Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BANK sentral sudah impoten kehabisan amunisi. Itulah tudingan sejumlah ekonom yang menilai para pemimpin bank sentral sudah habis akal untuk memulihkan optimisme dan pertumbuhan ekonomi. Bahkan Mervyn King, mantan Gubernur Bank Sentral Inggris, seolah-olah turut "mengaku dosa" atas ketidakberdayaan itu di bukunya yang baru terbit:Â The End of Alchemy.
Boleh jadi olok-olok para ekonom itu benar adanya. Berbagai bank sentral, seperti di Eropa dan Jepang, sudah mengeluarkan beragam kebijakan-dari quantitative easing alias mencetak uang untuk membeli obligasi pemerintah hingga menggencet suku bunga sampai minus. Tetap saja ekonomi lembek enggan bergerak.
Masalahnya, jika semua kebijakan bank sentral tak mempan, apakah ada alternatif? Sejauh ini memang belum ada pilihan lain. Upaya menumbuhkan ekonomi, terutama di negara-negara maju yang ekonominya sudah sangat terbuka, memang tinggal bergantung pada kebijakan moneter bank sentral, karena opsi kebijakan di sektor riil sudah habis.Â
Maka bank sentral harus terus berupaya tetap digdaya. Para pemimpin bank sentral masih harus berperan sebagai "the alchemist" yang mampu mengubah tembaga menjadi emas, menyulap kelesuan ekonomi menjadi pertumbuhan yang bergairah.Â
Upaya itu terlihat di Singapura dua pekan lalu. Otoritas Moneter Singapura (MAS) meluncurkan kebijakan baru: menetapkan target dolar Singapura hanya boleh mengalami apresiasi nol persen. Dengan kata lain, MAS akan menjaga nilai dolar Singapura tetap konstan terhadap mata uang lain yang menjadi rujukannya.
Investor Indonesia yang banyak menabung dalam dolar Singapura sebaiknya mengamati betul dampak kebijakan MAS ini. Memang ini bukan devaluasi, tapi investor tak bisa terlalu berharap keuntungan dari apresiasi nilai dolar Singapura.
Pekan lalu, Bank Indonesia juga beraksi dengan mengubah suku bunga patokannya. Jika selama ini bank sentral Indonesia memakai BI Rate yang berjangka waktu setahun sebagai referensi, mulai Agustus rencananya BI akan memakai suku bunga repo tujuh hari sebagai patokan kebijakan.Â
BI ingin suku bunga pinjaman bank bisa turun lebih cepat dengan kebijakan ini, karena bunga repo yang berjangka pendek lebih mencerminkan keadaan pasar. Sebagai perbandingan, pekan lalu BI Rate masih 6,75 persen, sementara bunga repo tujuh hari hasil lelang hanya 5,5 persen.Â
Pasar cukup optimistis bahwa kebijakan BI ini akan dapat menurunkan suku bunga dan menggairahkan ekonomi. Tapi sebetulnya, untuk ekonomi yang belum terlalu maju dan terbuka seperti Indonesia, pemerintah masih punya ruang untuk bermanuver membenahi sektor riil. Walhasil, upaya mendorong pertumbuhan tak selayaknya hanya bergantung pada kebijakan moneter. Pemerintah, misalnya, dapat memperbaiki iklim usaha dan mendorong investasi sebagai suplemen penguat kebijakan moneter.
Di London, pekan lalu, Presiden Joko Widodo berhasil menggaet komitmen investasi, termasuk dari nama-nama besar seperti Jardine Matheson dan BP, senilai US$ 19,02 miliar. Ini jelas kabar baik. Tapi di sinilah konsistensi kebijakan menjadi kebutuhan mutlak. Simpang-siur kebijakan seperti yang terjadi pada rencana pengembangan ladang gas Masela tak boleh terulang.
Hasil kerja bagus Duta Besar Indonesia untuk Inggris Raya dan Republik Irlandia, Rizal Sukma, ini hanya akan menjadi komitmen kosong jika pemerintah tak menuntaskan perbaikan iklim usaha dan kepastian regulasi, sehingga perusahaan-perusahaan itu benar-benar merealisasi komitmennya menanamkan dolar di sini. Tanpa suplemen riil, apa pun langkah bank sentral, hasilnya tak akan optimal. l
Yopie Hidayat(Kontributor Tempo)
KURS
Rp per US$ Pekan sebelumnya 13.238
13.182 Penutupan 21 April 2016
IHSG
Pekan sebelumnya 4.814
4.903 Penutupan 21 April 2016
INFLASI
Bulan sebelumnya 4,42%
4,45% Maret 2016 YoY
BI RATE
Sebelumnya 7,00%
6,75% 17 Maret 2016
CADANGAN DEVISA
29 Februari 2016 US$ 104,544 miliar
US$ miliar 107,543 31 Maret 2016
Pertumbuhan PDB
2015 4,73%
5,3% Target 2016
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo