JATUHNYA harga cengkeh masih tetap membayang-bayangi hidup petani. Pancaran tak bersemangat tampak di wajah mereka yang telah menjual cengkeh dengan harga cuma Rp 2.300 sampai Rp 3.000 per kilogram. Sementara itu, sebagian lainnya yang masih menahan hasil panennya terlihat harap-harap cemas: akankah harga membaik? Belum tentu, memang. Tapi di satu lumbung cengkeh di Provinsi Lampung, secercah harapan mulai tampak. Ada sebuah perusahaan yang melakukan terobosan pasar, dengan mengekspor ke Singapura. Benarkah? Untuk apa Singapura mengimpor cengkeh? "Saya tidak tahu, untuk apa. Tapi yang pasti, ekspor ke sana sudah kami lakukan," kata William Budiono, dirut PT Wira Kencana Adi Perdana (WKAP). Penjualan perdana telah dilakukan WKAP pekan lalu, dengan mengapalkan 62 ton. Sedangkan sisanya, sesuai dengan kontrak transaksi sejumlah 100 ton, akan dikirimkan bulan ini juga. Belum banyak, memang. Apalagi harga yang disepakati pun tidak terlalu tinggi, hanya 2,6 dolar AS per kilo, atau sekitar Rp 4.420. Artinya, masih jauh di bawah harga dasar yang ditetapkan oleh pemerintah RI: Rp 6.500 per kilogram. Tapi apa mau dikata, itulah salah satu jalan keluar yang perlu dicoba. Soalnya, dibanding harga yang terjadi di pasar lokal, penawaran Singapura termasuk yang menawan. Bagaimana tidak kalau pedagang antarpulau (PAP), yang sudah terkenal sebagai pialang cengkeh yang canggih, hanya mengajukan penawaran paling tinggi Rp 3.500/kg. Prinsip "untung sedikit" itu pun kemudian dibeberkan. Menurut William, harga beli rata-rata dari petani dan pedagang pengumpul adalah Rp 3 ribu per kilo. Tapi, di samping itu, ada Sumbangan Dana Rehabilitasi Cengkeh dan penalti yang harus dibayar, masing-masing Rp 500 dan Rp 350 per kilo. Padahal, kalau biaya penalti dihilangkan, menurut seorang PAP, daya saing cengkeh Indonesia akan meningkat. Memang, penawaran yang diajukan Singapura masih belum menguntungkan petani. Tapi seandainya sebagian hasil panen bulan lalu "dibuang" ke luar negeri, ini akan mengerek harga cengkeh di pasar lokal. Apalagi pasar cengkeh di luar negeri bukan hanya Singapura. Tapi juga India, yang berani menghargai delapan dolar untuk setiap kilogram. "Kami pun sekarang sedang melakukan penjajakan ke sana," ujar William. Kalau saja perhitungan para pedagang ini benar. Dan mereka bisa melakukan ekspor besar-besaran, maka ini berarti akan mengubah posisi Indonesia, dari pengimpor menjadi pengekspor. "Tidak terlarang, asalkan bisa untung, silakan ekspor," ujar Wakil Gubernur Lampung, Subki E. Harun. Memang, melorotnya harga cengkeh cukup mengherankan banyak pihak. Bayangkan, kebutuhan per tahun mencapai 80 ribu ton, sementara hasil panen hanya sekitar 62,5 ribu ton. Logikanya, toh pasar masih belum jenuh. Tapi karena pabrik pabrik rokok -- sebagai konsumen terbesar -- mengaku telah memiliki stok yang cukup, maka harga pun anjlok. Untuk mengatasi gelagat yang kurang baik itu, pemerintah kemudian menurunkan dana penyelamat Rp 67 milyar. Hanya saja, jumlah itu dinilai belum mencukupi, karena cuma mampu menampung 10,3 ribu ton saja. Akibatnya, harga di pasar tidak bergeming. Lantas harus bagaimana? Seorang pedagang di Sulawesi Utara mengemukakan, sudah seharusnya pemerintah mengerem gerak para calo dan PAP. Caranya tidak hanya dengan menurunkan dana penyelamat, tapi bisa juga dilakukan dengan menaikkan biaya penalti. Selain itu, upaya dengan ekspor pun mendapat sambutan hangat dari petani, tentunya. Lain lagi tanggapan pengusaha rokok. Mereka khawatir, Singapura melakukan pembelian hanya untuk ditimbun semata. Dan kelak dijual kembali ke Indonesia di saat harga sudah membaik. "Kalau benar, itu merupakan ancaman bagi kami," kata Djuffan, Sekjen Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia. BK dan biro-biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini