Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RAY Rangkuti bicara dengan nada gusar. Direktur Eksekutif Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) itu baru saja menerima surat balasan dari satu lembaga donor asing, akhir Desember silam. "Kami meminta bantuan dana, tapi ditolak," ujarnya. Itu bukan surat jawaban pertama bagi Ray. Sejumlah lembaga penyantun lainnya juga angkat tangan. Jawaban mereka seragam: tak ada dana lagi bagi pemantau pemilu.
Berbeda dengan Pemilu 1999, pesta demokrasi tahun ini tak ubahnya paceklik bagi lembaga pemantau. Dulu, KIPP pernah mendapat guyuran dana Rp 14 miliar dari United Nations Development Programme (UNDP). Sekarang, badan dunia itu tak lagi royal membagikan dana. Memang ada sedikit bantuan dari Uni Eropa, tapi jumlahnya pun minim. "Hanya 10 persen dari total kebutuhan," kata Ray lagi.
Padahal, dalam pemilu mendatang, KIPP tetap butuh duit buat operasional. Jumlahnya masih sama, sekitar Rp 14 miliar. Postur lembaga itu pun kini bertambah gemuk. Perwakilannya saja sudah tersebar di 32 provinsi. Belum lagi biaya 200 cabang di kabupaten dan kota. "Total ada sekitar 5.600 aktivis," ujar Ray. Hitungan itu belum termasuk ribuan sukarelawan yang bekerja di kecamatan.
Soal cekak dana itu juga dialami lembaga pemantau lain. Menurut Direktur Eksekutif Forum Rektor Indonesia, Soedjana Sapi'ie, organisasinya kini menyiapkan sekitar 200 ribu tenaga untuk memelototi kecurangan pemilu. Rata-rata mereka berasal dari jaringan kampus, yang tersebar di 30 provinsi. Setiap pemantau, rencananya, akan diberi uang lelah sekitar Rp 80 ribu per hari, pada hari-hari puncak Pemilu 2004. Duitnya? "Kami masih harus berusaha keras," katanya kepada Yandi M.R. dari Tempo News Room.
Sepinya minat donor asing itu membuat jumlah pemantau pemilu kini menyusut. Setidaknya, sekarang hanya ada empat organisasi pemantau berjaringan nasional. Selain KIPP dan Forum Rektor, dua lembaga lain adalah Center for Electoral Reform (Cetro), dan Jaringan Pemuda Pemantau Pemilu (Jampi).
Selain soal krisis dana, ada soal yang lebih gawat. Sampai berita ini ditulis, Komisi Pemilihan Umum (KPU) belum mengeluarkan data resmi pemantau yang berakreditasi. Sesuai dengan Undang-Undang Pemilu, hanya pe-mantau dengan akreditasi KPU yang bisa memelototi proses pencoblosan sampai ke bilik suara. Sebagai catatan, dalam Pemilu 1999, ada 66 lembaga pemantau dalam negeri yang disetujui KPU. Dulu, kartu akreditasi yang dikeluarkan untuk aktivis pemantau Pemilu mencapai 6.415 lembar.
Megap-megapnya lembaga pemantau pemilu partikelir ini jelas persoalan serius. Pemantauan bertemali erat dengan mekanisme pengawasan pemilu. Sudah begitu, dibandingkan dengan tahun 1999, pemilu kali ini lebih berat. Dengan aturan baru, ada tiga tahap pemungutan suara. Pertama, memilih anggota legislatif pada April 2004. Dua tahap berikutnya, Juni dan September, memilih presiden secara langsung. Belum lagi jumlah tempat pemungutan suara (TPS) yang bertambah, dari sekitar 385 ribu menjadi 483 ribu lebih.
Beban itu tentu tak bisa dibebankan semua ke pundak Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu). Kemampuan badan bentukan negara itu ternyata sangat terbatas. Di tiap provinsi, mereka cuma beranggotakan lima orang. Begitu pula jumlahnya di kabupaten. Sedangkan di kecamatan hanya tiga orang. "Kaki tangannya sangat minim," kata Koordinator Bidang Pengawasan Panwaslu, Didik Supriyanto.
Karena itu Didik berharap ada semacam forum bersama bagi pemantau dan pengawas. Meski wewenang pengawas lebih besar, seperti memproses pelanggaran, peran pemantau sangat penting. Banyak data pelanggaran justru dipasok oleh pemantau. Belum lagi jika menyangkut daerah terpencil seperti di Kalimantan Timur, Papua, Maluku, serta Nusa Tenggara Timur. Daerah itu, dalam catatan Panwaslu, rawan kecurangan karena banyak TPS terletak di pelosok.
Di daerah, kerja sama antarpemantau sebenarnya sudah dimulai. Di Kalimantan Timur, misalnya. Ada 12 lembaga swadaya masyarakat yang memantau perhelatan politik nasional di daerah itu. Tapi, karena keterbatasan dana, mereka hanya mampu menjangkau 7 dari 13 kabupaten yang ada. "Sisanya di- garap jaringan Forum Rektor," ujar Mukti Ali, koordinator sejumlah lembaga yang siap bernaung di bawah KIPP itu, kepada Redy M.Z. dari Tempo News Room.
Apa boleh buat. Dengan dana seret, para pemantau harus bersiap memonitor tiap jengkal kecurangan pemilu dengan kaki tangan yang kian terbatas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo