BANK-BANK swasta nasional yang terhimpun dalam Perbanas sekarang
sudah mau melanglang buana. Sektor industri, distribusi dan
perdagangan internasional -- yang belum banyak dijamah bank
swasta nasional -- kini mau dilayaninya pula. Bahkan seorang
bankir swasta sudah kepingin membentangkan sayapnya ke luar
negeri "agar komisi yang tadinya jatuh ke tangan bank
koresponden, bisa masuk ke kas sendiri". Sementara fihak
pengurus Perbanas sendiri menghendaki agar arus modal asing yang
masuk kemari disalurkan lewat lembaga-lemhaga keuangan yang
bakal dibentuk. Itulah yang ramai dibicarakan dalam Kongres
Perbanas yanke-6 di Hotel Horison, Ancol, minggu lalu.
Tapi sebenarnya bagaimana keadaan bank-bank swasta nasional itu
sekarang ini? "Paling baik selama 25 tahun terakhir. Meskipun
ada juga yang belum sehat", sahut ketua umum Perbanas, Sarono
SH. Sementara Dr Panglaykim, presdir Sejahtera Bank Umum (SBU)
menambahkan: "dulu perbankan nasional lebih banyak dimiliki atau
dimasuki orang-orang parpol. Dewasa ini dapat dikatakan sudah
dikuasai kalangan bisnis. Meski begitu, kedudukan bank swasta
sekarang kebanyakan baru tingkat retailer, termasuk saya
sendiri".Senada dengan dia, adalah Josef Wantah, direktur Bank
Arta Pusara. Menurut dia, dari 92 bank anggota Perbanas yang
tingkat grosit baru dua-tiga bank saja. Selebihnya masuk kelas
pengecer.
Mati Lampu
Kendati demikian, di depan peserta kongres yang juga dihadiri
Gubernur Bank Sentral, ketua Perbanas mengucapkan terima kasih
atas fasilitas dan pembinaan dari pemerintah. Namun ketika
Sarono mengucapkan kata "pembinaan", mendadak sontak lampu di
ruang hotel mewah itu mati. Maka sewaktu Rachmat Saleh naik ke
mimbar untuk memberi sambutan, buru-buru dia memberi tanggapan
yang menggembirakan para bankir swasta. "Matinya lampu tadi
jangan dianggap pertanda berakhirnya pembinaan dari Bank
Sentral. Malah pembinaan akan lebih diintensifkan".
Memang, para bankir swasta itu mengerti betul apa yang telah
dilakukan oleh Bank Sentral. Terutama dorongan bagi bank-bank
swasta yang tadinya berjumlah ratusan itu untuk merger. Setelah
dirintis oleh merger Bank Panin tahun 1971, kini jumlah
bank-bank swasta sudah ciut menjadi 92 dengan 230 kantor cabang.
Di antaranya 6 bank devisa, yakni Bank Dagang Nasional
Indonesia, Bank Umum Nasional (BUN). Bank Bali, Panin Bank, Bank
Niaga dan Bank Pacific. Dilihat dari sudut jumlah, memang cukup
banyak. Juga bangunannya, tampak lebih meyakinkan. Beberapa
kantor pusat bank swasta yang berkedudukan di Jakarta malah
telah dirombak, dibangun lagi sampai bertingkat 8, kemudian
dipoles dan dipercantik.
Tapi itu baru kulit luarnya. Bagaimana tentang peranan para
anggota Perbanas itu? Hal itu diperinci oleh Gubernur BI dalam
sambutannya. Dana kredit yang disalurkannya telah menanjak dari
Rp 30,9 milyar di tahun 1973 menjadi Rp 104,7 milyar tahun lalu.
Dalam periode yang sama, modal bank swasta bertambah dari Rp 9,8
milyar menjadi Rp 35,6 milyar. Jadi naik dari 18,8% menjadi
19.3% dari seluruh modal sektor perbankan. Dan perlu dicatat
"bank-bank yang merger menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik",
kata Rachmat, "Baik dilihat dari segi volume usaha, pemberian
kredit maupun permodalannya".
Hanya 6,2%
Memang, prestasi bank-bank swasta itu tidak begitu jelek. Namun
jumlah kredit bank swasta nasional tahun 1975 itu baru 6,2% dari
seluruh kredit yang diberikan bank pemerintah plus bank asing.
Berarti turun 0,9% dari seluruh sektor perkreditan dibandingkan
dengan 1972. "Prestasi demikian", kata Mochtar Ryadi, yang
berbieara selaku dosen Akademi Ilmu Perbankan Perbanas,"tidak
terlepas dari struktur perekonomian negara kita". Kenyataannya,
75% dari seluruh kegiatan ekonomi dikuasai oleh
perusahaan-perusahaan negara. Menurut dia, itulah yang
menyebabkan bank-bank swasta nasional tidak berkembang
sebagaimana semestinya.
Tidak Adil?
Walaupun begitu, peranan bank swasta nasional tidak dapat
diremehkan. Sebab meskipun perekonomian sebagian besar dikuasai
PN-PN dan PT-PT milik pemerintah, kegiatan anggota Perbanas
tidak terlepas dari kerjasama dengan perusahaan swasta lainnya.
Khususnya perusahaan kecil dan sedangan. Ini jelas terlihat dari
hasil clearing, di mana cek atau bilyet giro bank-bank swasta
jumlahnya banyak. tapi nilainya masing-masing kecil. Sedang cek
dan giro bank pemerintah jumlahnya sedikit, tapi nilainya besar.
Juga hasil clearing bank-bank pemerintah banyak berasal dari
bank-bank swasta nasional.
Repotnya menurut dia, "ada perlakuan tidak adil dan pembatasan
yang disengaja oleh pemerintah terhadap bank swasta nasional".
Atau dengan kata lain, terlalu banyak fasilitas diberikan kepada
bank pemerintah, sebaliknya terlalu sedikit fasilitas untuk bank
swasta. Misalnya, hampir semua bank swasta yang sehat ingin
menjadi bank devisa, tapi kabarnya akan dibatasi sampai 10 saja.
Pemerintah membatasi bank swasta dalam membuka kantor cabang.
Sekalipun hanya ada 5 bank pemerintah yang komersiil, tapi punya
630 kantor cabang yang tersebar sampai ke pelosok-pelosok.
Sedang ke-92 anggota Perbanas memiliki 230 kantor cabang.
Pemerintah melarang bank swasta non-devisa melakukan jual-beli
valuta asing, tapi mengizinkan perusahaan non-bank seperti PT
Gunung Agung berdagang valuta asing (money changer).
Pembatasan-pembatasan tersebut menurut Mochtar Riady. dirut Bank
Central Asia, "merupakan penghalang- kemajuan bank swasta
nasional".
Suatu rentetan keluhan yang agaknya tak baru. Tapi hingga
sekarang belum juga dilayani oleh Bank Indonesia. Sekalipun
begitu Rachmat Saleh ada menjanjikan keringanan-keringanan
kepada para bankir swasta ini, kalau saja mereka lebih banyak
yang ingin merger. Menurut Gubernur B.I. itu penciutan jumlah
sampai 25 bank swasta adalah yang ideal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini