Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RACHMAT Hidayat tak mau terlambat. Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan ini merasa harus bertindak cepat karena niat pemerintah memungut cukai kemasan plastik membuat cemas kalangan industri air minum dalam kemasan. Sudah hampir sepekan berita soal itu berseliweran di antara mereka.
Mengajak puluhan produsen dan pengusaha pengguna plastik, Rachmat mendatangi kantor Kementerian Perindustrian, Selasa sore pekan lalu. Kepada Direktur Industri Kimia Hilir Herman Supriadi, para pengusaha yang menamakan diri Forum Lintas Asosiasi Industri Produsen dan Pengguna Plastik ini menyampaikan kegundahannya. "Kami memprotes, rencana pengenaan cukai atas produk kemasan plastik minuman tidak tepat," kata Rachmat, yang juga juru bicara Forum Lintas Asosiasi, saat menceritakan kembali pertemuan itu, Kamis pekan lalu.
Rachmat menilai alasan pemerintah memungut cukai terlalu mengada-ada. Plastik, menurut dia, tidak membawa dampak buruk bagi lingkungan seperti tudingan pemerintah. "Bukan plastiknya yang merusak, melainkan manusia yang selama ini buang sembarangan," ujarnya. Konsumsi plastik per kapita di Indonesia 17 kilogram per tahun. Angka tersebut, kata Rachmat, masih jauh di bawah konsumsi plastik di negara-negara ASEAN, sekitar 40 kilogram per kapita per tahun.
Pelaku industri mengaku tak tinggal diam. Mereka sudah terlibat mengatasi persoalan sampah plastik sekali pakai dengan menerapkan proses daur ulang. Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiyono mengatakan tak sedikit pengusaha yang harus mengimpor bahan baku. Mereka mengumpulkan plastik bekas pakai. "Karena prinsipnya plastik bukan untuk dihancurkan, melainkan didaur ulang," ucap Fajar, Rabu pekan lalu.
Kalaupun tak bisa didaur ulang sebagai bahan baku plastik yang baru, sampah plastik sekali pakai bisa diolah menjadi bahan bakar minyak dan aditif untuk aspal. Fajar mengatakan industri juga sudah mengurangi kadar plastik dalam bahan baku pembuatan botol dari 20 gram menjadi hanya 15 gram per botol.
Rencana pungutan cukai terhadap produk yang menggunakan kemasan plastik mengemuka sejak awal April lalu. Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan usul itu akan disodorkan pada saat pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2016, akhir Mei ini. "Kalau disetujui, berlaku tahun ini," kata Bambang, 4 April lalu.
Tanpa memberikan detailnya, Bambang mengatakan bahwa pungutan cukai ini bakal dikenakan pada semua produk yang menggunakan bungkus plastik. "Ini masih terus didiskusikan, tapi nanti mencakup semua yang memakai kemasan, bukan botol minuman saja. Minyak goreng, oli, dan lainnya nanti juga kena," ujarnya.
Meski demikian, ia menjamin rencana ini tak bakal memberatkan industri. Sebab, tarif cukai plastik tak akan melebihi pungutan atas kantong plastik berbayar sebesar Rp 200 per lembar.
Industri tak gampang percaya. Mereka khawatir rencana ini malah melemahkan pertumbuhan manufaktur. Rachmat Hidayat berkaca pada hasil kajian dari Lembaga Penelitian Ekonomi dan Manajemen Universitas Indonesia. Penelitian tersebut menyatakan, apabila harga minuman dinaikkan 1 persen, akan terjadi penurunan permintaan sebesar 1,7 persen.
Rencana pemerintah terancam berliku. Pertemuan di Kementerian Perindustrian pada Selasa pekan lalu itu sudah menghimpun suara bulat. Sebanyak 16 asosiasi yang tergabung dalam Forum Lintas Asosiasi Industri Produsen dan Pengguna Plastik menolak rencana pungutan cukai. Kalau deklarasi itu tak mempan, para pelaku usaha bakal menggugatnya. "Kalau mau mencari tambahan penerimaan negara, tolong jangan dari industri ini," kata Fajar Budiyono.
RENCANA Kementerian Keuangan memungut cukai atas produk plastik bukan cerita baru. Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Penerimaan Negara Astera Primanto Bhakti mengatakan sudah sejak tiga tahun lalu pemerintah menyusun daftar barang yang layak dikenai cukai. Plastik menjadi salah satu di antara belasan produk yang masuk program perluasan obyek cukai. "Terutama yang perlu pembatasan dan punya dampak negatif," ujar Astera saat ditemui di kantornya, Rabu pekan lalu.
Wacana cukai untuk plastik ini lantas kembali mengemuka di tengah maraknya isu lingkungan akibat sampah plastik yang kian menumpuk. Apalagi produk ini sulit diurai. Kementerian mencatat, pada 2015, kebutuhan plastik di Indonesia mencapai 3 juta ton. Dengan pertumbuhan 7 persen, tahun ini kebutuhannya diperkirakan mencapai 3,2 juta ton.
Dengan pertumbuhan produksi seperti itu, pemerintah merasa kebijakan cukai adalah instrumen yang paling tepat. Selain mendorong pengendalian lingkungan, fungsi cukai sebagai pintu penerimaan negara terpenuhi. Astera menghitung, jika pemerintah menerapkan cukai hanya untuk kemasan plastik minuman, penerimaan negara bisa bertambah Rp 2-2,5 triliun. "Tapi ini bukan tujuan utama, melainkan untuk mendorong pengendalian lingkungan," katanya.
Hitung-hitungan pemerintah sebenarnya tak jauh berbeda dengan industri. Sekretaris Jenderal Inaplas Fajar Budiyono mengatakan, hanya dengan mengenakan 10 persen cukai untuk kemasan plastik minuman, pemerintah bisa meraup Rp 1,8 triliun. Angka tersebut diperoleh dari nilai rata-rata pasar kemasan plastik selama satu tahun sebesar Rp 18 triliun.
Persoalannya, menurut Fajar, pengenaan cukai terhadap kemasan plastik berpotensi melemahkan daya saing industri nasional. Sebab, cukai bakal membuat harga produk lokal lebih mahal ketimbang produk sejenis dari negara lain. "Kalau industri melemah, dalam jangka panjang pemerintah bakal kehilangan pendapatan dari pajak pertambahan nilai dan pajak penghasilan," kata Fajar.
Meski menuai penolakan, pemerintah pantang mundur. Menurut Kepala Bidang Kebijakan Kepabeanan dan Cukai Badan Kebijakan Fiskal Nasruddin Djoko Surjono, ekstensifikasi obyek kena cukai harus dilakukan. Selama ini penerimaan cukai masih bertumpu pada hasil tembakau. "Kita tidak mungkin terus-menerus mengambil dari keranjang yang sama. Pemerintah harus kreatif dari sisi kebijakan," ujar Djoko, Selasa pekan lalu.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis Yustinus Prastowo mengapresiasi upaya pemerintah memperluas obyek kena cukai. Apalagi obyek cukai di Indonesia baru bertumpu pada tiga jenis barang, yakni minuman beralkohol, rokok, dan minuman mengandung etil alkohol (MMEA). Persoalannya, niat pemerintah ini harus dibarengi dengan konsep dan perencanaan yang matang. "Itulah alasan kenapa penambahan obyek cukai sering gagal karena hanya dianggap sebagai upaya menambal penerimaan," katanya.
Ayu Prima Sandi
Sukses Memungut Cukai Plastik
Ghana
Jenis: Plastik dan produk plastik
Tarif: 10 persen (sebelum 2013: 55 persen)
Alasan: Isu lingkungan
Kenya
Jenis: Tas plastik belanja
Tarif: KES 120 per kilogram
Alasan: Isu lingkungan
Hungaria
Jenis: Produk plastik HS 6702.10
Tarif: HUF 1.900 per kilogram
Alasan: Isu lingkungan
India
Jenis: Produk plastik dan polimer
Tarif: 12 persen
Alasan: Isu lingkungan
Inggris, Wales, Skotlandia, Irlandia Utara
Jenis: Tas plastik
Tarif: 0,05 pound sterling per lembar
Alasan: Isu lingkungan
Kontribusi Penerimaan Cukai (Triliun Rupiah)
Tahun | Cukai | Perpajakan | Porsi (%) | |
2011 | 77 | 920 | 8,4 | |
2012 | 95 | 981 | 9,7 | |
2013 | 108,4 | 1077 | 10,1 | |
2014 | 118,1 | 1147 | 10,3 | |
2015 | 144,3 | 1236 | 11,7 | |
2016* | 7,9 | 1310 | 5,4 | |
*Realisasi sampai 31 Maret 2016, persentase terhadap target cukai 2016 Sumber: Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo