DI kalangan pemerintah kini timbul sedikit kejengkelan terhadap
angka indeks yang nampaknya seret sekali untuk turun. Barangkali
ada yang salah dengan cara perhitungan indeks biaya hidup? Tapi
yang jelas indeks yang digunakan untuk perhitungan inflasi masih
didasarkan atas survei biaya hidup keluarga pada 1957, di mana
bobot bahan makanan menunjukkan 63,4% dan beras sendiri hampir
mempunyai bobot sepertiga dari seluruh indeks.
Duapuluh tahun kemudian sesudah terjadi gejolak ekonomi, orang
seharusnya mempermasalahkan apakah pemakaian indeks ex 1957 itu
masih relevan. Benarkah misalnya beras masih merupakan
pengeluaran terbesar dari rata-rata keluarga, hingga pengaruhnya
begitu hebat? Yang jelas di zaman konsumerisme seperti sekarang
ini pengeluaran rumah tangga sudah makin bervariasi. Duapuluh
tahun silam, bubuk detergen atau sabun colek belum dikenal
sebagai alat pencuci pakaian. Begitu pula susu bubuk dengan
segala variasinya, minuman 'lunak' dalam botol atau shampoo dan
minyak rambut sampai obat nyamuk semprot. Dulu mungkin tekstil
dan batik kasar yang dominan, tapi sekarang tetoron dan jean tak
pernan lepas rupanya.
Menyadari situasi ini Kantor Sensus dan Statistik DKI mengambil
inisiatif, yang sekalipun agak terlambat, diharapkall bisa
merobal1 gambaran tentan inflasi di lndonesia, yang di akhir
tahun ini ternyata di atas 10%. Mulai bulan depan Kantor Sensus
DKI akan melakukan survei biaya hidup di Jakarta, mengetuk pintu
rumah-rumah tangga untuk mengetahui struktur belanja mereka
sehari-hari. Untuk tahap pertama akan diambil 1.200 rumah tangga
sebagai sampel yang akan diusahakan hingga cukup mewakili
golongan tinggi, menengah dan rendah.
Mulai bulan ini sebanyak 75 tenaga pewawancara sudah disebar
untuk melakukan tugasnya. Sejauh mana hasil survei akan punya
bobot tentunya tergantung dari keuletan dan kelincahan si
petugas. Di Jakarta terutama, kelincahan dan keuletan ini
diperlukan mengingat ibu-ibu atau bapak-bapak terkenal kurang
ramah terhadap wajah tak dikenal yang nongol di depan pintunya.
Bisa Susah
Di samping Jakarta, survei semacam ini juga dilakukan di 17
propinsi lain. Yang menjadi pertanyaan adalah: Bila hasil survei
biaya hidup dari 18 propinsi ini sudah diketahui, biaya hidup
manakah yang bisa dipakai sebagai indeks biaya hidup Indonesia?
Selama ini yang dipakai adalah indeks 62 macam bahan di Jakarta,
dan orang selama ini bicara tentang inflasi di Indonesia,
padahal sebenarnya mereka bicara tentang inflasi di Jakarta.
Memang lebih baik kalau bisa dirumuskan satu indeks nasional
yang mencerminkan tidak saja Jakarta, tapi juga daerah lain,
karena selama ini indeks biaya hidup berbeda menurut daerahnya
Selama 1977 ini, misalnya, harga beras di Jakarta naik dengan
rata-rata 2% dan di seluruh kota besar di Jawa kecuali Surabaya
harga beras naik. Kenaiikan harga juga terjadi di Medan dan
Palembang masing-masing dengan 5 dan 2%. Tapi di Ujung Pandang
dan Mataram, harga beras turun dengan Rp 15 sekilo dalam waktu
sama.
Indeks nasional ini bisa disusun dengan memperhatikan kedudukan
ekonomi masing-masing daerah, misalnya dalam hal pendapatan
daerah atau struktur demografinya. Tapi harus diakui pembikinan
indeks ini tak mudah. Di samping barangkali kurang lengkapnya
data, uga memerlukan waktu agak lama. Padahal begitu habis
bulan, angka indeks inflasi sudah harus keluar. Kalau
terlambat, yaah, Ali Wardhana bisa kehabisan bahan untuk sidang
Dewan Stabilitasi Ekonomi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini