Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Daerah

3 September 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Solok

API tak pernah pilih tempat. Kamis pekan lalu, giliran Pasar Batanglembang, Solok, Sumatra Barat, yang menjadi korban. Sebanyak 73 rumah toko (ruko), kios beras, dan los daging ludes jadi abu. Api juga menghanguskan 64 rumah warga Kotopanjang yang bersebelahan dengan pasar itu, termasuk dua rumah gadang milik Yahya Amin dan Hj. Roslina.

Kepada koresponden TEMPO Febrianti, para saksi mata menuturkan api menyala sejak pukul 03.00 WIB. Asalnya diperkirakan dari gang senggol pasar itu. Menurut polisi, kebakaran diduga diakibatkan oleh hubungan pendek arus listrik di salah satu kios. Mobil unit Barisan Pemadam Kebakaran Kota Solok yang datang beberapa menit kemudian tak mampu mengendalikan api yang mulai menjalar ke rumah penduduk. Api baru bisa dijinakkan sekitar tiga jam kemudian.

Tak ada korban jiwa akibat kebakaran ini, tapi sekitar 300 orang kehilangan tempat tinggal dan para pedagang kehilangan barang dagangan dan tokonya. Sekretaris Daerah Kota Solok, Yohannes Dahlan, menaksir kerugian mencapai Rp 2 miliar.

Bengkulu

MAKSUD hati hendak berdemo, apa daya malah dilecehkan secara seksual. Demikian kisah yang dialami lima mahasiswa Universitas Bengkulu, seperti yang dilaporkan kepada anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Bambang W. Soeharto, Rabu pekan lalu.

Kasus pelecehan bermula ketika lima mahasiswa itu ditahan karena diduga menyandera seorang polisi setempat seusai aksi unjuk rasa. Mereka melakukan aksi bersama para pengemudi angkutan desa (angdes) di Kelurahan Kampungbali, Kota Madya Bengkulu, 23 Juni silam. Mengira salah satu rekannya disandera, para petugas melakukan pencarian dan menangkap kelima mahasiswa itu.

Pada waktu penangkapan itulah peristiwa pelecehan seksual terjadi. Dua mahasiswi diancam akan diperkosa, sedangkan yang mahasiswa akan disodomi. Namun, menurut Bambang, tidak semua mahasiswa menerima pelecehan seksual. Hanya dua mahasiswi dan satu mahasiswa yang mengalaminya. ”Pengaduan itu pun harus diuji ulang sesuai dengan bukti-bukti,” ujar Bambang kepada Rian Suryalibrata dari TEMPO.

Menurut Kepala Direktorat Intel Kepolisian Daerah Bengkulu, Superintenden Adam Said, kasus ini sudah diserahkan ke polisi militer. ”Jadi, benar atau tidaknya pelecehan itu bukan urusan kami lagi,” kata Adam kepada Fadilasari dari TEMPO.

Riau

SETELAH lebih dari sepekan bekerja, 30 Agustus silam, tim search and rescue (SAR) gabungan Indonesia dan Malaysia akhirnya menghentikan operasi pencarian korban Kapal Motor Bunga Kelana yang tenggelam di Selat Malaka.

Bunga Kelana terkubur di bawah air satu jam setelah meninggalkan bibir pantai sebelah timur Desa Tanjungmedang, Kecamatan Rupat, Bengkalis, Riau, 22 Agustus. Menurut seorang penumpang yang selamat, kapal yang diperkirakan memuat 80 penumpang (atau dua kali lebih banyak dari kapasitas seharusnya) itu tenggelam setelah pecah akibat kelebihan beban. Sebagian besar penumpang kapal itu adalah tenaga kerja Indonesia (TKI) yang hendak mencari nafkah di Malaysia.

Sampai hari terakhir pencarian, menurut Perwira Pelaksana Operasi Pangkalan Angkatan Laut Dumai, Mayor Mukti, mereka hanya berhasil menemukan 37 penumpang. Dari jumlah itu, 28 orang di antaranya telah meninggal. Dengan demikian, sekitar 40 penumpang lainnya dipastikan tewas atau hilang. ”Ombak besar yang terjadi sepanjang Agustus ini membuat sisa penumpang lainnya sulit untuk selamat,” ujar Mukti kepada Jupernalis Samosir dari TEMPO. Semua korban yang ditemukan telah diserahkan kepada kepolisian Dumai untuk diteruskan kepada keluarganya.

Lampung

WAHAI para wakil rakyat, jaga sikap dan tindakan Anda. Soalnya, gara-gara tak berlaku layak, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Lampung, Tan Gatot Mahawisnu, diadukan ke polisi oleh mahasiswa, Jumat pekan lalu. Kepala Kepolisian Resor Kota Bandarlampung, Superintenden Tri Parnoyokartiko, membenarkan perihal adanya laporan mahasiswa Universitas Negeri Lampung (Unila) tentang pemukulan dan penghinaan atas institusi kampus itu.

Menurut Deri Hendrian, Presiden Dewan Eksekutif Keluarga Besar Mahasiswa (DEKBM) Unila, laporan pengaduan itu mencakup dua kasus, yaitu pemukulan terhadap dirinya dan penghinaan terhadap institusi universitas. ”Kami sungguh tidak menyangka anggota dewan bisa mengeluarkan kata-kata kotor terhadap mahasiswa, lalu mengerahkan intelnya menghajar saya,” kata Deri kepada Fadilasari dari TEMPO.

Insiden itu bermula ketika sepuluh aktivis KBM datang ke kantor DPRD, Kamis pekan lalu. Mereka ingin bertemu dengan ketua DPRD dan panitia khusus (pansus) tragedi 28 September 1999 di Bandarlampung, yang menewaskan dua orang mahasiswa Unila. Rupanya, bukan anggota dewan yang ditemui, melainkan caci-maki dan usiran dari Tan Gatot. Anggota Partai Kebangkitan Bangsa ini juga memerintahkan agar polisi pamong praja di DPRD menghalau para mahasiswa.

Tan Gatot mengatakan tindakan mahasiswa itu tidak mencerminkan intelektualitas calon pemimpin bangsa. ”Masa, anggota dewan yang sedang ikut rapat dipaksa untuk berdialog? Jangan mentang-mentang mahasiswa terus bisa seenak-enaknya saja. Saya saja tidak tahu mereka itu mahasiswa mana,” katanya dengan nada tinggi.

Luwu

TIGA bupati di sekitar kawasan panas, Luwu Utara, Sulawesi Selatan, bertemu Kamis pekan lalu. Mereka adalah Bupati Luwu Utara Luthfi A. Mutti, Bupati Luwu Kamrul Kasim, dan Bupati Tanatoraja J. Amping Situru. Ketiganya menyimpulkan bahwa pertikaian antara warga di wilayah Kabupaten Luwu dan Luwu Utara, dua pekan silam, tak bermotif suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Dalam pertemuan yang juga dihadiri Kepala Kepolisian Resor Luwu Superintenden Anjaya itu, para pejabat pemerintah setempat menyimpulkan bahwa kerusuhan di sejumlah kecamatan di Luwu dan Luwu Utara adalah peristiwa perampokan, pemerasan, dan penjarahan yang dilakukan kelompok tertentu. Akibat kerusuhan itu, setidaknya 250 rumah hancur, puluhan warga terluka, dan lebih dari 1.400 penduduk mengungsi. Luthfi mengatakan, saat terjadi pembakaran di sebuah kampung, pelaku tidak memilih-milih agama warga di daerah tersebut. Menurut dia, rumah yang terbakar adalah milik warga yang berbeda agama dan suku.

Adapun pemicu kerusuhan itu, menurut Kapolres Luwu Utara, pesta perkawinan di daerah Dadeko. Saat pesta berlangsung, terjadi perkelahian antara dua kelompok pemuda yang kebetulan menghadiri pesta tersebut. ”Perkelahian itu kemudian berkembang menjadi bentrok antarwarga yang diikuti dengan pembakaran. Kalau ada pembakaran tempat ibadah, itu terjadi karena rembesan api dari rumah penduduk dan bukan sengaja dibakar,” tutur Kapolres kepada Syarief Amir dari TEMPO.

Wicaksono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus