Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Terlambat di Batas Toleransi

Meski beberapa persiapan molor, KPU optimistis Pemilu 2004 tepat waktu. Dari sosialisasi, perangkat keras, sampai dana.

28 Desember 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEDUA bola mata Chusnul Mar'iyah tampak memerah. Wajahnya kuyu. Sesekali dia menangkupkan badannya ke meja, sementara beberapa staf ahli yang mendampinginya terus nyerocos menyampaikan penjelasan. "Sudah dua hari ini saya tidak tidur," katanya. Dia harus begadang memelototi kembali berbagai dokumen perusahaan peserta tender ulang proyek Teknologi Informasi (TI) Komisi Pemilihan Umum (KPU), awal Oktober lalu. Untung, dia ditemani tim ahli yang energetik pimpinan Prof. Toemin A. Masoem, dekan Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia (UI). Hasilnya: konsorsium lima perusahaan dinyata- kan sebagai pemenang dengan harga penawaran Rp 152,729 miliar. Dua perusahaan lain, Asaba dan Berca, mengajukan harga lebih tinggi, masing-masing Rp 164,256 miliar dan Rp 155,547 miliar. Selain proyek TI, masih ada proyek lain bernilai ratusan miliar rupiah yang harus ditenderkan. Sebutlah pengadaan kotak suara, kertas dan surat suara, kartu pemilih, serta kendaraan bermotor. Semua ditangani langsung anggota KPU di bawah koordinasi Chusnul sebagai ketua panitia pengadaan logistik Pemilu 2004. Nada miring pun nyaring terdengar. Beberapa perusahaan yang kalah tender tak cuma mengajukan protes, tapi juga somasi. Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) pun ikut meramaikan melalui aksi demonstrasi. Buntutnya, beberapa anggota Komisi Hukum DPR ikut gusar. Mereka menuding keterlibatan anggota KPU dalam tender sebagai penyebab lambannya kinerja organisasi itu. "Mestinya tender dilakukan sepenuhnya oleh pihak sekretariat dengan pengawasan melekat," kata Agun Gunandjar Sudarsa dari Fraksi Partai Golkar. Tapi KPU bergeming. "Saya terlibat di tender untuk mengamankan aset negara dari kebocoran," ujar Chusnul kepada TEMPO. "Eh, malah ada yang tega mengisukan korupsi." Doktor Ilmu Politik dari The University of Sydney, Australia, itu juga me-negaskan, ia tak ingin seperti dua anggota KPU periode sebelumnya, yang harus berurusan dengan polisi. Apalagi sampai harus masuk bui gara-gara korupsi. Sejauh ini integritas perem- puan kelahiran Babad, Lamongan, Jawa Timur itu tak perlu diragukan. Buktinya, suara-suara miring yang sempat muncul ke permukaan kini senyap dengan sendirinya. Tapi bukan berarti kinerja organisasi yang menaunginya mulus-mulus belaka. Jika mencermati tahapan agenda kerja KPU seperti tertuang dalam Surat Keputusan KPU Nomor 100, 24 April 2003, ada sederet mata rantai yang lambat dikerjakan. Tengoklah penataan organisasi sampai pembentukan panitia pemungutan suara di tingkat desa/kelurahan. Mestinya pekerjaan itu tuntas pada awal September 2003. Kenyataannya molor beberapa pekan. Begitu pula dengan penetapan sekitar 1.900 daerah pemilihan anggota DPR dan DPRD, yang molor sebulan dari jadwal semula, yakni 13 Oktober. Proses verifikasi partai peserta pemilu pun baru selesai pada 7 Desember alias molor sepekan. Karena itu tak meng- herankan jika kalangan LSM seperti Center for Electoral Reform (Cetro) dan Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) mencemaskan apakah Pemilu 2004 bisa terlaksana menurut jadwal. Bahkan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional, Ermaya Suradinata, ikut khawatir. Dalam rapat kerja dengan Komisi I DPR, pertengahan Desember lalu, dia memaparkan faktor nonteknis yang bisa mempengaruhi tertundanya Pemilu. Di tengah kondisi psikologis masyarakat, yang sebagian besar lebih terfokus pada upaya perbaikan ekonomi, ruang pemikiran masyarakat pada bidang politik tidak terlalu luas untuk mampu mengakomodasi dan memberikan kontribusi secara maksimal. Secara teknis, menurut Ermaya, waktu yang sangat sempit juga membuat KPU terdesak. Sosialisasi pelaksanaan pemilu, misalnya, belum sampai pada seluruh masyarakat, terutama di tingkat bawah. "Padahal pelaksanaan Pemilu 2004 sangat berbeda dengan pelaksanaan pemilu sebelumnya," katanya. Di sisi lain, penyiapan dan penyebaran berbagai perangkat keras seperti kotak suara, surat suara, dan lain-lain ke seluruh wilayah, yang secara geografis cukup jauh, merupakan sumber kerawanan tersendiri. Secara khusus pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada, Riswandha Imawan, saat berbincang dengan TEMPO di Gedung Departemen Dalam Negeri, pernah mencemaskan belum disosialkannya tata cara pencoblosan. Padahal pemilu kali ini amat berbeda dibandingkan dengan delapan pemilu sebelumnya. Klasifikasi suara sah dan tidak sah, seperti disebut dalam Undang-Undang tentang Pemilu, bagi orang awam masih membingungkan. Untuk menghindarkan lonjakan suara tidak sah, kata dia, KPU harus bisa menjelaskan bahwa suara sah hanya ketika pemilih menusuk tanda gambar parpol atau menusuk tanda gambar parpol plus menusuk nama calon anggota legislatif yang diajukan parpol tersebut. Riswandha khawatir, bisa saja pemilih hanya menusuk nama calon anggota DPR/DPD. Bisa pula pemilih menusuk tanda gambar parpol tertentu tapi memilih nama calon anggota legislatif yang diajukan parpol lain. "Padahal, menurut undang-undang, jadinya suara itu tidak sah," kata Riswandha. Ketua KPU Nazarudin Syamsudin tidak menampik adanya berbagai keterlambatan tahapan pemilu. Tapi dia meyakinkan, semua masih dalam batas toleransi. Apalagi keterlambatan juga akibat faktor eksternal, seperti kondisi geografis di lapangan dan pemekaran daerah yang terus berlangsung. "Kami sangat optimistis, Pemilu 2004 pada 5 April bisa berjalan baik dan berkualitas," kata guru besar FISIP UI itu. Optimisme itu juga disokong Presiden Megawati Soekarnoputri. Jika Pemilu 1997 yang paling sulit saja bisa berjalan tepat waktu, begitu pula Pemilu 1999 yang banyak diragukan, kata Presiden, Pemilu 2004 pun tentu akan bisa lancar. "Sekarang terpulang kepada rakyat Indonesia sendiri," kata Megawati. Hanya, dukungan dana juga rada gawat. Hingga pekan lalu, KPU terus berusaha mencari sumber dana tambahan untuk menutupi kekurangan anggaran Pemilu 2004. Sebab, dari Rp 3,9 triliun yang diajukan, hanya Rp 3 triliun yang disetujui DPR. Penambahan dana lebih dari Rp 1 triliun itu, menurut Wakil Ketua KPU Ramlan Surbakti, terutama akan dialokasikan untuk uang kehormatan para anggota panitia pemungutan suara (PPS) di tingkat desa dan anggota kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) di tempat pemungutan suara (TPS). Sebab, honor Rp 50 ribu per bulan untuk ketua PPS dan Rp 40 ribu untuk anggotanya dinilai tidak manusiawi. Apalagi jumlah itu belum dipotong pajak. Dia mengusulkan honor masing-masing dinaikkan menjadi Rp 100 ribu dan Rp 90 ribu. Jika tidak? "Anggota PPS dan KPPS mengancam akan mogok," kata guru besar Universitas Airlangga itu. Sehingga, jika APBN tak sanggup mendanai, Pemda harus menombokinya melalui APBD masing-masing. Artinya, sukses Pemilu 2004 memang menuntut perhatian dan kerja sama semua pihak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus