Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Kalau Napas Tidak Panjang

Beberapa media nasional berganti pemilik dan menjanjikan gaya pemberitaan yang baru. Mungkin ini upaya terakhir agar bisa kembali modal. Diperkirakan, 85 persen media cetak akan mati dalam dua tahun ke depan.

4 Februari 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PANJI Masyarakat akan mengucapkan selamat tinggal kepada pembacanya? Itulah pertanyaan yang memicu rasa kesal dalam diri Pemimpin Redaksi Panji, Uni Zulfiani Lubis. Pasalnya, gejala gonta-ganti manajemen yang terjadi di majalah itu ditafsirkan oleh beberapa media cetak sebagai isyarat akan berakhirnya penerbitan Panji. "Panji akan tetap terbit," kata Uni. Informasi dalam nada imperatif seperti itu tentu bisa menguak "awan kelabu" yang belakangan ini acap menyaput kehadiran majalah tersebut. Dan suasana ini sulit dihindari karena selama tiga tahun terakhir, penerbit Panji, PT Panji Media Nusantara, sudah tiga kali berganti direktur utama: bermula dari Fuad Bawazier, mantan Menteri Keuangan, lalu digantikan oleh Chairul Tanjung, dan sekarang Fahmi Idris. Yang disebut terakhir itu adalah bekas Menteri Tenaga Kerja yang juga dikenal sebagai pengusaha dari Kelompok Delapan (Kodel) dan kini menjabat sebagai anggota MPR. Menurut Uni, para bos itu keluar karena peraturan mengharuskannya, bukan karena enggan mengucurkan uangnya. Uni juga menambahkan bahwa saat ini ada perombakan terhadap susunan tim wartawan?semuanya 35 orang?dalam upaya menajamkan liputan Panji yang investigatif, termasuk kemungkinan pengalihan staf redaksi. "Jadi, tidak benar Panji kesulitan keuangan hingga perlu berganti pemilik," tuturnya. Kalau benar, itu berarti Fuad Bawazier dan Chairul Tanjung sebagai pemilik lama tetap akan pasang badan dan menalangi setiap kali Panji mengalami dahaga uang. Menurut Uni, saat ini oplah Panji bertahan sekitar 50 ribu eksemplar dan jumlah itu sangat potensial untuk didongkrak. Tapi salah satu sumber TEMPO menyatakan oplah Panji kurang dari jumlah itu. Wajarlah bila majalah ini merampingkan dirinya dan perlu disuntik dana segar, agar tetap bertahan. Lain halnya mingguan Warta Ekonomi (WE). Sejak September tahun lalu, majalah ini tampil lebih mewah dengan kertas luks dan harga jualnya dinaikkan. Hanya, ada pihak yang berujar bahwa poles-memoles penampilan itu kurang berhasil. Buktinya, oplah WE terus turun. Sumber itu melanjutkan, para pelanggan setia WE tidak menyukai tampilan baru itu sehingga mereka berhenti berlangganan. Semua cerita tak sedap itu dibantah keras oleh pemimpin redaksinya, Amir Effendi. "Oplah kita 30 ribuan dan kita akan segera melakukan sinergi dengan PT Dian Rakyat (PTDR)," katanya. Perusahaan yang disebut terakhir itu milik Mario Alisjahbana, yang kini sudah menguasai 45 persen saham WE. Adapun sisanya masih dimiliki pendiri lama, seperti Fadel Muhammad, Amir Effendi, dan keluarga Toeti Azis. Tahun lalu, karena utang WE kepada PTDR tak terbayar, Mario memutuskan masuk sebagai pemilik. Persentase kepemilikan PTDR ini, menurut Amir, hanya 20 persen. Adalah pemilik baru WE yang mengusulkan perubahan penampilan majalah ini. Selain memperkenalkan tata letak (layout) yang baru, WE menciutkan rubrikasi menjadi dua: ekonomi baru, termasuk teknologi informasi dan praktek bisnis modern, dan ekonomi konvensional. "Kami menulis berdasarkan isu-isu yang berkembang, bukan karena ingin mengisi rubrik," ungkap Amir, yang memiliki kurang dari 5 persen saham WE. Dengan kemasan baru itu, ia yakin oplah WE akan naik terus tahun ini. Namun, satu sumber lain memastikan bahwa yang terjadi justru sebaliknya. Dan karena tak kunjung menuai untung, Amir diberi kesempatan hingga Maret 2001. Andai kata belum ada perubahan berarti, setelah itu, akan dilakukan perombakan total. Investor majalah dwimingguan Tajuk malah sudah "melempar handuk" dan meminta investor lain masuk. Konsepnya yang menggabungkan hiburan, gaya hidup, dan investigasi ternyata tak banyak membantu. Klimaksnya terjadi sejak Januari lalu, saat para pembacanya tak pernah melihat lagi majalah ini dijual. "Kami membutuhkan dana segar untuk bisa terbit kembali," kata Marah Sakti Siregar, Pemimpin Redaksi Tajuk, terus terang. Ketika Tajuk terbit pada 1997 lalu, biaya perizinannya, kata Marah, termasuk amat mahal karena harus mengurus surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP). Saat ini, dengan kebutuhan dana antara Rp 2 miliar dan Rp 5 miliar, dua investor telah menyatakan minatnya menerbitkan kembali Tajuk. "Akhir Februari ini akan selesai dan Tajuk akan tampil tetap dengan berita investigasi," ungkapnya. Seiring dengan itu, Marah menambahkan bahwa wartawan yang hengkang sudah menyatakan ingin kembali dan bergabung dengan 25 awak redaksi yang harap-harap cemas menanti Tajuk terbit lagi. Ketatnya persaingan media cetak juga mengimbas ke jajaran koran besar seperti Republika. Surat kabar yang kental dengan nuansa Islam itu merencanakan perombakan di semua lini dan hal itu membutuhkan dana tak sedikit. Bos kelompok Indopac dan Mahaka, Erick Thohir, baru saja menyuntikkan dana segar Rp 10 miliar untuk menguasai 40 persen saham lewat PT Abdi Bangsa. Alasan Erick, investasi di koran seperti Republika masih bisa menguntungkan, asalkan dikelola dengan benar. Pemimpin Redaksi Republika, Zaim Uchrowi, mengakui ada negosiasi yang disepakati dengan Erick, seperti hilangnya beberapa posisi dalam redaksi dan penggantian hampir semua direksi lama. Itu berarti Republika juga akan beralih fokus dari isu politik kepada berita komunitas dan ekonomi. "Tapi urusan pemberitaan sepenuhnya menjadi tanggung jawab redaksi," kata Zaim. Sepanjang tahun lalu, harian Republika tercatat sebagai koran nasional dengan peringkat iklan terbesar keenam. Dengan oplah sekitar 150 ribu eksemplar dan belanja iklan Rp 1,4 miliar hingga Rp 2 miliar per bulan, koran itu tahun lalu ternyata masih merugi Rp 4-6 miliar. Modal dari Indopac akan dipakai untuk menutup utang-utang lama, sedangkan sisanya untuk membenahi keredaksian. Menurut pengamat media Rhenald Kasali, karena Republika berada di lapis kedua bersama beberapa koran lain, peluangnya tetap sulit. Apalagi, tahun ini ada surat kabar baru yang akan terbit, sehingga kancah persaingan bisa semakin "berdarah-darah." Rhenald menambahkan, beberapa media yang kepemilikannya diambil alih, sebetulnya, belum terlalu merugi. "Mereka cuma tidak punya cukup napas panjang untuk hidup," katanya. Investor sekarang rupanya tak cukup sabar menunggu hingga 3 tahun?batas waktu minimal yang menurut Rhenald pas untuk mengevaluasi keberhasilan sebuah investasi di media cetak. Modal tanggung yang disuntikkan investor untuk menghidupi satu media mirip benar dengan kain secarik. Kalau kain itu ditarik ke atas oleh si pemakai, kakinya akan kelihatan; jika kain diturunkan untuk menutup kaki, dari pinggang ke atas benar-benar tak ada sehelai pun benang. Pendek kata jadi serba salah karena modal serba tanggung. Ini berarti, kalau hanya bermodal belasan miliar, sebaiknya jangan terjun ke bisnis media cetak. Sektor ini tetap menguntungkan, tapi hanya bagi media yang telah memiliki pelanggan setia. Sebaliknya, media yang belum "berakar" di masyarakat akan tercerabut dalam waktu singkat. Dan jangan lupa, ancaman dari media elektronik benar-benar tak bisa dianggap ringan. Tabloid adalah jenis media cetak yang paling terpukul selama satu tahun terakhir ini. Media yang kurang memiliki daya tarik untuk para pemasang iklan itu satu per satu hilang dari peredaran. Tabloid Detak, misalnya, sejak dua bulan lalu juga tak kelihatan lagi sosoknya. Memang diberitakan bahwa Detak akan beristirahat sementara karena mempersiapkan diri untuk muncul dengan wajah baru. Apakah janji ini kelak akan terpenuhi, baiklah ditunggu. Sudah bukan rahasia lagi bahwa tabloid berita politik dan ekonomi mengalami masa ujian yang berat sekali. Tentu ada satu-dua yang sukses dan bertahan, tapi yang tergusur lebih banyak. Sementara itu, tabloid khusus?terutama tabloid bagi wanita?memperlihatkan daya tahan yang jauh lebih besar. Keberhasilan tabloid khusus ini membantah perkiraan satu-dua pengamat yang memvonis bahwa masa tabloid sudah lewat. Satu hal pasti, media elektronik merupakan bahaya laten bagi media cetak. Seiring dengan itu, kecenderungan investor untuk menganut taktik hit and run dalam berinvestasi di media cetak telah dan masih akan memangsa banyak korban. Menurut perkiraan Direktur Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS), Leo Batubara, hampir 85 persen media cetak dari 1.687 buah yang ada akan mati dalam hitungan 1-2 tahun. Soalnya, para investor enggan menunggu sampai tiga tahun. Mereka juga tak sudi merugi habis-habisan. Di sisi lain, persaingan di sektor itu sangat ketat. Nah, untuk para investor yang masih berminat, apa kiat membeli media agar tak buntung? "Lihatlah, apakah brand mereka masih kuat di masyarakat, lalu apakah sumber daya manusianya bagus atau tidak. Kalau keduanya lemah, urungkan saja niat membeli," demikian petuah Rhenald Kasali. I G.G. Maha Adi, Agus Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus