HAMPIR setiap penghujung tahun harga kayu bundar (logs) merosot.
Juga demikian sekarang ini. Meranti merah dari Kalimantan,
misalnya, kini jatuh ke $ 43 per M3, dibanding $ 58 pada bulan
Juli lalu. Sebab utama kemerosotan ini: Jepang mengurangi
pembeliannya di musim dingin ini. Jepang adalah pasaran utama
bagi kayu Indonesia. Dari seluruh impor Jepang tiap bulan
sekitar 2 juta M3, Indonesia mensuplai 38-40%. Maka suhu di sini
pun turun setiap kali terasa dingin di Jepang.
Dengan naiknya kurs Yen terhadap dollar Amerika, impor kayu oleh
Jepang meningkat. Tapi belakangan ini Jepang lebih bernafsu
membeli dari Malaysia (Serawak dan Sabah) hingga stoknya pun
--hampir 4,5 juta M3 bulan Oktober -- jauh melebihi konsumsi.
Ini mempengaruhi harga pembeliannya.
Eksportir Indonesia, menurut Masyarakat Perkayuan Indonesia
(MPI), kurang bisa bersaing karena biaya produksi di sini tetap
tinggi dan tarif angkutan yang ditetapkan oleh INSA/LTA masih
bertahan. Tarif itu semustinya turun karena ruangan kapal
tersedia banyak berhubung angkutan kayu dari Siberia ke Jepang
dihentikan musim dingin ini.
Sampai kapan harga bisa naik lagi, para pengusaha enggan
meramalkannya. Tapi mereka umumnya sudah belajar dari pengalaman
pahit tahun 1974 ketika harga jatuh ke $ 28 per M3. Dulu mereka
tidak mempunyai tabungan hingga stok mereka terpaksa dijual
murah. Tapi sekarang, kata satu pengusaha di Kalimantan Timur,
"biarpun harga kayu merosot kami masih punya tabungan."
Kayu Masak
Di Kaltim, koresponden TEMPO Dahlan Iskan melaporkan, seperti
biasa dalam keadaan harga logs jatuh, orang kembali teringat
betapa pentingnya industri kayu. Selama ini nasib industri kayu
dilupakan ketika harga logs meningkat.
"Produksi kayu masak (sudah diolah) sekarang ini hanya 30% dari
kapasitas sawmill (penggergajian)," kata ir. A. Rahman Karim,
Kepala Dinas Perindustrian Kaltim. Ini berarti investasi yang
sudah berjalan pun kurang dimanfaatkan. Contoh: Sawnmill
termodern di Asia Tenggara, milik PT Kayan River Timber
Products, yang dipasang di pedalaman belahan utara Kaltim, telah
menghentikan produksinya.
Angka ekspor kayu masak selama ini kecil sekali dibanding jumlah
ekspor logs (18,6 juta M3 bernilai $ 781,7 juta tahun lalu).
Terdapat kesan pemilik HPH kurang gigih memasarkan kayu masak,
apalagi bila harga logs sedang baik.
Tahun ini, nilai ekspor logs Indonesia diduga tidak akan
setinggi 1976. Namun, tanpa tekanan pemerintah, pemilik HPH tak
mungkin beralih gigih ke pemasaran kayu masak. Sebaliknya, kaum
pengusaha seperti Dir-Ut Poleko Group, Arnold Baramuli, yang
juga wakil ketua Dewan Pembina MPI ingin mendesak bantuan
pemerintah. "Keter gantungan kita kepada Jepang ini tak sehat,"
kata Baramuli kepada Yunus Kasim dari TEMPO. "Jepang seharusnya
membeli kayu kita dengan harga wajar seperti yang diusulkan
ASEAN. Pemerintah (RI) dalam hal ini perlu mengaturnya dengan
pihak Jepang."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini