Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Kabar baik dari Washington

Dana bank dunia sebesar us$ 307 juta bakal mengucur untuk lima Bank BUMN. syaratnya: mereka harus menjadi perseroan terbatas.

20 Juni 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NASIB permodalan lima dari tujuh bank pemerintah Republik Indonesia ditentukan di Washington, pertengahan pekan silam. Direksi kelima bank pemerintah itu (BDN, BNI, BBD, Bank Exim, dan BRI) dengan didampingi Dirjen Moneter Oskar Surjaatmadja, Direktur Bank Indonesia Binhadi, dan pejabat tinggi Bappenas Sukarno, melakukan perundingan maraton di markas besar Bank Dunia untuk mencapai kata sepakat guna mendapatkan tambahan modal. Dua bank pemerintah lainnya, BTN dan Bapindo, tidak ikut ke Washington karena ekuiti Pemerintah pada keduanya cukup banyak. Ternyata, perundingan maraton yang membuat para pejabat keuangan itu sering bergadang di hotel mereka tak siasia. Tim runding Indonesia, yang dipimpin Oskar Surjaatmadja, berhasil memperoleh pinjaman US$ 307 juta untuk memperkuat permodalan kelima bank BUMN tersebut. Suntikan dana sebanyak itu dibutuhkan kelima bank tersebut karena mereka dinilai belum bisa memenuhi persyaratan Bank Sentral dalam soal capital adequacy ratio (CAR, kecukupan modal terhadap aset berisiko). Menurut ukuran Bank Indonesia, yang merujuk pada patokan Bank for International Settlements (BIS) untuk mengatur kecukupan modal bank-bank di seluruh dunia supaya bisa berhubungan dalam kualitas setara, semua bank di Indonesia harus memiliki CAR minimal 5% per Maret 1992, dan paling kurang 7% mulai Maret 1993. Aturan ini memang dibuat untuk menyelamatkan perbankan dari risiko oleng jika ada pinjaman yang macet. Sekarang ini CAR sebagian bank pemerintah tersebut ada yang di bawah 5%. Diperkirakan, secara keseluruhan mereka tidak sanggup mencapai CAR 7% pada Maret tahun depan. Maka, diperlukan suntikan modal. Menteri Keuangan J.B. Sumarlin belum mau menjelaskan, berapa setiap bank akan memperoleh jatah dari pinjaman Bank Dunia tersebut. "Soal ini masih harus dirundingkan lagi di Jakarta," katanya. Selama ini, kebanyakan bank pemerintah mengalami kesulitan untuk memperbesar modal, antara lain karena hambatan hukum. Sebelum lahir Undang-Undang Perbankan 1992, dasar hukum pengoperasian bank-bank BUMN adalah Undang-Undang Perbankan 1967, yang mambatasi modal mereka di sekitar Rp 300 milyar. Padahal, perkembangan aset mereka kemudian mencapai trilyunan rupiah. Bahkan, boleh dikatakan loan to deposit ratio (LDR, perbandingan antara dana yang dipinjamkan dan yang diperoleh) mereka termasuk berani: ratarata di atas 135%. Angka ini sangat riskan, terutama kalau ada tarikan mendadak dari pihak penyimpan dana. Untungnya, seiring dengan batasan CAR itu, Bank Indonesia membuat ketentuan agar LDR perbankan nasional sebaiknya 85%. Mengenai pinjaman baru Bank Dunia sebesar US$ 307 juta itu, menurut laporan wartawan TEMPO di Washington, Bambang Harymurti, masa pengembaliannya 20 tahun, termasuk lima tahun bebas cicilan. Bunganya ditetapkan 0,5% lebih tinggi dari bunga yang harus dibayar Bank Dunia kepada para pemasoknya -- sekarang ini 7% sampai 8,5% per tahun. Selain itu, masih ada ketentuan tentang commitment fee sebesar 0,75% untuk pinjaman yang tidak diambil. Lazimnya, pinjaman itu baru bisa ditarik dua sampai tiga bulan setelah tanda tangan perjanjian. Dalam perkara meminjami dana untuk mendukung permodalan bank seperti itu, Bank Dunia sudah sering melakukannya pada negara lain. Hanya saja, kali ini ada prasyarat baru yang selama ini belum pernah dipasang, yakni agar bank-bank pemerintah itu dalam waktu 90 hari harus sudah menjadi perseroan terbatas -- tampaknya ini memang sesuai dengan semangat swastanisasi yang dikibarkan Bank Dunia. Ternyata, Pemerintah sudah mengantisipasi kemungkinan tersebut. Buktinya, Presiden Soeharto sudah sejak bulan lalu memberikan kepastian bahwa bank-bank pemerintah itu akan menjadi perseroan terbatas -- sesuai dengan undang-undang perbankan yang baru. Persoalannya kini, seperti kata sebuah sumber TEMPO, kelima bank tersebut tidak diwajibkan membayar bunga atas pinjaman dari Bank Dunia itu. Beban itu akan dipikul Bank Indonesia. Tentu saja ini tak jadi soal kalau status kelima bank itu tetap seperti sekarang. Dana tambahan itu bisa dianggap sebagai pinjaman subordinasi dari pemilik modal, yakni Pemerintah. Dan itu berarti dana tersebut merupakan pinjaman pemerintah Republik Indonesia dari Bank Dunia. Kalau status bank-bank pemerintah itu sama seperti bank umum lainnya, yang memiliki kemungkinan untuk menjual saham di bursa dan bisa terkena pasal kebangkrutan, pola penyuntikan modal demikian perlu didukung dengan argumentasi yang jelas. Penjelasan tentang ini tampaknya baru bisa diberikan belakangan. Menteri Sumarlin hanya menegaskan kepada TEMPO, pinjaman dari Bank Dunia itu bagaimanapun akan lebih menguntungkan daripada jika Pemerintah menyuntik kelima bank tersebut dengan dana dari cadangan anggaran pembangunan (CAP), yang jumlahnya Rp 3,5 trilyun. "Kalau dari Bank Dunia, berarti ada devisa yang masuk. Sedangkan jika dari CAP malah bisa menyebabkan inflatoir," katanya. Apalagi Pemerintah untuk tahun 1992 menargetkan inflasi hanya 8%, lebih rendah 1% dari angka inflasi tahun lalu. Mohamad Cholid dan Bambang Aji

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus