Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Kongres para pengecer

Kongres perbanas ke-6 di hotel horison, jakarta. menurut gubernur bank sentral rachmat saleh, kebanyakan bank swasta termasuk pengecer. penciutan dan pembinaan intensif dilakukan pemerintah. (eb)

5 Juni 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANK-BANK swasta nasional yang terhimpun dalam Perbanas sekarang sudah mau melanglang buana. Sektor industri, distribusi dan perdagangan internasional -- yang belum banyak dijamah bank swasta nasional -- kini mau dilayaninya pula. Bahkan seorang bankir swasta sudah kepingin membentangkan sayapnya ke luar negeri "agar komisi yang tadinya jatuh ke tangan bank koresponden, bisa masuk ke kas sendiri". Sementara fihak pengurus Perbanas sendiri menghendaki agar arus modal asing yang masuk kemari disalurkan lewat lembaga-lemhaga keuangan yang bakal dibentuk. Itulah yang ramai dibicarakan dalam Kongres Perbanas yanke-6 di Hotel Horison, Ancol, minggu lalu. Tapi sebenarnya bagaimana keadaan bank-bank swasta nasional itu sekarang ini? "Paling baik selama 25 tahun terakhir. Meskipun ada juga yang belum sehat", sahut ketua umum Perbanas, Sarono SH. Sementara Dr Panglaykim, presdir Sejahtera Bank Umum (SBU) menambahkan: "dulu perbankan nasional lebih banyak dimiliki atau dimasuki orang-orang parpol. Dewasa ini dapat dikatakan sudah dikuasai kalangan bisnis. Meski begitu, kedudukan bank swasta sekarang kebanyakan baru tingkat retailer, termasuk saya sendiri".Senada dengan dia, adalah Josef Wantah, direktur Bank Arta Pusara. Menurut dia, dari 92 bank anggota Perbanas yang tingkat grosit baru dua-tiga bank saja. Selebihnya masuk kelas pengecer. Mati Lampu Kendati demikian, di depan peserta kongres yang juga dihadiri Gubernur Bank Sentral, ketua Perbanas mengucapkan terima kasih atas fasilitas dan pembinaan dari pemerintah. Namun ketika Sarono mengucapkan kata "pembinaan", mendadak sontak lampu di ruang hotel mewah itu mati. Maka sewaktu Rachmat Saleh naik ke mimbar untuk memberi sambutan, buru-buru dia memberi tanggapan yang menggembirakan para bankir swasta. "Matinya lampu tadi jangan dianggap pertanda berakhirnya pembinaan dari Bank Sentral. Malah pembinaan akan lebih diintensifkan". Memang, para bankir swasta itu mengerti betul apa yang telah dilakukan oleh Bank Sentral. Terutama dorongan bagi bank-bank swasta yang tadinya berjumlah ratusan itu untuk merger. Setelah dirintis oleh merger Bank Panin tahun 1971, kini jumlah bank-bank swasta sudah ciut menjadi 92 dengan 230 kantor cabang. Di antaranya 6 bank devisa, yakni Bank Dagang Nasional Indonesia, Bank Umum Nasional (BUN). Bank Bali, Panin Bank, Bank Niaga dan Bank Pacific. Dilihat dari sudut jumlah, memang cukup banyak. Juga bangunannya, tampak lebih meyakinkan. Beberapa kantor pusat bank swasta yang berkedudukan di Jakarta malah telah dirombak, dibangun lagi sampai bertingkat 8, kemudian dipoles dan dipercantik. Tapi itu baru kulit luarnya. Bagaimana tentang peranan para anggota Perbanas itu? Hal itu diperinci oleh Gubernur BI dalam sambutannya. Dana kredit yang disalurkannya telah menanjak dari Rp 30,9 milyar di tahun 1973 menjadi Rp 104,7 milyar tahun lalu. Dalam periode yang sama, modal bank swasta bertambah dari Rp 9,8 milyar menjadi Rp 35,6 milyar. Jadi naik dari 18,8% menjadi 19.3% dari seluruh modal sektor perbankan. Dan perlu dicatat "bank-bank yang merger menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik", kata Rachmat, "Baik dilihat dari segi volume usaha, pemberian kredit maupun permodalannya". Hanya 6,2% Memang, prestasi bank-bank swasta itu tidak begitu jelek. Namun jumlah kredit bank swasta nasional tahun 1975 itu baru 6,2% dari seluruh kredit yang diberikan bank pemerintah plus bank asing. Berarti turun 0,9% dari seluruh sektor perkreditan dibandingkan dengan 1972. "Prestasi demikian", kata Mochtar Ryadi, yang berbieara selaku dosen Akademi Ilmu Perbankan Perbanas,"tidak terlepas dari struktur perekonomian negara kita". Kenyataannya, 75% dari seluruh kegiatan ekonomi dikuasai oleh perusahaan-perusahaan negara. Menurut dia, itulah yang menyebabkan bank-bank swasta nasional tidak berkembang sebagaimana semestinya. Tidak Adil? Walaupun begitu, peranan bank swasta nasional tidak dapat diremehkan. Sebab meskipun perekonomian sebagian besar dikuasai PN-PN dan PT-PT milik pemerintah, kegiatan anggota Perbanas tidak terlepas dari kerjasama dengan perusahaan swasta lainnya. Khususnya perusahaan kecil dan sedangan. Ini jelas terlihat dari hasil clearing, di mana cek atau bilyet giro bank-bank swasta jumlahnya banyak. tapi nilainya masing-masing kecil. Sedang cek dan giro bank pemerintah jumlahnya sedikit, tapi nilainya besar. Juga hasil clearing bank-bank pemerintah banyak berasal dari bank-bank swasta nasional. Repotnya menurut dia, "ada perlakuan tidak adil dan pembatasan yang disengaja oleh pemerintah terhadap bank swasta nasional". Atau dengan kata lain, terlalu banyak fasilitas diberikan kepada bank pemerintah, sebaliknya terlalu sedikit fasilitas untuk bank swasta. Misalnya, hampir semua bank swasta yang sehat ingin menjadi bank devisa, tapi kabarnya akan dibatasi sampai 10 saja. Pemerintah membatasi bank swasta dalam membuka kantor cabang. Sekalipun hanya ada 5 bank pemerintah yang komersiil, tapi punya 630 kantor cabang yang tersebar sampai ke pelosok-pelosok. Sedang ke-92 anggota Perbanas memiliki 230 kantor cabang. Pemerintah melarang bank swasta non-devisa melakukan jual-beli valuta asing, tapi mengizinkan perusahaan non-bank seperti PT Gunung Agung berdagang valuta asing (money changer). Pembatasan-pembatasan tersebut menurut Mochtar Riady. dirut Bank Central Asia, "merupakan penghalang- kemajuan bank swasta nasional". Suatu rentetan keluhan yang agaknya tak baru. Tapi hingga sekarang belum juga dilayani oleh Bank Indonesia. Sekalipun begitu Rachmat Saleh ada menjanjikan keringanan-keringanan kepada para bankir swasta ini, kalau saja mereka lebih banyak yang ingin merger. Menurut Gubernur B.I. itu penciutan jumlah sampai 25 bank swasta adalah yang ideal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus