu untuk mendapatkan besi. Dari Sulawesi Tenggara, OBM (Oost Borneo Maatschapij) sampai PD II sudah mengekspor bijih nikel dari Tanjung Pakar (di selatan Pomalaa) sebanyak 150 ribu ton. Selama pendudukan Jepang, Jepang juga mendirikan pabrik peleburan bijih nikel menjadi nikkel matte (senyawa nikel dengan belerang). Runtuhan pabriknya masih ada sampai sekarang, tidak jauh dari pabrik peleburan nikel yang baru didirikan. Cerobong asap "Jepang" yang masih utuh berdiri, "menjadi pedoman bagi nelayan bahwa mereka sudah dekat ke Pomalaa". ujar seorang pimpinan pabrik peleburan Aneka Tambang. "Itu Urusan Pusat" Pabrik peleburan yang baru dibangun akhir 1973 dan selesai akhir tahun lalu. Dianggap selesai pada saat tanur listrik berkekuatan 20 Mega Watt dihidupkan akhir Nopember lalu. Pembangkit tenaga listriknya berkapasitas 5 kali 5800 KW. Sejak tanur dinyalakan, api tidak boleh padam dan harus menyala terus 24 jam sehari. Akhir Januari lalu lahirlah campuran nikel-besi buatan Indonesia yang pertama. Setelah dites sejak 14 April lalu pabrik mulai beroperasi secara komersiil dengan kapasitas 4000 ton nikel setahun. Karena upacara pembukaan diperkirakan akan makan uang banyak, sampai saat ini pabrik milik pemerintah itu belum dibuka secara resmi. Konon hingga sekarang ini belum satu gram nikel buatan pabrik itu yang terjual, karena belum diperoleh kesepakatan harga dengan calon pembelinya di Jepang. Berapa harga yang diminta fihak sana'? Ir Kosim tidak bersedia menjawab. "Itu urusan Pusat". Kesepakatan itu mungkin harus segera dicari. Sebab selama satu tahun produksi, tanur listrik itu akan mampu melahap 250 ribu ton bijih nikel kering (8% nikel) dan menghasilkan 20 ribu ton ferro-nikel (20% nikel) yang mengandung 4 ribu ton nikel. Dan itu harus bisa dijual, setidak-tidaknya untuk menutupi ongkos produksi yang setahunnya membutuhkan 10 ribu ton arang serta 22 ribu ton batu kapur. Belum lagi pembalngkit tenaga listrik yang membutuhkan 70 juta liter solar setahun, serta gaji karyawan pabrik sebanyak 630 orang. Di antaranya 20 konsultan Jepang. Sayangnya "orang-orang Pusat" yang dihubungi TEMPO untuk menanyakan berapa harga jual nikel Pomalaa, tidal mau memberi jawaban. Yang mestinya mengetahui harga itu-- dan mengapa belum ada kesepakatan harga dengan importir di Jepang -- tentunya Direktur Pemasaran PT Aneka Tambang. Departemen Pertambangan juga tidak dapat memberikan jawaban. Di sana yang ada hanyalah perkembangan harga nikel, tapi bukan harga jual nikel Pomalaa. Misalnya harga jual nikel yang tercantum dalam kontrak Pacific Nickel yang US$ 2,29 per pound, dan nikel PT Inco yang dijual dengan harga US$ 1,73 per pound. Perbedaan harga jual itu, tentunya karena perbedaan kadar nikel produksi kedua kontraktor itu. Sedang penerimaan pemerintah dari kedua perusahaan asing itu (pungutan, royalties, pajak, dan sebagainya) dihitung atas dasar harga nikel di pasaran dunia, yakni US$ 2,29 per pound. Kalau begitu, apa lagi yang ditunggu oleh PT Aneka Tambang?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus