ANDA mau tahu apa hikmah Paket Kebijaksanaan Oktober 1988 alias Pakto? Jika, dulu, para bankir selalu memperkirakan perkembangan aset maupun labanya dengan satuan persen, atau berdasarkan milyaran rupiah, maka sekarang diganti berdasarkan kelipatan. Ini mungkin lebih bergengsi. Bank International Indonesia (BII), misalnya, memperkirakan asetnya akan berlipat dua, dari Rp 1 trilyun menjadi Rp 2 trilyun. Memang, terasa hebat, kendati kita tahu bahwa BII termasuk bank papan atas yang memiliki cabang di banyak tempat. Lain halnya, kalau Bank Dharmala Nugraha yang membuat pernyataan seperti itu. Orang bisa berdecak, kendati kurang percaya. Maklum, lima bulan lalu bank ini baru menyandang status sebagai bank umum. Tapi, itu tak penting. Pokoknya, Dharmala sudah berani memproyeksikan, tahun depan asetnya akan naik dua kali lipat lebih, menjadi sekitar Rp 800 milyar. Dan, tampaknya, ini proyeksi yang tidak mengada-ada. Itu, kalau melihat jejak Dharmala ketika masih menjadi bank pasar (BP). Selama periode 1985-1987, bank yang semula bernama BP Warga Nugraha ini aktif mengambil alih bank-bank sekelasnya. Mula-mula, Bank Desa Swadaya Harta Palembang, kemudian menyusul BP Galuh Pakuan Medan, dan terakhir BP Ngliman Lampung. Nah, ketika empat bank itu difusikan Juli lalu, baru ketahuan bahwa Dharmala memiliki aset yang lumayan, Rp 300 milyar. Artinya, hanya dalam waktu 10 bulan kekayaan bank ini naik dua kali lipat lebih. Dan keuntungan yang diumumkannya, September lalu, cukup mencengangkan: Rp 1.117 juta. Makanya, tak berlebihan bila Sinatra berani membuat proyeksi laba tahun depan menjadi tiga kali lipat, alias Rp 3 milyar lebih. Padahal, kata dia, tak ada produk baru yang diciptakan Dharmala, untuk mengeduk laba maupun aset. Artinya, bank ini tetap hanya mengandalkan tabungan, giro, dan deposito. Lantas, bagaimana pertumbuhannya bisa begitu cepat? "Mungkin, karena kami lebih berkonsentrasi ke retail banking," kata Sinatra Widjaja, direktur Dharmala. Dari sudut manajemen, retail banking lebih merepotkan ketimbang mengurus kredit-kredit besar. "Tapi, jangan lupa, risikonya lebih besar lagi. Sebab, kredit yang disalurkan, tentu, akan bernilai milyaran rupiah," ujarnya. Lain kiat Dharmala, lain pula kiat Bank Bali. Bank yang per September lalu mengejutkan, karena mampu melaba Rp 22,5 milyar -- mengalahkan Bank Duta, Bank Niaga, dan Bank Umum Nasional -- terkenal sebagai bank yang memiliki nasabah sedikit. Bank Bali lebih banyak merangkul nasabah-nasabah kelas milyaran ketimbang yang cuma ratusan juta rupiah. Mungkin, karena ini pula Djaja Ramli, Dirut Bank Bali, mengambil keputusan untuk mundur sebagai penyelenggara Tabungan Kesra. Berdasarkan keterangan Firman Soetjahja, Executive Vice President Bank Bali, di sini tidak sedikit nasabah yang memiliki deposito dan giro dalam nilai milyaran rupiah. "Memang, kami besar karena berhasil menjaring nasabah-nasabah kelas kakap." Tapi, untuk mendapatkan dan memupuk nasabah seperti itu tidaklah mudah. Dan juga tidak murah. Khusus kepada nasabah kelas milyar, Bank Bali selalu memberikan bunga lebih tinggi, di samping mereka dibebaskan dari segala beban komisi. Sekalipun begitu, tidak lantas Firman dan rekan-rekannya ongkang-ongkang kaki. Apalagi, persaingan semakin sengit. "Pokoknya, yakinlah pada 1990 ke depan. Bankir tak ubahnya salesman yang melakukan penjualan door to door," ujarnya. Budi Kusumah, Yopie Hidayat, dan Bambang Aji
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini