PADAMKAN api selagi kecil. Tapi Maluku sudah telanjur terbakar. Dan di bawah bayang-bayang drama politik nasional, api konflik di kepulauan timur Indonesia itu terbukti kian sulit dipadamkan. Delapan bulan darurat sipil yang dicoba diterapkan tak banyak artinya. Sebab, bukan lagi sipil, melainkan militer dan polisi kini terlibat dalam kancah kian berdarah.
Peristiwa di Ambon dua pekan lalu telah membuat konflik Islam-Kristen di Maluku lebih tragis dan mengerikan ketimbang di Bosnia?hanya dalam kurun tiga tahun, prahara di Maluku menewaskan 8.000 orang dan melahirkan 3.500 pengungsi.
Insiden itu bermula dari sebuah razia yang dilakukan Batalyon Gabungan (Yon Gab), pasukan pengawal darurat sipil yang terdiri atas personel Komando Pasukan Khusus, Pasukan Khas Angkatan Udara, marinir, dan polisi. Mengutip sumber-sumber kalangan Islam di Ambon, Forum Komunikasi Ahlus Sunnah wal Jamaah, sebuah organisasi yang bermarkas di Yogyakarta dan Jakarta, mengeluarkan siaran pers yang menyebutkan razia itu "bersifat brutal." Beberapa orang disiksa, bahkan dibunuh. Sumber-sumber tadi mengungkapkan pula bahwa Yon Gab sengaja menyembunyikan dua jenazah orang sipil Islam yang terbunuh sebagai upaya "menghilangkan jejak."
Hilangnya dua jasad itu memicu kemarahan massa Islam. Demonstrasi pun meletus. Dalam keriuhan, senjata menyalak. Dari sebuah hotel pusat kota, para penembak gelap mengarahkan moncong senjata mereka ke sebuah pos keamanan Yon Gab. Kontak senjata pun tak terhindarkan. Tiga hari setelah insiden pertama, satu kompi pasukan gabungan beranggotakan 130 personel menggelar operasi penyerbuan ke hotel itu, yang diyakini sebagai markas kelompok Islam. Dalam prosesnya, 10 nyawa penduduk sipil melayang dan belasan lainnya luka parah.
Jika kalangan Islam menuduh militer telah berpihak ke kalangan Kristen, hal sebaliknya sulit bisa dimungkiri pula. Di lantai empat hotel tadi, pasukan gabungan membekuk 13 anggota polisi dan seorang tentara. Empat di antaranya berpangkat perwira menengah. Bersama mereka, disita 14 pucuk senjata organik dan ratusan butir peluru. "Masih ada oknum TNI/Polri siluman yang beraksi," kata Panglima Daerah Militer XVI Pattimura Brigjen I Made Yasa.
Aparat, kata Yasa, sudah mengidentifikasi gedung tersebut sebagai markas komando liar. "Dan (markas) itu dijalankan oleh para perwira menengah tadi," ujar Yasa.
Dari korps militer tercatat nama Mayor (Inf.) Nurdin Nontji. Perwira asal Bugis ini telah dua tahun menjabat sebagai staf Inspektur Kodam Pattimura. Menurut Yasa, telah berkali-kali Nurdin diperingatkan untuk tak beraksi di luar garis komando, "Tapi ia tetap membandel." Kamis lalu, Mayor Nurdin telah diterbangkan ke tahanan Pusat Polisi Militer, Jakarta. Karir militernya segera tamat. Panglima Yasa telah merekomendasikan kepada Kepala Staf Angkatan Darat agar Nurdin tanpa ampun langsung dipecat.
Tiga perwira lainnya adalah petugas di lingkungan Kepolisian Daerah Maluku, yaitu Ajun Komisaris Besar Jati Uarama Saragih, Komisaris Ricky Paays, dan Komisaris Abdi Darman Sitepu. Jumat siang kemarin, tiga perwira menengah polisi itu sudah pula diterbangkan ke Jakarta. Jati dan Ricky ditahan di sel Mabes Polri, sementara Abdi dibebaskan karena dinilai tak terlibat.
Abdi memang sial. Menurut Kepala Dinas Penerangan Polda Maluku, Abdi kena garuk hanya karena sebuah kebetulan. Dia baru saja dipromosikan dari jabatan Kepala Kepolisian Resor Jeneponto, Sulawesi Selatan, menjadi Komandan Satuan Brimob Polda Maluku. Karena belum ada rumah dinas, dia memilih tinggal di hotel yang diserbu tadi. Meski dia bebas, pelantikannya dibatalkan. Ia dipindahtugaskan ke Markas Brimob di Jakarta.
Berbeda dengan Abdi, dua perwira polisi lainnya sebenarnya sudah "diusir" dari Ambon. Sejak tiga bulan lalu, karena dinilai tak lagi netral, Jati dipindah ke Mabes Polri, Jakarta, dan Ricky ke Polda Nusatenggara Timur. Namun, mereka memilih bertahan di Ambon. "Rupanya selama ini mereka punya proyek sampingan sebagai penyalur berbagai kebutuhan pokok dan persenjataan bagi kelompok putih (Islam)," kata seorang perwira tinggi di Mabes Polri, "Mungkin mereka keenakan berjualan dalam situasi darurat ini."
Belasan polisi yang kalah itu umumnya dalam keadaan luka berat, dihajar tim penyergap. Satu di antaranya, Brigadir Satu Dedi Afandi, anggota Brimob Kompi-B Polda Maluku, bahkan kemudian meninggal dunia.
Nyaris saja kasus ini berekor panjang. Kamis pekan lalu, ketegangan kembali memuncak. Tiba-tiba saja pasukan Brimob (polisi) dan TNI berhadap-hadapan. Masing-masing menggelar pasukan, lengkap dengan persenjataan beratnya. Warga kontan panik. Untunglah bentrokan dapat dihindarkan setelah Panglima Yasa dan Kapolda Maluku Brigjen Firman Gani bersama-sama turun ke lapangan melerai. Toh, seorang anggota polisi keburu tewas.
Bukan cuma itu. Buntutnya, darurat sipil tak jadi dicabut. Padahal, kata Menteri Pertahanan Moh. Mahfud M.D., setelah sekian bulan relatif tenang, pemerintah berniat mencabut status yang telah diberlakukan tujuh bulan lamanya itu?sejak 27 Juni tahun lalu. Tapi insiden berdarah itu memaksa pihaknya tak punya pilihan selain menundanya.
Tanpa pasukan yang netral, Maluku memang sulit kembali normal.
Karaniya Dharmasaputra, Edy Budiyarso (Jakarta), Friets Kerlely (Ambon)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini